Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Minggu, 04 April 2010

The Spectrum of Feeling PART V

Sekarang, aku duduk di sini sendiri ditemani detik yang kian meretas waktu. Bersama silih berganti purnama yang membiarkanku mengenangmu, memperlakukan bayangmu laksana nyata. Di antara selaksa rindu yang membuatku kadang terperangkap dalam lorong hati yang sukar kumaknai. Aku terjaga di tengah biduk malam yang membawa pesan damai pada hati, namun ternyata kurasakan pedih yang dalam karena hatiku tak sebahagia biasanya. Aku bersandar pada rasa yang mengalahkan logika. Sampai akhirnya aku mengerti dan kubiarkan pohon cintaku tumbuh dengan pucuknya yang selalu merindu. Kubiarkan angin menghembusnya agar galau ini meliuk lalu beranjak. Ku tak pernah membiarkanmu hilang lenyap, tapi aku mengenangmu pada salah satu ruang hati yang mungkin tak pernah bisa kupersilahkan untuk disinggahi orang lain.

Seperti detik-detik yang telah berlalu, aku pun masih mencintaimu, sampai sekarang. Meski banyak rongrongan menggelitik gendang telingaku untuk segera melupakanmu dan menggantikannya dengan yang lain, tapi tak ku indahkan. Bukannya aku tak mampu melakukannya tapi aku tak mau mewujudkannya. Karena aku merasa yakin, setidaknya, kau pun masih merindukanku. Aku percaya kau masih mengabadikan jejak bisu kita yang barangkali telah berkali-kali tergilas hujan air mataku. Kau, kupercaya itu. Aku, selalu mencintaimu meski dalam bisu.

Aku tak mengerti akan kehadiran rasa ini. Sama sekali aku tak pernah memaksakan diri untuk mencintaimu. Dulu atau sekarang, semuanya normal. Hanya perasaanku saja yang barangkali tak pantas disebut normal. Mataku tak mampu membedakan mana realita dan mana fatamorgana. Mencintaimu sampai detik ini bukan fatamorgana, bukan pula realita, aku pun tak tahu apa istilah yang tepat untuk menyebutnya. Yang jelas, aku mencintaimu... sampai waktu yang tak ingin kuakhiri.
Kau, sebuah nama yang tak sempat terucap. Kau, sesosok wajah yang tak sempat terlihat. Kau satu hati yang tak lagi bisa kululuhkan. Dan untuk sebuah apresiasi perasaan yang mendewasakan. Aku benar-benar mundur kali ini.

The Spectrum of Feeling PART IV

Ucapan itu lirih, tapi sesungguhnya sangat keras dan memekakkan telinga. Perempuan memang punya segala cara untuk membuat lawannya iba. Aku benci tangisan. Sungguh, jika aku tak malu sesungguhnya ingin kutampar dia, membekap mulutnya, dan mengatakan padanya bahwa dia tak lebih dari jalang yang mengusik kehidupanku. Tapi sayangnya, jalang itu kucintai.

Perkenalkan, aku laki-laki, aku maskulin, aku tidak bisa berdiam diri dengan hanya satu wanita. Terlalu munafik jika aku katakan bahwa hanya ada satu wanita yang aku suka. Aku senang berpetualang, juga pada banyak hati. Aku kurang berminat berbicara tentang kesetiaan, karena kesetiaan itu mematikan. Kesetiaan akan melahirkan kecemburuan, dan cemburu itu menyesatkan. Orang bisa membunuh karena gelap mata sebab cemburu. Namaku Geo. Itu jika kamu mau tahu. Sayangnya, perempuan itu melankolis dan sangat cemburuan, kecuali untuk beberapa kasus, ada juga yang menyerang dan agresif. Perempuan punya ekspektasi lebih tentang kesetiaan. Bagi laki-laki, jangan pernah bermain-main kata, atau menjanjikan sebuah kebersamaan untuk selamanya jika kau hanya singgah sementara dan mau menikmatinya saja. Perempuan itu akan minta kau menikah dengannya, berumah tangga, dan melahirkan banyak anak.

Jika akan ada banyak wanita yang menggugatku, mungkin itu laku yang sia-sia. Aku selalu fair dalam mendekati wanita, merajut kisah sehari atau beberapa jam dengan mereka, pasti kuungkapkan terlebih dahulu bahwa aku bukan laki-laki yang rela jatuh pada pelukan satu wanita saja.
****

Pertemuan itu tak sengaja, seperti sebuah kecelakaan waktu. Entah pula, aku yang sangat rasional merasa berharap bahwa kecelakaan itu akan kembali terjadi meski hanya sekedar bisa menyapanya sebentar. Bisa saja langsung kutemui dia, tapi kuingin semuanya natural, aku ingin dia juga merasa perlu bertemu denganku. Gadis itu, cukup bisa membuatku merasa kalah. Dia istimewa dengan sisi-sisi pribadi yang tak dibuat-buat. Tapi rasa-rasanya aku tak perlu banyak memujinya. Aku tidak mau jatuh cinta. Aku merasa bahwa kita tidak selalu bisa selalu menentukan kepada siapa kita harus jatuh cinta. Dia gadis istimewa, Maharani namanya. Dia tak tahu, aku -si playboy- sedikit memujinya.

The Spectrum of Feeling PART III

Maharani, satu kata dari sebuah nama, tapi bagi dia mampu mengungkapkan segalanya. Delapan huruf dengan empat konsonan dan empat vokal. Baginya, meski sampai sekarang dia tak tahu penjabaran makna Maharani, tapi dia bangga, sangat berterimakasih dengan kakeknya yang memberikan dia tato hidup itu. Satu kata yang setiap kali diperdengarkan oleh mulut-mulut yang mengelu-elukan maupun menggunjingnya. Maharani, saja. Dia bangga, bukan dengan istilah Maharani-nya, tapi dengan cacah huruf yang terkandung dalam namanya, delapan, 8. Delapan, 8, adalah lekuk indah yang tegas dan maya ujungnya.Garis lengkung yang mantap dengan liku yang manis. Berlebihan mungkin, tapi itulah delapan, 8. Delapannya Maharani. Lekuknya tidak dipunyai oleh 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, dan 0. Maharani artinya kaisar perempuan atau ratu.


Dua puluh bilangan tahun, dia merasa menjejaki masa-masa melalui apa pun yang dia perbuat. Dia bisa melakukan apa saja yang dia inginkan, tentu saja ketika dia mampu menanggung konsekuensinya. Karena hidup adalah konsekuensi. Baginya, kehidupan itu adalah pencarian. Dia selalu mencari, apalagi kebebasan. Maharani tidak suka istilah "biarkan hidup mengalir seperti air", dalam pandangannya kalimat itu terlalu pasrah. Hidup perlu dilawan, segala sesuatu tidak bisa mengalir begitu saja, semuanya harus dikondisikan. Untuk apa manusia diberi kelebihan akal untuk mewujudkan peradaban jika perjalanan hidup tak lebih dari "kerbau yang dicocok hidungnya"? Satu hal pencapaian paling tinggi yang dia inginkan dalam hidupnya adalah membuat pikirannya merdeka. Menjadi manusia yang merdeka, perempuan yang mumpuni, dan menjadi pribadi yang tidak tertindas. Jalannya satu, dia harus dan perlu cerdas.

Adakah jalan lain untuk menjadi pribadi yang merdeka? karena beberapa waktu terakhir banyak tetek bengek yang terlalu munafik jika dia mau mengelak. Dan lagi, rasa-rasa pikirannya terbelenggu untuk bisa bebas. Berlahan kebebasan itu semakin meredup seiring dengan ego yang berusaha dia pertahankan. Kecemburuan, itulah satu hal yang meracuninya. meracuni positifnya. meracuni jalan pikirannya. Katanya bisa memaafkan adalah kebesaran hati yang luar biasa. Tapi baginya memaafkan adalah mengoyak hati. Ya, dia salah dengan pandangannya, tapi entah mengapa emosinya menuntun pada ketidakikhlasan.

"Kita jalani saja, toh kita tidak pernah tahu siapa yang akan menjadi pendamping kita" kata laki-laki itu.
"aku tidak bisa seperti kamu, membagi hati" Maharani memaki pedas.
"Aku juga tidak menginginkannya" laki-laki itu tak bernada.
"Tapi kamu menikmatinya."
"Terserah kamu."
"Aku mundur" Maharani berteriak.
"Kamu tidak akan bisa!" laki-laki itu menjagal dan menahannya pergi.

Gontai langkah Maharani saat dia harus kembali pada kebebasannya. baginya, lima tahun perjalanan takkan semudah membalik telapak tangan apalagi bertepuk. Apa yang bisa kita berikan pada orang yang suatu saat menjadi pendamping kita jika telah terbiasa belajar membagi hati? Kebohongan apa yang akan kita tutupi dan dengan cara bagaimana?
"Aku mundur."
"Kamu tidak akan bisa" laki-laki itu menahan Maharani pergi.