Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Selasa, 15 Desember 2009

‘SKENARIO’ POLITIK DAN PROSES PENGEKANGAN DEMOKRASI (Sebuah Pesan untuk Para Wakil)

Penguasa...
Jangan biarkan kami gagu
Dengan polahmu yang terlihat lugu
Jangan kau tipu rakyatmu
Kami bukan hambamu

Hari selasa tepatnya tanggal 10 November 2009 yang telah lalu adalah sebuah peristiwa penting bangsa Indonesia dan seluruh komponennya. Momentum bersejarah yang seharusnya dihayati sebagai sebuah refleksi pengabdian dan pengorbanan generasi penerus justru disuguhi dengan drama seri wakil rakyat yang hingga saat ini belum rampung. Kisah (baca: kasus) Cicak vs Buaya tak ubahnya sinetron strip in yang skenarionya dibuat semenarik mungkin untuk menaikkan rating penonton. Penyidikan kasus justru membuat kontoversi yang semakin mengkutub di berbagai kalangan. Seolah-olah persoalan yang tidak jelas arahnya adalah sebuah jembatan emas bagi upaya menaikkan popularitas. Entah apa yang akan dikatakan jika para pendahulu yang memperjuangkan kemerdekaan melihat polah generasi penerusnya yang sedemikian pongah. Tidak tahu si- (apa) yang benar dan si- (apa) yang salah. Politik menjadi ajang atau kontes menjadi bintang (sudah sukar dibedakan mana fakta, makna fiksi).

Politik sedianya memang telah menjadi sebuah wacana umum di berbagai level dalam masyarakat. Pengertian ’umum’ seharusnya memicu kesadaran yang semakin tinggi akan esensi politik itu sendiri. Politik bukan milik satu gelintir orang atau sekelompok golongan. Politik adalah sebuah kepentingan untuk banyak nyawa. Profesor Miriam Budiarjo menyatakan bahwa politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals), saya artikan disini bahwa private goals juga termasuk kepentingan golongan tertentu. Seyogyanya dipahami bahwa dalam kancah perpolitikan, bukan hanya idealisme yang berperan tapi juga sensitifitas sosial yang nantinya akan membawa perubahan tidak sekedar sebagai sebuah statement of intent saja tetapi sebuah real action. Faktanya, upaya-upaya untuk sampai pada real action dipengaruhi oleh beberapa aspek yang terkadang membuat tujuan politik tersebut menjadi tidak murni lagi. Aspek yang berpengaruh tersebut bisa dimulai dari bagaimana suatu tampuk kekuasaan diperoleh. Apakah murni sebagai sebuah pengabdian? Atau pengabdian bersyarat? Atau juga realisasi hasrat sebagian orang yang haus kekuasaan demi sebuah eksistensi diri.

Jika kekuasaan diawali dengan tujuan pengabdian bersyarat dan sekedar realisasi hasrat haus kuasa maka jangan berharap kondisi yang lebih baik akan dicapai. Tidak perlu berteori bahwa Indonesia adalah negara demokratis dimana setiap orang berhak untuk bersuara dan hak tersebut diatur oleh UUD 1945. Ketika pengejaran kekuasaan telah dilandasi kepentingan segelintir orang maka yang terjadi adalah bagaimana membuat sebuah skenario politik yang paling indah dan dapat menaikkan pamor calon pemimpin sehingga namanya dapat tercantum sebagai ’PEMIMPIN’. Dimana esensi kemerdekaan berpendapat di negara demokrasi? Praktek nepotisme kelak akan terjadi lagi karena mengedepankan kepentingan segelintir individu atau kelompok. Kepemimpinan tak ubahnya seperti kekuasaan dinasti yang tak terpatahkan. Pembentukan opini publik tentang si-(apa) seperti sebuah retorika agenda setting yang mau tidak mau publik pada saatnya akan menganggap hal itu penting. Atau tak ubahnya spiral of silence yang mengkungkung suara dan kebebasan.

Menengok kondisi Bangsa yang sudah sedemikian carut marut di tengah slogan kemerdekaannya ini, sudah sepatutnya masing-masing individu mengevaluasi dan mengkoreksi diri. Kemerdekaan bukan sekedar pembacaan teks proklamasi atau peringatan hari besar melainkan bagaimana setiap individu berhak untuk memproklamirkan dirinya sebagai individu yang merdeka. Lepas dari politic of interest apapun. Kemerdekaan termasuk juga hak untuk menyuarakan pendapat dalam koridor keadilan tanpa disudutkan oleh kepentingan tertentu. Merdeka adalah persoalan eksistensi, salah satunya adalah eksistensi untuk berpendapat. Seharusnya tidak ada lagi skenario-skenario politik yang menyebabkan bangsa ini kehilangan jati diri demokrasi.

Semoga kesadaran akan eksistensi dalam koridor keadilan akan membawa masing-masing dari kita ke arah pencapaian cita-cita pencerdasan. Bukan pembodohan. Politik bukan sarana mencari popularitas apalagi jembatan untuk mencapai tujuan segelintir golongan. Harus ada cita-cita dan tujuan mulia untuk mewujudkan kepentingan bersama. Semoga cita-cita dan tujuan mulia tersebut tidak hilang dari cara pikir, nalar, dan tindakan para elite politik kita.

Jatuh Cinta pada Hujan

Aku mengenalmu seperti aku mengenal hujan, tanpa kesengajaan. Sesaat seperti gerimis saja. Gerimis saja. Tapi sepanjang kujejak jalan, kurasakan bahwa kau tidak hanya gerimis. Kau hujan, kau deras. Kau mengajakku menikmati suatu waktu yang menjadi momentum. Tentang penghargaan, tentang senyum dan ketulusan. Aku tak sering melihat rupamu, tak sesering hujan deras di kota ini. Aku hanya tahu kau selalu ada saat kubutuhkan, kau menentramkan dan memberi kedamaian. Aku tergelak saat kau sarankanku tersenyum, aku menangis saat kau ajariku merenung. Kau istimewa di hatiku, seistimewa suara hujan saat aku merindukan tidur yang nyenyak. Bolehkah aku mengucapkan sesuatu untukmu? Aku menyayangimu dengan ketiadaan. Aku menyayangimu dengan kesederhanaan. Itulah, kukatakan kau istimewa, sangat istimewa. Semangatmu membara tapi meneduhkan setiap hati. Harapanmu tinggi namun merendahkan ambisi. Sekali lagi, aku menyayangimu.
Sekali waktu, kau mengajakku berfantasi tentang masa depan, kau tanyakan padaku. Apa yang ingin kulihat suatu saat nanti? Kujawab, aku ingin melihat kupu-kupu. Kau tertawa, mengapa harus kupu-kupu, katamu. Aku suka kupu-kupu, aku suka keindahannya. Sepertimu, kau indah. Aku ingin melihat kupu-kupu yang indah itu bersamamu. Kau tertawa lagi, mengapa kau suka keindahan, tanyamu lagi. Keindahan itu menenteramkan. Sepertimu, mendamaikan. Kau diam dan memandangku. Aku menunduk, kau bilang padaku: jagalah dirimu, berproseslah seperti kupu-kupu itu. Dan kau tersenyum. Lalu fantasi masa depan itu berubah menjadi alur tak terencana dalam perbincangan kita. Sampai akhirnya kau tanyakan resiprokal pertanyaan pertamamu, apa yang tidak ingin kau temui suatu saat nanti? Aku menggeleng cepat. Tak ada yang ingin kujawab dari pertanyaanmu. Kau tak boleh tahu jawabannya.
Berangsur, kau memang deras. Bukan gerimis. Hadirmu memberi suasana yang sama sekali berbeda. Aku tahu itu. Kau bilang, jika kita mencintai seseorang maka biarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri. Jika tidak, sesungguhnya kita hanya akan melihat pantulan diri kita pada dirinya. Tidak akan ada komplemen, hanya duplikat. Itulah yang paling kuhormati darimu,kau tak mengikat. Suatu saat, aku ingin mengatakan bahwa aku tak sekedar menyayangimu tapi aku menghormatimu.
Suatu pagi, sapaanmu begitu hangat.
Hai, kau cantik pagi ini, sapamu.
Terima kasih, dengan wajah bersemu merah kuucapkan.

Kau menarik tanganku. Kuikuti dirimu. Aku terharu, kau memang istimewa. Kau istimewa dengan kesederhanaan dan kerendahatianmu. Kau memberiku satu bingkai ornamen kupu-kupu. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Tak pula air mata menetes dari mataku. Aku juga tak tersenyum memandangmu, aku tak percaya. Saat ini jika bisa kukatakan, maka akan kutakan tentang jawabanku terhadap pertanyaanmu tempo hari. Hal apa yang paling tidak ingin kau temui suatu saat nanti? Pertanyaanmu waktu itu. Aku akan menjawab, hal yang tidak ingin kutemui adalah kehilanganmu. Kehilangan ketulusanmu. Tapi aku belum bisa mengungkapkannya, aku masih terpana dengan sebingkai ornamen kupu-kupu itu.
Aku masih tercengang dengan pemberianmu. Aku tahu, kau tak mudah mendapatkannya. Kau harus mengorbankan beberapa keinginanmu untuk dapat membelikanku benda itu.
Mengapa kau memberiku ini? Tanyaku.
Bukankah itu yang ingin kau lihat di masa depan? Katamu.
Mengapa kau memberikannya sekarang, aku tahu kau punya keperluan lain, lanjutku.
Sayang, apa kau tahu? Katamu. Masa depan itu tidak dinanti tapi dijalani. Bahkan satu detik yang akan datang setelah ini adalah sebuah masa depan. Bagiku, kau adalah masa depanku. Hal yang paling ingin kulihat di masa depan adalah kebahagiaanmu. Oleh karena itu aku ingin mulai menjalani masa depan itu dari setiap nafas yang kuhirup setiap waktu untuk membahagiakanmu. Jika kupu-kupu adalah salah satu hal yang bisa membahagiakanmu, mengapa harus aku tunda?


Baru setelah kudengar penuturanmu, air mataku leleh. Kau memang istimewa. Istimewa dengan ketulusanmu. Biarkan aku ucapkan terima kasih dan sedikit pujian untukmu, untuk semua ini. Untuk kasih sayangmu, dan untuk tingkahmu yang begitu menghormatiku. Kau adalah hujan, bukan gerimis. Kau deras.

Rabu, 11 November 2009

Relasi Gender: Poligami dan Penghianatan

Sebuah relitas jika gender disebut sebagai sebuah konstruksi budaya yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang ‘berbeda’. Seorang bayi laki-laki yang lahir akan dibelikan baju berwarna biru dan bayi perempuan dibelikan baju yang berwarna pink. Anak laki-laki bermain tembak-tembakkan dan anak perempuan bermain boneka. Mengapa harus seperti itu dan siapa aktor pembentuknya? Orang tua, kerabat, teman atau lingkungan pergaulan? Akarnya adalah pada kebudayaan yang nilai-nilainya sudah terinternalisasi dalam diri masing-masing aktor dimulai dari level keluarga. Seorang anak yang lahir dalam keluarga, kelak akan memunculkan anak-anak yang baru yang menganut nilai-nilai yang sama, termasuk nilai tentang cara pandang terhadap gender.

Di berbagai wilayah, pandangan mengenai relasi gender kompak dengan satu pengertian bahwa laki-laki adalah makhluk superior yang segala tindak-tanduknya bisa dimaklumi oleh wanita. Sebaliknya, wanita adalah subordinat yang penurut dan ditempatkan di ranah domestik. Ketimpangan pandangan ini menyebabkan ruang gerak wanita menjadi dibatasi dan jika menentang akan dianggap wanita yang tidak berbudi.
Begitu pula ketika istilah poligami muncul ke permukaan sebagai suatu praktek yang lazim dilakukan, pro dan kontra pun diutarakan dengan berbagai argumentasi. Sebagai sebuah pernikahan yang lahir dari proses sejarah, poligami disebut sebagai syariah agama dimana Rasulullah Muhammad SAW pada masanya menikahi lebih dari satu orang wanita dengan tujuan untuk menolong para janda. Kemudian hal tersebut diatur dalam Al-Qur’an yang menerangkan bahwa laki-laki boleh menikahi satu, dua, tiga, atau empat istri dengan syarat adil. Melalui dasar hukum tersebut, berbagai kalangan memberi label ‘halal’ dan ‘mubah’ terhadap praktek poligami. Namun, semuanya kembali lagi pada tafsir, adil ditekankan sebagai sebuah persyaratan yang wajib dipenuhi jika seorang suami berpoligami. Lalu apa batasan adil tersebut? Apakah ketika nafkah lahir dan batin telah dipenuhi oleh seorang suami kepada istri-istrinya kemudian suami merasa dirinya telah berlaku adil?

Tafsir setiap orang berbeda mengenai poligami, hal tersebut tergantung dengan latar belakang yang dimiliki oleh pihak yang terkait. Hal yang menjadi persoalan adalah ketika tafsir tersebut tidak mampu menengahi dan menjelaskan konsep keadilan yang sebenarnya dalam poligami. Sampai saat ini saya belum menemukan sebuah pengertian yang pasti mengenai perlakuan yang ‘adil’ terhadap istri-istri dalam poligami. Ketika keadilan dikaitkan dengan pemenuhan nafkah, apakah itu cukup? Nafkah lahir barangkali bisa diukur dan dihitung. Tetapi nafkah batin, apakah intensitasnya sama bagi setiap manusia? Ketika ego manusia berperan dalam pemenuhan kebutuhan, akan dicari sebuah kepuasan. Padahal sikap manusia adalah tidak pernah puas akan suatu hal, ini akan menyebabkan kecenderungan untuk mengunggulkan sesuatu yang ‘baru’ dan mengabaikan yang ‘lama’.

Mengapa keadilan hanya dilihat dari perspektif seorang laki-laki sebagai suami, bahwa ketika pemenuhan nafkah itu dapat suami berikan maka dia adalah suami yang adil. Tidakkah berpikir seperti apa perasaan perempuan (istri pertama) ketika suaminya menyambangi perempuan lain (istri kedua)? Bagaimanakah efek jangka panjang poligami terhadap keturunan? Apakah seorang anak yang lahir akan bangga karena dia memiliki keluarga besar atau perasaan tersingkir dan malu karena dia adalah anak dari istri kedua? Ketika ditelaah lagi, poligami sesungguhnya mengusung tanggungjawab moral yang luar biasa.

Pembahasan mengenai poligami ini sangat erat kaitannya dengan tafsir agama. Tapi bagi saya poligami bukan masalah berbicara tentang halal atau haram melainkan konsep keadilan yang setara atau tidak. Jika keadilan yang menjadi pondasi poligami tidak dilihat dari dua sudut pandang antara suami dan istri maka sejauh yang akan terjadi hanyalah sebuah penghianatan yang terselubung. Hal ini sama saja dengan bentuk marginalisasi posisi perempuan dalam pengambilan keputusan. Bukankah perempuan juga boleh mengutarakan pendapatnya ketika dia merasa tidak nyaman dengan kondisinya. Lalu mengapa diamnya perempuan dianggap sebagai sebuiah tanda setuju? Itulah produk budaya yang mendarah daging.

Minggu, 04 Oktober 2009

ODE UNTUK AYAH

Kau menopangku dengan kuatmu
Memapahku dengan caramu
Bersihkan lukaku dengan ikhlasmu
Suapkan kebajikan untuk tegapnya langkahku
Membantuku terus berdiri menantang terik
Melindungi tubuhku dari serangan dingin

Kau menuntunku
Kuatkanku
Sadarkanku
Mendidikku

Betapa kusadari kini,
Bahwa aku sangat mencintaimu
Berhasrat terus membahagiakanmu

AYAHKU...

HANYA LEWAT KATA

Kau datang lagi memberi semangat yang kemarin sempat tertangguhkan. Semangat yang lunglai karena pelik pengalaman yang mencekam. Kau membantuku menikmati takdir yang bergerak bebas. Kau ajariku untuk perpesan pada hatiku pada hatiku demi suatu masa. Katamu, aku wanita. Meskipun tubuhku ringkih dan lemah, tapi hatiku sekuat baja. Ya, itu adalah kata-kata Elizabeth. Akhirnya kusadari, kubiarkan danau tangis yang selama ini kubendung menjadi kering. Biarkan saja aku menjaga kata untukmu tanpa tangis lagi.

Malam ini, aku bertamasya bersamamu lewat kata-kata. Kita berjalan menuju dermaga. Menyusuri liuk tikung jalan yang serupa dengan geliat cacing. Licin dan tak tergambar. Kita terus berjalan -lewat kata- hingga sampai pada lembah subur tempat kata ditanam. Kau sarankanku tetap berada di kesejukan lembah, agar aku nyaman. Tapi bukankah di manapun aku tetap membayar pajak meskipun hanya satu helaan napas? Aku ingin kau membiarkanku menggandeng tanganmu –lewat kata- hingga sampai dermaga.

Meski rasanya bersamamu membuatku damai, tapi ternyata ada kalanya aku pun ingin sendiri. Dalam kesendirian aku bisa membayangkanmu dan tersenyum karenamu. Kau bisa menata kata-kata untuk esok hari saat aku bertemu denganmu lagi. Aku, kata-kataku akan menemanimu. Menggandengmu saat pagi datang sebagai bukti kesiapan setelah lelah diserap malam. Kelak, siang akan menjinjing langkah kita saat pundak merasa berat menanggung beban diri. Kita akan bersama –meski dalam kata- menaklukan raja hari dan hentak angin.

Dalam kata, kau terus bersamaku. Menemaniku di tengah padang yang tak berpohon. Meski hidup menjadikan kita beda. Kita bisa bergerak jika ada jarak, saling menyayang jika ada ruang.*

* Dewi Lestari dalam Supernova

WAKTU

Tik tok
Tik tok
Tik tok
Tik tok
Tik tok
Tik tok
Tik tok
Terus berjalan

SATU

Kuketuk hatimu dengan iringan ucapan salam yang akhirnya mampu menyapamu dalam kebimbanganmu. Kujabat tanganmu dengan sebuah tundukan untuk menghormatimu. Kemudian kau persilakanku duduk dengan seulas senyuman yang menyisakan kehangatan di hatiku. Kemudian kita bercerita, tentang setiap waktu yang telah terajut menjadi rajutan jam, sulaman hari, hingga akhirnya terbentuk syal cantik yang kusebut tahun.

Kujadikan kau satu. Satu saja untukku. Demikian, walau aku tak pernah menunggalkanmu. Karena tunggal bagiku hanya milik tuhan. Gelap peduliku. Biarlah kau menjadi ada sebelum masa binasanya. Apapun dan siapapun. Aku tak peduli kau bertuhan tapi atheis atau atheis yang bertuhan. Yang kuingin, kau satu. Satu saja untukku.

Kata bisa satu, tapi laku tak mampu. Entah takdir. Entah pula nasib, atau juga hanya perkara waktu. Yang jelas, bagiku, saat ini kita bukan sekedar seonggok cerita usang. Apalagi kau, kau nyata, bukan dongeng atau legenda. Kita pernah menjadi seikat dalam simpul temali yang tak mati. Kita pernah berada dalam sebuah jalinan yang kita sebut entah. Saling melepaskan, membebaskan.

Jika ini adalah takdir, bolehkah aku meminta Tuhan merubahnya? Jika ini adalah nasib, bolehkah aku memperjuangkannya? Jika ini sekedar perkara waktu, apakah cederanya pada hitungan yang berbilang 8.553.600 detik itu?

Aku merindumu pada sisi ketidakrelaan, maka aku tak acuhkannya. Aku pun merasa mencintaimu pada sisi kebencian, maka aku pun membantahnya. Barangkali memang benar, jalinan ini tepat disebut entah. Kau, meski sekarang tak kujadikan satu lagi, tapi kau pernah satu bagiku. Sekarang, kau bukan lagi satu untukku. Kau adalah kau dengan dirimu, kelebihan dan kekuranganmu akan senantiasa membuat kau istimewa.

Selasa, 15 September 2009

NADAMU... UNTUK LELAHKU

Aku mendengar suaramu dalam gelombang tak terlihat, malam ini, baru saja. Saat bulan penuh. Kemudian kau mengangkat kelelahanku dengan nadamu yang mendamaikan. Aku begitu merindukanmu, sejak empat tahun yang lalu. Sejak di samping kananmu ada seorang yang kau sematkan cincin di jari manisnya. Sejak kau tersenyum padaku dalam bahagiamu bersamanya. Aku hanya tersenyum getir melihatmu. Meneteskan air mata dalam pahit kehilangan jejakmu. Kau yang memarahiku saat aku mencoba untuk melangkah bersama sahabatmu. Kau yang menegurku tiap kali aku melewati bayanganmu. Di tahun pertama.

Aku menulis namamu. Aku tahu nilai ulangan sejarahmu. Aku mendeskripsikan ketololanmu. Aku dan segala sesuatu tentangmu. Hari ulang tahunmu, sebentar lagi.... tak pernah kulupa satu tanggal yang pernah membuatku terjatuh karena tak bisa ucapkan semoga panjang umur atasmu. Kau istimewa dengan caramu. Aku masih ingat lagu yang kau nyanyikan:
Denting piano kala jemari menari
Nada merambat pelan, di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan
Bersama sebuah bayangan yang pernah terlupakan

Hati kecil berbisik, untuk kembali padanya
Seribu kata menggoda, seribu sesal didepan mata

Seperti menjelma
Waktu aku tertawa, kala memberimu dosa

Oh maafkanlah, oh maafkanlah

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti*


Senyummu memang terus mengikuti, selama ratusan hari kebersamaan kita. Tapi kau tak pernah mengkhianati persahabatan kita. Sampai malam ini, ketika aku mulai lelah mencari tahu kabarmu. Kau hadir, dan mengangkat lelahku. Entah, kenapa aku begitu bahagia? Ini saat pertamaku benar-benar lega setelah kepingan memori puluhan hari silam menelanku dalam lubang hitam ketidakpastian.

Kau masih mengingatku? Dulu, kau selalu memainkan jari-jari tanganmu untuk menghiburku di dalam kelas. Pulangnya, kau pun membukakan pintu supaya aku keluar lebih dulu. Tapi kau curang, kau tak pernah mau piket. Selalu saja aku menggantikan tugasmu. Tapi, kau menumbuhkan semangatku untuk terus berusaha. Kau membuatku bisa menyelesaikan cerpenku selama dua jam. Dan tadi, kau masih mengingatku.

Kau masih menyusun rapi puzzle kebersamaan kita dulu. Aku ingat, saat kau menghadapkan wajah kekasihmu padaku. Kau pegang tangannya, dan kau memintaku untuk menuntaskan gelisahnya. Aku hanya sanggup mengangguk dalam dorongan yang tak tentu. Antara dirimu dan ketidakmungkinan. Sampai saat kita berpisah setelah tahun ketiga, aku tahu kau dikhianatinya. Hingga aku tak ingin tahu lagi apa-apa tentangmu.

Tapi kau kembalikan memori masa-masa putih. Ketika kepolosan menjadi lagu-lagu kita. Ketika seulas senyum begitu bermakna. Kau, masihkah bersama bola basketmu? Yang memantul seirama dengan detak harapanku dulu? Masih adakah rompi merah marunmu yang biasa kau kenakan saat musim hujan? Sudah berapa trik jari tangan yang kau kuasai sekarang? Kau masih suka Iwan Fals? Sepatumu? Dan satu lagi, apa sekarang kau sudah mau difoto bukan untuk ijazahmu?

Nadamu, mengangkat lelahku malam ini....
*Lirik lagu Yang Terlupakan Iwan Fals

HATI-HATI DENGAN TELINGA

Aku merasa seperti berputar-putar di sebuah labirin tua, sempit. Tak berbatas perdu atau semak yang cukup longgar, tapi aku terhimpit rumpun bambu liar yang membentuk alur buntu. Tak tahu ke mana harus kujejak. Semua buntu. Di saat seperti ini kupikir semua indraku tak berfungsi dengan baik. Tak cukup gaung jika aku berteriak, tak kan ada yang mendengarku. Kakiku pun sudah terlalu lemas untuk kuseret, pasrah. Jika memang Tuhan berkehendak helaan terakhir napasku adalah di tempat terkutuk ini, maka semoga esok hari ada yang menemukanku dan menguburku dengan layak. Pandangan ini sudah semakin kabur, tak ada cahaya, tak ada harapan meski hanya melihat bayangan tubuhku sendiri.

Tubuh ini tergoncang hebat ketika secercah cahaya menusuk retina mata. Ternyata labirin itu hanya mimpi. Tapi mengapa labirin? Mengapa buntu? Mengapa bambu liar? Berbagai tanda tanya agung membentuk stempel di otakku.

Kemesraan ini....
Janganlah cepat berlalu,
Hatiku damai,
Jiwaku tentram di sisimu*

Kini bukan lagi rasa sadarku yang berada di daerah ambang, tapi telingaku mendengar gumam lagu bertajuk kemesraan yang sempat kau dendangkan untukku. Aku baru saja tersadar dari mimpi tapi sepertinya harus kembali tersungkur ke lama bawah sadar itu lagi.

Jumat, 04 September 2009

HIJAU DAN PUTIH

‘Aku mau hijau’ kataku.
‘Putih saja’ katamu.
‘Hijau’
‘Putih’
‘Hijau’
‘Putih’

Jangan katakan bahwa itu hanya perkara selera yang remeh temeh. Hijau. Putih. Bukan hal aku miopi atau hipermetropi, apalagi kotok ayam. Itu adalah persoalan hidup dan mati. Hijau. Putih. Adalah persoalan hidup dan mati, bagi persepsiku. Kau bilang... aku mengubur otakku dengan pikiranku. Barangkali saat kau mengatakannya, kau tak terbersit apa-apa. Tapi terlintas dalam bayangku. Kuburan itu, kematian itu. Mungkin lebih menyenangkan.

Aku mau hijau. Kau lantangkan putih saja. Apa kau pikir putih itu suci? simbol dari dinding ketidakterjamahan? Apa yang bisa kau kuatkan tentang putih. Apa akan kau sebutkan bahwa gigiku putih, mataku putih, tulangku putih, rambutku akan memutih. Kau punya banyak alasan putih, Sayang. Tapi aku tak menerimanya. Aku tak suka putihmu. Putihku kematian. Putihku kafan, Sayang. Semakin kau menunjukkanku pada putih berarti kau menginginkanku dekat pada mati. Kau mau aku mati, Sayang?

Hijau, sayang. Hijau saja. Hijau itu hidup. Kehidupan. Aku takkan disebut sendiri. Daun-daun hijau. Takkan disebut gigiku, tulangku, atau ubanku. Kodok hijau, ulat hijau, ular hijau, ribuan fitoplankton hijau. Sayang, banyak yang hijau. Bahkan tai manusia juga juga terkadang hijau. Bukankah tai adalah bukti kehidupan lewat berlangsungnya metabolisme? Apa artinya putih? Gigi, tulang, uban, mata... akan tetap putih meski pun mati kecuali jika belatung telah menggerogoti.

Sayang, aku mau hijau saja. Aku belum mau putih.

UNTUK LUNA

Aku persembahkan untuk seorang Luna (yang belum sempat aku berkenalan denganmu)

Aku tahu dirimu dari note seorang kawan. Dia bilang, kau cantik dengan cardigan putihmu. Hemm, barangkali warna putih memang sering membuat kesan cantik dan bersih. Meki warna putih itu sendiri terkadang membawa pikiranku pada kematian. Kafan.
Luna, adakah yang lebih membahagiakanmu selain kehidupan? Kubayangkan kau adalah seorang gadis yang manis dengan sifat patuh. Kau putih, Luna. Putih dalam dinding kesucian yang melindungimu dari jamahan. Kau tak liar Luna, meski aku belum sempat untuk berkenalan denganmu secara langsung. Kawanku mengagumimu meski dia membenci kekasihmu. Bukankah kau seorang wanita yang lembut Luna? Kau tak suka dengan kebencian bukan? Kutahu kau benci pada kebencian itu sendiri dan kau menentang permusuhan. Lalu apakah kau tahu bahwa kawanku membenci kekasihmu?
Maafkan aku Luna, telah ikut campur terlalu dalam sebelum aku sempat berkenalan denganmu. Bahkan sebelum aku tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Aku tahu, kau perempuan. Kau punya sisi yang tak dimiliki laki-laki. Kepekaan. Maukah kau peka sedikit pada kekasihmu? Adakah yang dia sembunyikan darimu, tentang kawanku. Ah, sesungguhnya aku mencintai kalian semua. Mencintaimu, kekasihmu, dan kawanku. Bisakah kau membantuku mengobati luka hati kawanku? Terima kasih Luna.

Rabu, 19 Agustus 2009

MARHABAN YA RAMADHAN

Allah Ya Rabbi
Puji atas-Mu untuk anugerah ini
Bersua kembali dengan bulan suci
Yang Kau turunkan wahai Al-Qudsi

Allah ya Salam
Kau wajibkan shiam
Berbuka di saat malam

Allah Ya Rahman
17 Ramadhan
Kau wahyukan Al-Qur’an
Petunjuk kehidupan
Kepada Rasul penutup zaman

Allah Ya Jabbar
Berkahilah Lailatul Qadar
Dengan pahala dan syafaat yang memancar
Ampuni dosa kami Ya Ghoffar

Marhaban Ya Ramadhan
Marhaban Ya syahro Shiam

HAMBALANG BERSATU

Hari-hari bersama kalian
Akan menjadi kenangan yang takkan terlupakan
Meski kita berbeda-beda
Bersama kita ciptakan persaudaraan dengan persahabatan
Abadilah persahabatan
Lantang kita gemakan
Agar seluruh dunia mendengar kisah
Napak tilas perjalanan kita
Gapai impian bersama

HAMBALANG... untuk sahabat-sahabatku yang mau menerimaku menjadi bagian dari mereka:
Zaenal: ketua yang sabar dan polos dengan jargon BIASA dang TENANG AE. Terima kasih siraman kopinya pagi-pagi itu.
Bagus : Sahabat yang berani dengan pendapatnya, berani dengan percaya dirinya. Kamu hebat... bagus dengan style baru rambutmu.
Ferdi : Ternyata kostan kita dekat, he he, maaf selalu meledek poni rambutmu... kapan dipotong? terima kasih sudah membangunkan untuk sholat subuh.
Taufan: sekali-kali boleh akur dong... hehe, thanks untuk pengertian mengenai perbedaan kecerdasan antara otak kiri dan otak kanan.
Dame : Deuh si pemikir... sensitifan ne orangnya. Calon ahli ekonomi yang mandiri, kamu negosiator yang cukup ulung apalagi kalo lagi nego harga sewa mobil bak dari pasir gedogan sampai tapos.
Ema' : Sufna yuna jalma luna halluna nadhor, suaramu bagus cuy... mantap deh di telinga. kalo jalan malam-malam gelap jangan takut lagi yahhh, he he. kamu adalah orang pertama yang kutemui dengan durasi sikat gigi paling lama.
Wari : Wariiii............ kukira pendiam, cihuy... ternyata he he. tetap makan yang banyak kawan... kamu polos dan jujur. Paling tahu di mana spot-spot warung yang jual jajanan.
Afifah: Kuuk kuuk kuuk, kuuk adalah salah satu... he he, wonder women deh untuk gadis yang satu ini. sering naik turun pasir gedogan hambalang. terima kasih pernah mengajukan diri menjadi pelampiasan emosiku.
Indah : Dede, makan yang banyak. jangan bandel.. thanks ya kamu sakit waktu itu (jahat banget gue?) kan jadi bisa nganter kamu ke poliklinik, beli jus sirsak, ubi goreng, dan ngerjain teman2 yang di tapos. ha ha...
Indi : Indy.. muah muah. terima kasih sobat, kau secara tidak langsung mengajariku sisi lembut wanita. huaaa
Anggun: kata Dawer, Manohara... Ah anggun kamu lucu. Maaf ya kalo pernah nggak sependapat waktu nentuin kepastian ada tidaknya diskusi pertanian.
Rika : Ini nih yang penting banget, thanks Rika dah minjemin uang buat ongkos pulang. masih suka telpon malam-malam? ah pasti masih siang malam, he he.
Ririn : Rin, kamu unik... semoga kisahmu dengannya langgeng ya... hua hua namanya siapa? keep fight girl.

Aku bahagia bertemu kalian (meskipun kadang kesel juga). Aku bangga bisa bekerjasama dengan kalian (uh lebayyyy).
Intinya,Chayo... KITA BISA!!!

Rabu, 05 Agustus 2009

MATA BIDADARI

Kulepas pergimu dengan senyum yang tak bisa kudefinisikan. Aku sendiri masih berpikir bahwa rasa ini sungguh kupaksakan. Karena sebuah alasan. Tapi kau, kau adalah mata bidadari, yang membuatku ingin meneteskan air mata jika tak sengaja memandangmu. Aku malu pada diriku juga padamu atas tingkahmu yang begitu santun padaku. Kau laksana cermin yang mampu menamparku dengan tindak-tanduk baikmu. Dan satu ketukan pintu di pagi hari olehmu, membuatku tersadar akan suasana dan kondisiku. Aku sudah terlalu lama merasa angkuh untuk sebuah hasrat untuk memiliki. Kupikir adalah sebuah keinginan untuk melindungi, ternyata setelah kucari jawaban lagi, hal itu adalah keserakahan untuk mengikat. Aku telah terlalu lama mengabaikan sisi lembutku untuk teguran. Aku terlalu sibuk dengan ambisi yang tak terjabarkan.

Terima kasih, kau sadarkanku dengan mata bidadarimu. Kau menarikku dari lorong waktu khayalan. Kau ingatkanku bahwa kita hidup di alam sadar dan kenyataan. Hati ini luluh dengan kesederhanaan dan rendah hatimu. Kau mampu tunjukkan padaku bahwa cinta itu membebaskan bukan mengikat. Melindungi meski tak memiliki.

Nuraniku menjerit dengan kedatanganmu yang tiba-tiba yang tak pernah kususun skenarionya. Mungkin diriku adalah penghayal akut yang sellau membuat imajinasi sendiri sekuat realita. Kuciptakan mimpi-mimpi sederhana dan kompleks, bahkan tentang detail seorang yang kuperjuangkan. Selama ini aku kuatkan hati untuk sebuah kenangan. Karena sebuah alasan . kupaksakan ikhlas untuk sebuah pengharapan, kupikir itu adalah pengorbanan. Ternyata aku justru makin terkubur dalam lumpur ketidakpastian. Hingga akhirnya kau datang menyapaku. Kau datang sadarkanku bahwa selama ini yang kuperjuangkan adalah kenisbian.

Mata bidadarimu, membuatku ingin meneteskan air mata dengan santun tingkahmu, dengan ikhlas senyummu, serta lembut perangaimu. Kau ajarkanku untuk kembali berpikir jernih.

*Untuk seorang sahabat yang mengajakku bertafakur atas hidup dan pencapaianku, kuucapkan terima kasih banyak. Ketidaksengajaan hadirmu membuatku tersadar.

KULIHAT DIRIMU DI MANA-MANA

Aku bisa merasakan udaramu. Menembus sel-sel yang tak pernah kupedulikan. Sial! Hari ini aku melihatmu di mana-mana. Di papan tulis, novel-novel klasik, teksbook sarat huruf dan angka, jug adi tembok kamar mandi. Namamu bergaung di kepalaku. Bergaung danbergelung. Bergaung laksana mercon yang meletus di sebuah lembah. Bergelung bagai ular Phyton yang nyeyak tidur. Kupikir, lepas sudah lelahku karena adamu. Kuusahakan untuk menyingkirkan manuskrip tua yang mengotori kamarku. Kurasakan aku telah sempurna membersihkannya. Tapi ternyata masih lowong juga sehingga virus pun mampu berdesak-desakkan. Sial! Aku masih melihatmu lagi, di mana-mana, di dunia maya, dunia mimpi, dan dunia nyata.

Namun tak ada yang perlu kusesali. Bagiku semua ini adalah apa yang memang harus kuhadapi. Kubersyukur, Tuhan mendengar doaku dan mengabulkannya. Jika aku ingin melihatmu, Dia pertemukan mataku dengan sosokmu. Tak terhitung bilangannya hal serupa terjadi. Kau selalu ada, di mana-mana.

SUATU PAGI

Aku merasakan banyak hal pagi ini. Dingin yang menusuk seakan kujiwai dengan rasa yang sukar kudefinisikan. Sepoi angin terasa membawa diriku pda kerinduan akan hadirmu. Tempat ini, pegunungan yang tinggi dan pemandangan kota yang terhamapar di bawahnya adalah sebuah tempat yang kuimpikan. Berdiri di tempat tinggi dan melihat ribuan nyala lampu di malam hari adalah sebuah momen yang dulu kubayangkan dan hari ini menjadi kenyataan.

Pagi ini, kuberpikir keras untuk mengenyahkanmu dari bayanganku. Tapi saat dingin angin pagi menyentuhku, justru kurasakan hadirmu mendekat. Membisikkan impian yang membuatku merasa nyaman....

Tempat ini adalah impianku, tak muluk kuwujudkan juga secara tak sengaja. Hanya saja, andai bisa kupandangi bulan sabit hingga lewat berganti purnama, di sini, bersamamu. Tapi itu hanya khayalan bodohku. Sebuah khayalan yang membuatku mempunyai harapanutnuk bisa menghabiskan pagi bersamamu. Dengan segelas kopi dan setoples cemilan. Ditemani canda dan tawa berujung senyum tulus untuk senantiasa saling menjaga. Dan entah mengapa, aku masih disini, pagi ini dan pagi-pagi yang lain diberikan Allah padaku.

*catatan kecil di sebuah desa yang belum pernah terbayangkan olehku sebelumnya, Hambalang.

KEPADA BULAN

Apakah bulan itu mendengarku?
Mendengar panggilku dalam lirih danjerit suara hati
Terhantar oleh desir angin malam
Untuk sebuah mimpi
Mengenangmu,
Melepaskanmu dalam semangat yang paling unggul

KOTAK MUSIK

Dalam kotak kenanganku
Masih tersusun rapi
Setiap detail memori
Tentang pertemuan dan perbincangan
Suara-suara itu, suara kita
Terekam dalam kotak musik di hatiku

Aku mendengarkannya sesukaku,
Setiap waktu
Bisikanmu membelaiku
Membuatku tersenyum simpul
Suaramu tenangkanku
Tentramkan sendi-sendi lelahku

SI SI SI SI HIDUP

Aku diizinkan untuk bertemu dengan banyak orang.

Dengan si lembut hati penyayang.

Dengan si idealis penyabar.

Dengan si jutek pemarah,

serta lusinan si yang lain.

Aku tak tahu hal serupa apa yang akan dikatakan oleh para si itu terhadapku.

Apakah si buruk rupa, si jahat, si baik hati atau si apa?

Beragam cara pandang kudapati dari perspektif hidupku.

Si apa aku, menurutku

Si apa aku, menurutmu

Si apa kamu, menurutmu

Si apa kamu, menurutku

TEORI

"Bahwa tak mungkin terjadi konflik antara tangan kiri dengan tangan kanan, demikian pula tidak akan terjadi ada satu tubuh yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja...."

Setujukah dengan pernyataan itu? Sebuah pernyataan yang mungkin sudah sering didengar secara tak sengaja saya temukan di salah satu teori perubahan sosial. Pernyataan tersebut merupakan analogi utuh dari teori fungsionalisme Talcott Parson. Setuju atau tidak setuju bagi saya adalah jawaban yang relatif. Tidak ada yang menyalahkan jika saya menjawab SETUJU maupun TIDAK SETUJU. Perkaranya adalah berhubungan dengan persepsi saraf-saraf otak yang menangkap informasi tersebut. Seorang Talcott Parson menyatakan bahwa masyarakat akan selalu berada dalam situasi harmonis, stabil, seimbang, dan mapan. Oleh sebab itu analogi yang digunakan begitu indah, bahwa tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kiri dan tangan karena keduanya saling melengkapi. Begitu pula tidak akan terjadi satu buah tubuh yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja.

Selama ini yang saya amati dan saya rasakan, belum pernah saya temui kehidupan yang seindah teori itu. Jika tangan kiri dan tangan kanan tidak terjadi konflik, itu terkait dengan toleransi kebersamaan. Barangkali tidak terjadi konflik, namun terkadang bisa saling melukai secara tak sengaja. Bukan berarti masyarakat yang terlihat tentram adalah masyarakat yang mapan, tidak pula berarti masyarakat yang diam adalah masyarakat yang stabil. Begitu pula satu tubuh tidak akan membunuh dirinya sendiri dengan sengaja, tapi hal tersebut tidak seterusnya berlaku. ’masyarakat’, bisa dikatakan satu tubuh... memang ada kemungkinan tidak akan membunuh secara sengaja. Namun jika tidak saling menyadari antara posisi satu dengan yang lainnya maka bisa jadi saling menggerogoti.

Mungkin memang kehidupan tak seindah teori, fakta adalah jawaban pasti. Namun jika setiap otak mau berkoordinasi dengan hati untuk bisa memilah mana kebenaran dan mana ketidakharusan... mungkin berbagai penyakit sosial bisa terobati sedikit demi sedikit. Semoga!

Kamis, 09 Juli 2009

SAHABAT KECIL

Denting jam di atas kepala membuatku terpasung waktu. Kuamati putarannya, selalu ke kanan. Apakah ada suatu masa di mana jam akan bergerak dengan sendirinya ke arah kiri? Adakah yang pernah berpikir mengapa jarum jam itu selalu bergerak meneruskan tugasnya? Barangkali itu adalah sebuah media belajar bagi manusia yang memang seharusnya terus berusaha untuk hari depannya. Meski manusia juga tak pernah tahu kapan saatnya jarum jam itu tak bergerak lagi, sekedar baginya atau bagi semesta.

Sekarang aku, manusia yang masih berusaha mencari jawab atas persoalan kebebasan, juga tak mengerti kenapa sampai saat ini jam itu masih terus berdetik. Kapankah kebosanannya itu datang dipengaruhi gravitasi yang tidak seimbang dan meledakkan kapasitas dunia? Aku bersyukur pada Tuhan masih bisa menghirup oksigenNya, aku bersyukur karena Dia masih menggerakkan waktu. Sampai akhirnya aku bisa bertemu denganmu saat itu. Tapi sekarang, lama sekali aku tak bersua dengan dirimu. Kau sangat sibuk tampaknya sahabatku, sahabat kecilku yang dahulu senantiasa menemaniku meniti pematang sawah. Dulu kita bersama-sama menyeberangi sungai agar bisa sampai ke ladang. Sahabatku, aku ingat waktu kau membantuku mencari tali pisang untuk tumpuan kakiku memanjat pohon Pepaya. Beberapa kali aku mencoba memanjatnya, sukar. Tapi kau menyemangatiku, katamu, yang bisa memanjat pohon bukan hanya laki-laki, perempuan juga bisa. Ha ha ha, akhirnya aku sampai di pucuknya. Aku berteriak lepas dan kau tertawa bebas.

Sahabat kecilku, apa kau masih mengingatku? Apa kau simpan baik kenangan kita yang kadang cair kadang beku? Ternyata sudah hampir separuh hidup aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Aku rindu bercerita sambil mengepang rambut keriting gantungmu. Barangkali kita terpisah jarak, aku tak tahu. Apa mungkin kau malah berada satu kota denganku? Andai kutahu nomor hapemu, ingin aku mengontakmu. Akan kutanyakan padamu, sudah berapa kali kau jatuh cinta sejak 8 tahun yang lalu?

Kau lucu waktu itu. Berlembar-lembar surat kau tulis dengan tangan kidalmu. Kadang kau kutip kata-kata Patkai, “Cinta, deritanya tiada akhir.” Tahu apa kita tentang cinta waktu masih ingusan dulu. Kau ada-ada saja. Suratmu itu tak pernah sampai pada pangeran pujaanmu. Pasti tertunda padaku, karena aku terlalu banyak mengkritik isinya. Kau jadi malu, maafkan aku sahabatku. Sungguh, aku tak tahu sejauh mana perasaanmu waktu itu. Yang aku tahu, saat itu kita masih terlalu kecil untuk jatuh cinta.

Sahabatku, kau acapkali menangis di pelukku. Kau katakan pangeranmu itu tak mengerti perasaanmu. Kau bilang dia tega. Tapi aku tak tahu bagaimana menenangkanmu. Aku terlalu keras untuk menasehatimu, aku tak punya kata-kata bijak tentang laki-laki. Hingga saat ini. Yang aku tahu laki-laki adalah sainganku. Maafkan aku. Tapi aku ingin kau tetap menjadi dirimu yang ceria. Dengan sungging miji timun geligimu dan lesung pipitmu. Kau ingat? Aku hanya bisa menggandengmu ke tegalan untuk menikmati semilir angin yang barangkali bisa menyejukkan hatimu. Meski sungguh, aku merasa biadab karena merutukimu dalam hati. Kupikir kau sangat melankolis, bagaimana pangeranmu itu bisa tahu perasaanmu jika suratmu saja tak pernah sampai padanya. Jangan salahkan dia, tapi salahkan hati laki-laki yang tak peka.

Berapa kali kau mengadukan hal yang sama bahwa pangeranmu itu tak pernah mengerti perasaanmu. Aku sebal pada sikapmu. Kalau kau suka katakan saja. Katakan, toh saat itu kuyakin cintamu itu bualan. Aku tak menghinamu, tapi untuk umuran anak kecil seperti kita saat itu tak ada istilah cinta. Tak ada sebutan cinta monyet. Kenapa cinta harus monyet? Bukan Gajah yang besar, bukan Jerapah yang tinggi, bukan pula Angora yang manis. Tak pernah pula kutemui orang bilang cinta itu Macan, Singa, atau Buaya. Kenapa harus monyet? Barangkali The Origin Of Species karangan Darwin terinternalisasi dalam diri manusia melebihi The Evolution Deceit-nya Harun Yahya. Bahkan anak-anak seperti kita yang waktu itu belum tahu sama sekali mengenai dua orang itu. Yang kita tahu manusia itu dari monyet.

Sampai usia kita memasuki sebelas, kita berpisah. Kau memilih pesanteren sebagai rumah singgah galian ilmu. Aku tetap di tempat yang sama. Menikmati jamuan hidup di desa tempat kita biasa bercanda atau pun bersengketa. Sejak kita berpisah, aku hanya sekali mengetahui kabarmu, kau bilang bahwa kau menikmati kehidupanmu di pesanteren. Aku iri padamu saat itu, kau banyak belajar Qur’an Hadist, kau pasti belajar Nahwu Saraf. Kau juga telah hapal mahfudot yang barangkali tak terhitung. Dan kau pasti terlihat anggun dengan gaun hijabmu.

Aku masih tetap seperti saat kita bersama. Hobiku tak lain adalah memanjat pohon, meributi ayahku mengurus Kambing, aku masih malas mencuci piring (salah satu pekerjaan perempuan adalah mencuci). Saat kutahu kabarmu itu, aku ingin berubah menjadi sedikit lebih lembut, tapi aku urung melaksanakannya karena kutahu saat itu perasaanmu masih sama untuk pangeranmu yang saat itu entah dimana. Aku tak mau jadi lembut. Aku takut hal itu bisa membuatku bergantung pada perasaan. Bagiku, hidup ini butuh logika dan rasionalitas. Aku adalah aku, kamu adalah kamu, dan kita berbeda.

Sekarang, aku berharap kau ada di kotaku. Kota persinggahanku. Aku tak memilih menjadi lembut, tapi aku menirumu memilih tempat singgah ilmuku. Sekarang mungkin kau akan heran melihatku. Aku tak semakin gemuk seperti khayalanmu dulu. Aku tetap ceking kurus, berkaca mata, pelit senyum, galak, dan mungkin aku butuh petuah bijakmu. Aku masih memusuhi laki-laki. Kau mungkin tahu kenapa aku memusuhi makhluk yang katanya kita tercipta dari rusuk kirinya. Sejak kecil, aku tak mau kalah dengan mereka. Karena ayahku ingin aku menjadi seperti laki-laki. Jalanku harus cepat, makanku harus cepat, aku harus bisa memegang candung . Aku harus tahan untuk tidak menangis.

Sahabatku, aku masih seperti aku. Kuyakin kamu masih juga sama seperti kamu. Tapi aku tak lagi mempersoalkan rasamu untuk pangeranmu, karena aku tahu pada dasarnya wanita itu setia, meski kadang kesetiaan itu perlu dipertanyakan. Aku tak suka kesetiaanmu itu, karena setiamu itu kau dikhianati. Pangeranmu sering menyandarkan keluhnya padaku. Dia tahu perasaanmu sekarang. Tapi dia tak peduli. Pangeranmu itu punya satu permaisuri dan dua selir yang selalu dia sambangi. Kuberdoa semoga kau tak lagi pertahankan kesetiaanmu itu. Laki-laki itu hanya halusinasi masa lalumu. Jika sekarang kau ingin mencari pangeran, carilah yang mencintaimu dan menjagamu. Karena jika tidak kau hanya akan jadi budaknya. Aku tak menggugat laki-laki, tapi jika ada yang merasa tergugat, mungkin apa yang kukatakan adalah fakta. Atau mungkin baginya aku sedang membual, tertawakan saja aku. Tak peduli.

Aku rindu masa bersamamu. Jejak langkah kita telah tergilas air hujan ratusan ribu detik yang silam, tapi aku masih mengingatnya, kulipat rapi dalam memoriku. Aku ingin bercerita padamu bahwa terkadang sifat lembut perempuan terkadang menjebaknya sendiri. Atau itu kebodohan perempuan di mata laki-laki?

GONG

Saatnya tiba

GONG

Menggema

Lega

Ceria

Sabtu, 04 Juli 2009

Bulan Tak Lagi Sabit

Bulan sudah separuh, tak sabit lagi. Sepekan sudah aku habiskan waktu bersamamu dalam sebuah perjalanan yang kuharapkan tak kunjung habis. Aku bebas memandangmu untuk beberapa saat. Ingin sekali ku menyapamu saat itu. Tapi kau terlalu menghemat suaramu. Kau tak rela kebahagiaanku sempurna karena kudengar nadamu. Malam ini, aku mendongak ke atas langit, bulan separuh itu. Seandainya bisa akan kujadikan separuh saja agar kautetap di sisiku. Esok tak usah ada, pikirku. Aku tak mengerti akan esok hari. Hari ini saja, biarkan malam tetap teduh dalam temaram bulan separuh. Bersamamu.

Kau tak mau berhenti. Kaki ini keram ditusuk dingin malam dan pecah tersengat aspal siang. Aku mengejarmu ribuan mil dalam ukuranku. Aku berteriak memanggil namamu yang semakin membuat tubuhku menggigil dan gemetar. Ah kau, kau tak hanya sekedar menghemat suaramu, tapi kau juga menutup telingamu. Entah dengan dalih apa kau lakukan semua ini. Aku tak mengerti kenapa kau selalu berusaha ciptakan pagi saat aku sedang nyenyak di malam hari. Aku memanggilmu, bisikkan namamu dalam ngilu yang coba kutahan.

Sekali kau berbalik menatapku. Kau tersenyum, kau melengkah membelakangi jalanmu menuju ke arahku. Tampaknya kau begitu lelah, matamu kecil. Kau tak tega melihatmu. Kau jatuh tersungkur. Aku melihat semuanya. Kau jatuh. Kuulurkan tanganku meski lengannya tak jauh lebih besar dan kekar darimu. Kau menampiknya. Kau katakana aku berbohong pada waktu. Pun pada setiap zat yang mengertiku. Katamu, kau takkan bisa memapahmu. Aku tak bisa mengobati luka-lukamu. Lunglai aku.

Apa yang ada di otakmu aku tak pernah tahu pasti. Apalagi hatimu. Tapi bukankah laku kadang mewakili? Kau biarkan aku menangis melihatmu kesakitan dengan luka saat kau terjatuh tadi. Kau menolak uluran tanganku dan kau biarkanku terpuruk rasa tak terdefinisi melihat tetesan darahmu. Apalagi saat kau biarkan orang lain memapahmu dan mengobatimu dengan tangannya. Kau biarkan jari-jarinya menjamah lukamu. Saat kubuka pintu kamar rawatmu, kau meneriakiku. Itulah pertama kali kudengar suaramu semenjak bulan masih sabit. Kau bangkit dari tempat tidurmu. Masih dengan tetes darah di lukamu, kau tampari aku, kau jambak rambutku, kau terus memukulku. Kau kesetanan.

Aku tersudut di salah satu pojok kamar rawatmu. Kau tertawa melengking seperti serigala yang sebentar lagi menikam mangsanya. Kau tertawa, tertawa, tertawa. Aku masih tersudut dengan sakit dan ngilu yang sebenarnya tak tertahankan. Aku tak akan membalasmu, kuku jariku tak cukup kuat untuk mencakar mukamu. Kau mendekat padaku, aku diam. Badanku gemetar hebat dengan keringat dingin yang tak kunjung surut. Kau lebih dekat sekarang. Napasmu iblis. Sial, aku tak bisa apa-apa sekarang. Tulangku terasa patah setelah kau menikamku tadi. Otakku hanya menyuruhku diam, memejamkan mata. Bunyi napasmu telah sampai di telingaku, kau terlalu dekat padaku. Ini adalah hari terburuk semenjak bulan masih sabit itu. Malam ini, di bawah temaram bulan separuh, kau tak terlihat sebagai kawan perjalananku lagi.

Tapi kupercaya atasmu. Kau punya sisi yang sebenarnya sungguh bijak. Kau baik. Tapi kau tak pernah menyadarinya. Jika memanga anggapanku tak benar, maka aku berharap semoga aku menjadi bagian dari kebaikanmu. Wahai teman seperjalananku sejak bulan masih sabit. Aku menhan napas sejenak saat kau sangat dekat denganku. Kuberanikan membuka kelopak mataku yang bolanya sama warna sepertimu. Saat kubuka, kau tersenyum padaku, itu pun adalah senyum pertamamu yang pernah kulihat. Sekejap, kau buat pandanganku menjadi kabur, kau lamat-lamat hilang. Entah sekarang yang kurasakan adalah sakit atau kebahagiaan. Darah itu mengucur deras memerahi lantai kamar rawatmu yang putih. Aku sekarat, kau menusukku dengan belati yang kau sembunyikan di balik piyama. Aku akan mati. Dan aku mati di tanganmu, di tangan zat yang selama ini terus kukejar. Aku mati, kau bunuh rasa sadarku.

SEPOTONG KISAH DALAM PERJALANAN

Suatu kali ada seorang wanita yang merasa dalam kurungan sunyi. Terjebak karena asa yang berlebih untuk bisa memiliki. Baginya, pria itu adalah semilir angin baginya saat sengat terik matahari membuatnya gerah. Baginya dia adalah biru laut yang menyejukkan mata dan hijau hujan yang melapangkan dada. Masih terbayang jelas dalam benak wanita itu bagaimana mereka berdua pernah bisa saling memandang dan memahami. Pernah juga dia merasa bahwa sebenarnya mereka saling membutuhkan. Menyebut namanya bukanlah sekedar guamma atau suara tak bermakna. Untuknya, ada rasa yang menyengat bergetar di sarafnya saat nama itu disebut.

Sampai sekarang wanita itu masih mengharap kan tibanya suatu masa dimana ia bisa menggandeng tangan atau sejenak memeluknya. Wanita itu memejamkan mata dan terhempas pada kenangan lalu saat dia damai menyandar pada pundak pria itu. Air matanya kini meleleh sedikit, hanya satu titik. Kemudian terus meleleh , mengalir sungai kehilangan. Entah dimana pujaannya itu Semarang.

"Tuhan, izinkan aku melihatnya" ucap wanita itu.

Semarang wanita itu sedang bersiap-siap untuk menjemput harap akan esok yang lebih pasti meski tanpa dia, pria itu. Pujaan hatinya. Meski sulit dan berat, tetap dia persiapkan dengan rapi penampilan optimis dan wajah semangat. Dia kenakan pakaian percata dirinya, dia sematkan pin kepastiannya. Lalu, dicarinya tas yang cukup untuk membawa semua kenangannya. Meski berat, Namur dia tak mau meninggalkan dengan sia-sia kenangannya bersama pria itu meski segores pena. Semarang dia sudah Sian. Tinggal dipakainya sepatu keyakinan utnuk melangkah. Sepatu itu dia temukan di sudut ruangan yang selama ini jarana dia rambah. Logikanya.

"Aku tak boleh murung!" katanya. Kemudian dia sapukan bedak keceriaan di wajahnya.

"Aku Siap!"

Wanita itu akan segera pergi membawa kenangannya. Dia akan melanjutkan perjalanan yang memang harus di tempuhnya. Meski sebenarnya dia masih ingin melihat pujaan hatinya, pria itu . Setidaknya sebelum dia benar-benar pergi dan sampai di tujuannya.

"Tuhan, izinkan aku untuk melihatnya sebelum aku benar-benar pergi membawa semua ini" doanya.

Langkah kakinya masih nampak ragu untuk menaiki mobil menuju Terminal keikhlasan. Tapi tetap dia paksakan. Wanita itu merasa yakin meski dengan perih. Ya, dia Semarang telah dudukdi mobil itu, siap untuk segera pergi.

Setengah perjalanan dia lalui.

Sebelum sampai ke Terminal ikhlasnya, dia kembali berdoa….

"Tuhan, izinkan aku untuk melihatnya sebelum aku benar-benar pergi membawa semua ini."

Dia tak kuasa untuk berpura-pura bahwa cinta itu telah sirna. Wanita itu, meski diam, namun setumpuk doa senantiasa dia panjatkan untuk pria itu. Harapannya tinggi, cintanya selalu ada walaupun dia tidak tahu bagaiman perasaan pria itu sebenarnya. Sesaat di dalam mobil yang mengantarnya, dia melihat ke luar jendela. Perjalanannya terhambat karena teriakan dan suara-suara di hatinya. Tiba-tiba saja perjalanannya terhenti. Dan saat itu....

"Tuhan… aku melihatnya" ucap wanita itu, "Pria itu bersama perempuannya."