Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Kamis, 16 April 2009

KLAKSON

Sore hari gerimis sehabis hujan lebat. Aku pulang dari kampus menuju kostan sendirian. Sebelumnya aku mampir ke sebuah warung makan di ujung Bara (Babakan Raya), sebuah tempat yang pasti tak asing bagi mahasiswa IPB. Karena jalan sendirian, kau putuskan untuk menghentikan angkot, nggak apa keluar duit seribu daripad ajalan sendirian, becek lagi. Aku naik ke angkot yang barusan aku hentikan. Hanya ada satu orang penumpang di dalamnya, ibu-ibu yang usianya kuperkirakan sekitar kepala empat. Dalam hatiku bersorak, lega. Kemudian angkot itu berjalan lambat-lambat. Pasti sambil mencari penumpang, pikirku. Kuamati sopirnya yang mungkinmasih seumuran denganku kok gelisah. Ada apa ya? Aku tak berpikir ada yang aneh. Tapi sopir itu benar-benar terlihat gelisah. Kan heran jadinya. Setelah berjalan cukup jauh, seperempat perjalanan menuju kostanku, baru kupikir kok angkot jalannya lelelt banget. Barangkali kalau aku jalan pasti sudah hampir sampai kostan.

Di depan sebuah mini market angkot yang aku tumpangi berhenti. Baru kusadari bahwa sejak pertama kali angkot itu jalan sampai berhenti sekarang klaksonnya tak berhenti bunyi. Bunyiiiiiiiiiiiiiiiiii teruuuuuussssss. Mungkin lemotnya aku sampai nggak sadar. Setelah kusadari, ternyata memang nggak enak banget, berisik. Dan bayangkan, angkot yang aku tumpangi membuat macet jalan. Deuh deuh… jadi tambah lama. Kesel juga sama sopirnya. Usut punya usut ternyata sopirnya masih pemula dan nggak tahu letak sumber suara klakson tersebut. Bingung mana yang mau dicabut. Terus saja dicoba-coba, tapi masih aja klaksonnya kentut sepanjang jalan. Distarter klaksonnya bunyi, terus begitu. sebenarnya nggak betah di dalam tapi sudah terlanjur naik.

Sampai akhirnya aku bisa kembali bernapas lega. Akhirnya ditemukan juga di mana sumber suaranya itu. Haaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhh…. Tapi kau merasa benar-benar bersyukur sore itu. Tuhan mengajariku satu analogi nyata tentang kehidupan. Ada satu pertanyaan yang muncul di otakku setelah klakson itu tak kentut lagi. Kapankah saat yang tepat klakson harus berbunyi? Kemudian muncullah asumsi menganai kapan seharusnya klakson tersebut berbunyi. Kujawab, di saat dan di waktu yang tepat dengan cara yangtepat pula. Di saat yangtepat berubungan dengan fungsi klakson sebagai sebuah bentuk simbol komunikasi. Saat yang tepat adalah di kesempatan-kesempatan tertentu yang memang membutuhkan klakson seperti ketika menyapa sesama pengendara atau menyapa pejalan kaki. Di waktu yang tepat berhubungan dengan situasi, kalau memang jalanan lengang dan tidak perlu penggunaan klakson maka tak perlu difungsikan. Dengan cara yang tepat artinya sewajarnya saja dan sesuai porsinya. Sesuai kebutuhan atau tidak berlebihan. Jika hanya butuh dengan nada do maka tak perlu menggunakan nada sol.

Itu serba-serbi klakson yang berbunyi bukan disaat yang tepat, lalu apa hubungannya dengan manusia? Jika hanya dipikirkan sebatas persoalan berisik dan mengganggu kelancaran lalu lintas sore itu, bagiku itu terlalu sempit. mengapa? Ada sebuah pelajaran berharga yangbisa disimpulkan dari pengalamanku itu. Bayangkanlah klakson yangterus berbunyi tanpa kenal waktu itu sebuah mulut, mulut manusia. Seandainya mulut manusia terus berbunyi tanpa tahu saat, waktu, dan cara yang tepat apa jadinya? Pasti rasa kesal dan jengkel yang berlebih bagi pendengarnya. Maka dari itu, ibarat harta, maka mulut memang benar-benar harus di jaga. Kapan harus bicara, kapan harus diam, semua ada waktunya. Bicara di saat yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan cara yang tepat. Karena semua memiliki proporsi ideal masing-masing. Pastinya tidak mau kan jika dianggap menyebalkan seperti klakson yang bunyi sepanjang jalan tanpa tau aturannya?

Tidak ada komentar: