Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Sabtu, 29 Januari 2011

A MONOLOGUE

Rasa bersalahku semakin membuncah, di satu sisi aku menyayangimu, merasa bahwa kau adalah cinta pertama yang tak lekang oleh waktu. Berkali-kali aku coba menjalin hubungan dengan cinta yang baru, tapi namamu yang masih saja terpatri jelas. Namun, sayang ini seperti berbatas keadaan. Aku seperti hilang arah dan memiliki beban begitu berat ketika mengatakan “aku menyayangimu”. Meski perasaan tak bisa dibohongi, tapi beginilah keadaannya. Rasanya aku ingin pergi saja dari kehidupanmu.

Aku sudah bilang akan pergi darimu, berangsur-angsur kunikmati kesendirian dan keadaan tanpamu.

Aku terbiasa bersamamu saat itu. Banyak impian yang kita ciptakan bersama, membaca buku-buku yang sama, mendengar lagu-lagu yang sama, menyukai warna yang sama, dan menikmati kesempatan. Begitu banyak tentangmu, hingga aku tak tahu bagaimana cara menghapusnya satu persatu. Mungkin, jika kau tanyakan padaku seberapa banyak aku mengingatmu, aku jawab terlalu banyak hingga aku tak sadar bahwa aku pun sampai membandingkan orang lain denganmu.

Aku terbiasa menunggumu di sini, pada petang hari. Di kursi panjang berwarna cokelat. Masih dengan setumpuk kertas yang kudekap di dada, muka lusuh bekas aktivitas seharian, juga badan yang sudah remuk redam akibat begadang semalaman. Kau muncul dari balik gedung itu dengan gayamu yang biasa saja. Meski tanpa lambaian tangan namun senyummu sumringah. Kelegaan yang kudapat ketika aku yakin bahwa kau tersenyum padaku.

Tapi cinta bukan kesamaan, bukan pula senyum yang muncul saat pertemuan. Karena itu, akhirnya aku benar-benar pergi, maafkan aku. Aku tak cukup tangguh untuk mengikuti segala keinginanmu, aku ingin menjadi diriku sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------

Kau sama sekali hilang tak berkabar sekarang, meskipun aku tak mencemaskanmu tapi kuharap kau baik-baik juga. Terlebih lagi, semoga sudah kau temukan apa yang selama ini kau cari (aku juga tak tahu pasti apa yang ingin kau raih). Itu urusanmu, itu hak dan kewajiban untuk hidup yang dianugerahkan kepadamu. Setiap kita punya selera sendiri untuk menentukan kemana arah yang akan kita ikuti, dan memang dari dulu nampaknya kita berbeda. Tapi kupikir kita masih bisa untuk saling toleran dan menghormati bukan tanpa kabar seperti ini.

Tidak ada salahnya untuk memberi kabar, maka kusampaikan bahwa aku baik-baik saja. Sangat menikmati hidup, menikmati kebersamaan, menikmati kesendirian dan perenungan, juga menikmati pencarian. Kuharap kau juga. Tidak mau bertemu denganmu bukan berarti aku mengabaikanmu atau tak menghormatimu. Hanya saja, aku ingin kita baik-baik saja, kutahu jika pertemuan terjadi bukan tidak mungkin kita akan saling diam. Canggung untuk menentukan siapa dulu yang berhak bicara, padahal kita tidak sedang memperebutkan hak atau harus melaksanakan kewajiban, kita hanya butuh waktu senggang untuk berpikir. Dan aku: MENIKMATI KEBEBASAN.

Sabtu, 15 Januari 2011

A Right for Happiness




Kemana kamu seharian sayang? Aku menunggumu di sini: di sudut hati yang was-was dengan pernyataan “aku menyayangimu” yang kau ucapkan tempo hari. 11 Januari. Momen itu seperti sebuah kesempatan yang membuat kita menata keping-keping haru akan cinta yang telah terserak selama enam tahun lewat. Waktu yang tidak singkat untuk akhirnya kita bertemu kembali di sebuah kesempatan yang tidak pernah tertebak. Dan seharian ini, menunggu kau berkata-kata terasa jauh lebih lama daripada waktu enam tahun itu.

Hari-hariku sekarang dipenuhi dengan keinginan untuk segera menemuimu dan menceritakan banyak hal. Lucu memang, karena tradisi kita bukanlah saling bercerita. Sebelumnya sapaan adalah hal mahal yang jarang kita bagi. Lalu, ketika kita mengingat masa-masa di awal kita jumpa dulu, kau begitu puas menertawai tingkahku yang kau bilang begitu tak acuh. Aku menjadi begitu rindu dengan tingkahmu, dengan sapaan dan nasehatmu. Kupikir, aku jatuh cinta.

Sudah berapa banyak perubahan kita Sayang? Sejauh kita mencari arti dan saling menghargai untuk beberapa waktu ini, kurasa kau makin matang dengan kemandirianmu. Meskipun tetap saja, kau ucapkan bahwa kau ingin selalu menjadi anak kecil, karena dengan begitu kau akan selalu merasakan kebahagiaan. Sayang, kebahagiaan itu sebuah pilihan, mari kita berbahagia tanpa harus kembali ke masa kecil kita dulu. Bukankah kita bisa ciptakan hari-hari penuh senyum dengan kebersamaan kita? Kita bisa wujudkan mimpi-mimpi kita bersama mulai dari sekarang, dan itu bisa kita raih dengan perasaan yang bahagia, bukan dengan lilitan kesedihan. Ingatkah malam itu? Ketika kau tanyakan padaku sebuah kalimat “bahwa satu detik dari sekarang adalah masa depan”, maka jika kita ingin masa depan kita bahagia, mari kita sajikan detik-detik yang penuh dengan syukur atas segala yang terjadi. Dan, aku ingin menapaki masa yang tersisa ini bersamamu, Sayang. Dengan rasa syukur yang tak pernah terputus.

Rainy


Aku mencintai hujan, karena itu adalah bagian dari sebuah momen yang mampu menggugah hatiku. Aku selalu mengingat masa-masa di mana hujan menemaniku dalam pedih atau perih, dalam canda maupun rasa tak tega. Masa dengan diriku, dengan ayah ibuku, dengan adikku, dengan sahabat-sahabatku, seseorang yang pernah melekat di hatiku, atau pun denganmu. Ya denganmu. Hujan, kala itu. Aku memberi makna hanya sebatas waktu dan kondisi cuaca. Pikiranku justru menerawang masa di mana aku belum mengenalmu. Jangankan kenal, ada bayangan bertemu denganmu saja tak pernah sama sekali terbersit.

Saat itu hujan, aku mampu berteriak sekencang-kencangnya mengungkap rasa sedihku. Ya dengan cara itu, aku meninggalkan seseorang yang pernah mengisi sebagian ruang di hatiku. Aku harus menitipkan pilu pada gudang rasa di hatiku, saat itu. Setiap kali aku menemuinya, rasa itu menakutkan. Aku tahu akan ada dua manusia yang tak setuju atas langkahku bersamanya. Tapi karena hujan, aku jadi merasa ada wakil dari perasaanku,. Dalam hujan, bagiku, ada gigil yang tak dingin. Ada lelah namun terarah. Ada luka namun tak menganga. Saat hujan, tak peduli seberapa deras mata air mata kita. Tak peduli seberapa keras tertawa kita. Tak peduli sebagus apa busana kita. Tak peduli sejelata apa kondisi kita. Yang jelas timpaannya sama.Hujan. Aku mencintainya.

Sampai di suatu persimpangan aku menemuimu tak sengaja. Maka dengan sigap tak perlu kutunggu rintik hujan untukku merasakan semuanya. Mulai kuartikan satu persatu rasa yang menggelikan ini. Tak lagi kupedulikan rasa pilu yang kutitipkan di gudang rasaku. Yang aku usahakan adalah menyisipkan bahagia di setiap gelak tawa pahit yang kadang aku benci. Tawa topeng yang sungguh mengenaskan. Namun, karenamu, aku tak perlu lagi memakai topeng. Kau melepaskannya. Dan kau pasti mengerti kapan kau melepaskan penutup wajah rasaku itu. Kau ingat? Saat hujan. Dari situ, kupikir sekarang hujan tak hanya milikku, orang tuaku, adikku, sahabatku, orang itu, tapi juga milikmu. Aku bangga pada hujan yang menyatukan perasaan.

Lurus terus kita berjalan, bergandeng tangan, berdua. Mengesampingkan cercaan orang yang menganggap kita tabu, karena kau bukan milikku. Kau miliknya. Tapi aku tak menyalahkanmu, kuanggap itu wajar. Perasaanku wajar, perbuatanmu pun jadi wajar. Meski kelak, semuanya menjadi salah ajar. Kau tetap bersamanya, namun kau menggandeng tanganku ketika berjalan. Aku jadi berpikir bahwa kau lebih memilihku.

Sampai akhirnya kutahu semuanya hanya sekedar permainan tak berjudul. Bahkan sekalipun kucoba untuk menyusun beberapa huruf untuk menamainya, aku justru semakin terlihat seperti peserta terbodoh dalam perlombaan scrable. Meski demikian aku semakin mencandu pada games itu. Terus mencoba setiap waktu tak peduli apakah saat itu aku akan menang atau kalah. Hanya saja, yang aku tahu, aku semakin mencintaimu dan membutuhkanmu.

Tapi aku mulai ragu, apakah cinta itu kebutuhan? Apakah karena aku membutuhkanmu lalu aku mencintaimu? Bahkan hingga hari ini pun aku tak mengerti maumu sebenarnya. Kau membuatku nyaman dengan semua gerak-gerikmu.

HAPPY BIRTHDAY











Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari
Kalori bagi kekuatan hatiyang tak pernah habis dicerna usus

Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa
Menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap
Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari
(kuambil penggalan ucapan ini dari Filosofi Kopi-Dewi Lestari)


Kamu mungkin sudah hidup 3000 tahun lamanya. Bagimu masa depan tidak menjanjikan apa-apa, maka marilah bermimpi untuk masa depan. Munculkan imajinasi yang tak terbendung untuk menciptakan sebuah dunia seperti yang kamu inginkan. Aku berdoa untukmu, di hari ulang tahunmu ini. Semoga kamu bisa menjadi sesuatu untuk negeri ini (patutlah jika kita harus sadari bahwa negeri ini sudah terlalu hapal dengan kemiskinan). Kamu, kurasa bisa menjadi bagian kecil yang bermakna untuk negeri ini, semoga.
Selamat hari lahir, berapa pun umurmu hari ini.

Selasa, 04 Januari 2011

It Comes and It Goes














Aku sengaja menulis pesan ini untuk kalian berdua. Sebelumnya aku ucapkan terima kasih atas ketersediaannya membaca tulisan yang barangkali sedikit membosankan atau mungkin tak bermakna. Aku harap, semoga ada yang bermanfaat dan dapat membuka pemikiran kita.

Kalian tentu saja mengenalku dengan cara yang berbeda, dengan pandangan kalian masing-masing. Tapi pasti ada kesamaan dari kalian berdua terkait dengan persepsi tentang aku, kalian sama-sama memandang bahwa aku adalah orang yang keras kepala. Maafkan aku atas satu sifat yang melekat dalam pribadiku itu. Karena keras kepalaku, barangkali tanpa aku sadari aku menyakiti perasaan kalian. Aku tak pernah berencana untuk masuk dalam kehidupan kalian, aku anggap ini memang jalan cerita yang harus dilewati, dan melalui tulisan ini, aku ingin minta maaf sekaligus berterima kasih kepada kalian berdua atas pelajaran berharga yang telah dan sedang dilalui.

Barangkali tak cukup kata untuk mengungkapkan segala ingatan dan kenanganku tentang salah satu diantara kalian. Ini tentang kamu, laki-laki. Kamu adalah laki-laki pertama yang meruntuhkan kekesalanku terhadap laki-laki. Kamu datang disaat kehidupanku seperti jatuh, disaat aku begitu malu menghadapi kenyataan bahwa aku sendiri merasa dikhianati. Kamu banyak mengajariku bagaimana menghormati orang lain, bagaimana memegang prinsip dengan kuat dan lemah lembut dalam menyampaikan. Aku begitu mengagumimu. Bahkan meskipun kita dekat, aku belum mengenalmu sebelumnya, aku hanya tahu kamu sedikit saja. Dan untuk beberapa lama kita hanya berusaha untuk saling mengerti. Aku masih kekanakan dulu, dan mungkin begitu menyebalkan untukmu. Aku sangat tidak asyik dan aku tidak mudah mengungkap apa yang kurasakan, aku terlalu serius dan cengeng. Mungkin kau masih ingat betapa menyebalkannya aku. Maafkan aku atas sikapku dan terima kasih kau membantuku untuk menjadi lebih dewasa.

Kamu begitu simpel, cuek, namun penuh dengan perhatian. Aku tidak pernah memikirkan seberapa besar sayangmu padaku karena itu hakmu. Yang jelas, kamu banyak membawa kebaikan dalam hidupku. Aku menjadi orang yang begitu kompetitif, sejak aku mengenalmu aku mengagumimu. Kamu belajar bukan untuk peringkat tapi karena kamu mencintai ilmu itu sendiri. Dan hal itu mempengaruhiku sampai ketika aku menuliskan hal ini untukmu dan untuk kalian. Aku banyak termotivasi darimu, meskipun kadang aku juga kesal padamu. Kamu ingat saat kamu membantuku belajar Bahasa Inggris berhari-hari ketika aku mempersiapkan olimpiade tingkat provinsi waktu aku kelas 3 SMA? Hingga aku bisa sampai di tingkat nasional? Dan setelah itu aku jatuh dari motor kemudian kamu rela meluangkan waktumu untuk antar jemput aku ke sekolah? Sejujurnya dan seharusnya tidak ada alasan untuk menyakiti dan mengecewakanmu, kamu begitu baik.

Aku terbiasa bersamamu saat itu. Banyak impian yang kita ciptakan bersama, membaca buku-buku yang sama, mendengar lagu-lagu yang sama, menyukai warna yang sama, dan menikmati kesempatan. Begitu banyak tentangmu, hingga aku tak tahu bagaimana cara menghapusnya satu persatu. Mungkin, jika kau tanyakan padaku seberapa banyak aku mengingatmu, aku jawab terlalu banyak hingga aku tak sadar bahwa aku pun sampai membandingkan orang lain denganmu.

---------------------------------

Dan kamu, perempuan yang begitu baik, aku ucapkan terima kasih atas perkenalan kita. Atas waktu-waktu yang kamu sempatkan demi menanyakan bagaimana kabarku. Maafkan aku jika terlalu keras bersikap padamu. Aku hanya tidak ingin kamu semakin sakit dan menjadi orang yang mudah mengeluh. Aku menyayangimu sebagai saudaraku sesama perempuan. Tulisan ini bukan untuk pembenaran sikapku, tapi hanya sejauh ini yang bisa aku lakukan. Maafkan jika aku egois membuat keputusan ini, aku hanya tidak ingin energiku terkuras lebih banyak untuk memikirkan semua ini. Kamu sudah tahu, bagaimana aku memutuskan untuk berpisah, mungkin aku telah menyakitinya, sahabatmu itu. Dan di setiap doaku, aku memohon agar kita semua bisa mendapatkan proses yang terbaik. Aku pikir, kita tidak perlu repot dengan persoalan yang pernah kita hadapi.

Kamu pun banyak memberikan banyak kebaikan dalam perjalanan hidupku. Terima kasih telah membuatnya tersenyum. Terima kasih untuk apresiasi perasaanmu terhadapnya. Aku tidak berpikir untuk merebutnya darimu, bahkan aku bahagia mengetahui bahwa dia pun menyayangimu, seorang perempuan yang ayu dan lemah lembut. Selama ini aku tidak menyadari bahwa sikapku menyakiti dan mengecewakanmu. Maafkan aku. Kamu adalah perempuan yang tegar dan kuat, janganlah menjadi perempuan yang cengeng, tunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi terlemah kita tetap kuat. Mari sama-sama belajar untuk tidak menyalahkan siapa-siapa jika kenyataan tidak sesuai rencana. Ini bukan untukmu saja, tapi untuk kita. Aku pun harus belajar ikhlas dengan jalan ini.

Terima kasih telah bersedia mengunjungi tempat tinggalku , begitulah adanya aku yang kamu lihat. Aku tidak selembut kamu, aku keras kepala. Bahkan ketika berbicara aku pun begitu keras. Aku bukan orang baik, aku hanya berusaha untuk menjadi baik. Maafkan aku atas sikapku selama ini. Aku salut padamu untuk penerimaan yang lapang atas kehadiranku dalam hidupmu. Aku yakin Allah punya rencana yang lebih baik. Wallahu A’lam.

-------------------------------------

Untuk kalian berdua, entah apa yang kalian pikirkan saat ini. Barangkali ketika kalian membacanya, rasa kesal kalian bertambah. Tapi kupikir aku harus membuat keputusan ini, karena kita semua harus bahagia. Aku pernah bilang: Suatu saat jika kita sudah lulus kuliah, kita bicarakan semua ini. Saat itu aku lapang menerima bahwa ada seorang kekasih dan aku bukan siapa-siapa. Aku hanya menikmati perjalanan. Dengan salah satunya pun aku bilang: biarkan kita menjadi diri kita sendiri, jangan dikekang, karena cinta itu membebaskan bukan mengikat. Tapi nampaknya sekarang berbeda, kita masing-masing terlalu egois dengan tendensi kita. Kondisi ini menyebabkan kita menjadi manusia yang lemah, tidak tegas, bahkan kita masing-masing menjadi pengecut yang tidak mampu mengakui kesalahan. Padahal sepertinya yang kita perlukan hanyalah kejujuran tentang kenyataan. Kemudian seharusnya kita sampaikan, karena diam tidak menyelesaikan masalah, yang ada hanyalah menumpuk kebencian. Sayangnya, kita tidak pernah jujur.

Untuk kalian berdua, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Demikian pun aku, maaf atas ketidakjujuranku dan keegoisanku. Aku pikir dengan bersaing mendapatkannya kembali, aku akan menjadi pemenang. Tapi itu salah, aku hanya akan menjadi pecundang yang tersenyum diatas rasa sakit orang lain. Aku memang salah, tapi bagiku kesalahan itulah sarana untuk belajar.

Inilah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan setelah kepercayaan itu mungkin makin memudar. Kalian bilang: Kalian tidak tahu harus percaya pada siapa. Aku sedih, karena aku ternyata begitu lemah dan untuk memupuk sebuah kepercayaan saja aku gagal. Membuat tulisan ini untuk kalian berdua, bagiku adalah jalan untuk tidak terus tenggelam dalam persoalan ini.

Saat menuliskan hal ini, bahkan saat kamu menyambangi tempat tinggalku, aku sudah tidak peduli apakah kamu, salah satu atau diantara kalian berdua benar-benar tulus datang karena rasa sayang. Tapi bolehkah aku ungkapkan kekecewaanku?
Kamu, sekuat perasaan dan logika setelah aku berpisah denganmu, aku yakinkan diriku bahwa suatu saat aku akan bertemu dengan laki-laki yang menghormatiku dan bisa menerimaku. Meskipun harus berusaha keras untuk tidak membandingkannya denganmu. Namun ketika kamu datang lagi, semua yang aku bangun seakan runtuh. Dan aku kecewa atas ketidaktegasanmu menghadapi semua ini. Apa kamu bangga dengan sikapmu? Merasa menyayangi dan disayangi, tapi secara tidak sadar kamu sedang menghancurkan perasaan? Tegaslah! Meski itu akan mencurahkan banyak air mata tapi yakin setelah itu rasa sakit bisa semakin cepat terobati.


Dan kamu, saudaraku perempuan, aku pun telah meyakinkan diriku, aku yakin bahwa kamu ternyata lebih membutuhkannya daripada aku. Aku tahu itu dari sikapmu (meskipun aku keras, aku masih perempuan). Aku telah sampaikan, silahkan kamu lakukan yang terbaik, cinta itu akan datang jika kita meraihnya tanpa obsesi. Tapi ketika kita mengejar cinta dengan pamrih untuk memenuhi obsesi, percayalah meskipun dekat, cinta itu akan lari. Setiap kali kita berkomunikasi seakan kau pun telah kuat untuk menerima semuanya. Tapi lagi-lagi, kenapa kau libatkan aku dalam perasaanmu? Tidak cukupkah waktu 3 bulan aku menghilang dan tidak mau membicarakannya? Aku kecewa, karena setiap kali aku meyakinkanmu bahwa hidup ini harus terus berjalan, dengan atau pun tanpanya, justru aku yang menjadi tersangka dan seolah-olah paling bersalah di mata kalian berdua.

Maafkan aku, aku tidak sedang melakukan pembenaran, aku hanya yakin bahwa masing-masing dari kita harus bahagia. Banyak hal yang yang harus dicapai, lalu kenapa masih membelitkan diri pada persoalan ini? Saat tulisan ini (mungkin) kalian baca, aku telah memutuskan untuk pergi dari kehidupan kalian. Aku tidak peduli apakah kalian sedang menjalin hubungan atau tidak, yang jelas aku ingin bahagia. Aku tidak mau terlibat. Mungkin ini egois, tapi bagiku jauh lebih baik daripada tidak bersikap. Jika sewaktu-waktu aku bertemu dengan kalian, aku adalah diriku, bukan bentukan atau pun tuntutan sikap dari kalian.

Kamu, aku berdoa untuk kebaikanmu, semoga impianmu untuk bisa mengabdikan diri bagi masyarakat bisa tercapai. Barangkali suatu saat kita bisa bekerkjasama untuk sesuatu yang lebih bermaslahat. Siapa sangka? Karena manusia hanya bisa berencana.
Dan kamu, aku pun berdoa semoga kebaikan-kebaikan selalu menyertaimu. Semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu impikan dan mandiri sesuai tujuanmu.

Kita harus sukses, harus bisa memberi manfaat bagi sesama maupun semesta. Aku memutuskan semua ini karena aku yakin Allah yang mempunyai rencana terbaik. Kita ikuti saja skenario sang Khalik agar kita bisa ikhlas. Setelah ini, aku fokus pada tujuan hidupku untuk mengabdi. Aku tahu, akan ada masa dimana aku tidak bisa menolak bahwa rencana Allah lah yang akan terwujud. Tapi ini adalah pilihan yang harus aku tentukan. Inilah perjalanan, dan aku tidak pernah menyesal dengan perjalanan. Aku menyesal karena selama ini kita terlalu picik dan munafik dengan apa yang kita pikirkan dan kita rasakan.

TERIMA KASIH DAN MAAF, aku yang akan mengalah dan pergi dari kehidupan kalian.
Kota Hujan, 12 November 2010
20:58

Senin, 03 Januari 2011

Thank You for Ever Hurting Me, I Learn a Lot

Dini hari 01.57 wib
2 januari 2010


“Jika kenyataan berjalan tidak sesuai dengan yang kita harapkan, maka belajarlah untuk tidak menyalahkan apapun dan siapapun.”

Sederet kalimat itu seperti menjadi salah satu pijakan langkah yang kutentukan. Gagal bukan berarti akhir, tapi tidak semerta-merta diartikan bahwa kegagalan adalah awal dari kesuksesan. Kita bisa belajar dari banyak hal, dari banyak sumber, dan setiap waktu. Termasuk belajar dari kegagalan, dari rasa sakit dan penderitaan, serta belajar bagaimana meraih kesuksesan ditengah-tengah rasa yang oleh kebanyakan orang diratapi.

“Thank you for ever hurting me, i learn a lot...”

Seorang sahabat mengupdate statusnya di facebook kurang lebih sembilan menit yang lalu. Terima kasih pernah menyakitiku, aku belajar banyak. Seketika saya tertarik untuk sedikit mengulasnya disela rasa jenuh mengerjakan studi pustaka untuk syarat penelitian di program studi yang saya ambil. Saya tidak tahu dari mana rasa sakit itu bersumber dan bagaimana prosesnya, yang jelas penggalan status itu membuat saya berpikir bahwa kehidupan itu tidak menjanjikan kepastian. Sesuatu yang kadang sudah dibangun dengan susah payah, penuh dengan perjuangan, dan mengorbankan banyak hal seketika bisa runtuh begitu saja. Itulah ketidakpastian. Kemudian kekecewaan muncul dan mendera perasaan, dunia seakan runtuh dan menimpa diri yang sedang ditimpa kesusahan. Heart break!

Menjadi bijak untuk menyikapi kondisi yang tidak pasti adalah sebuah pilihan, termasuk untuk menjadikan rasa sakit sebagai sebuah pelajaran berharga. Dengan sakit, berarti kita belajar untuk menghargai kebahagiaan, belajar untuk mensyukuri kenikmatan senang.

Thank you
Terima kasih, thank you, adalah sebuah ungkapan syukur yang seringkali menjadi hal sangat berharga. Ketika sakit mendera, ungkapan itu juga bisa ikut terkubur dan samar hingga tak diucapkan lagi. Padahal dengan mengucapkan terima kasih, kita bisa membuka satu pintu kelegaan untuk ikhlas menerima kondisi yang ada, baik yang sedang maupun yang telah terjadi.


For ever hurting me

Bagi saya ini adalah kata-kata yang sulit untuk diucapkan. Serupa serapah apabila tidak divokalkan dengan intonasi yang baik. Pada dasarnya yang menjadikan kita merasa bahagia, rindu, sakit, sedih, kecewa, atau perasaan lainnya adalah interaksi yang selama ini terbentuk dalam kehidupan. Melukai dan menyakiti seseorang juga kerap kali terjadi baik secara sengaja maupun tidak. Hanya saja, yang perlu diingat adalah setiap orang –sekuat apapun- pasti dia pernah sakit hati, pernah menyakiti dan merasa disakiti. Jadi, dunia tidak akan runtuh dia atas tubuh kita ketika rasa sakit itu menimpa. Manusia adalah ciptaan yang memiliki kekuatan untuk melawan keadaan.

Learn a lot
Andreas Harefa memberikan sebuah qoute yang bisa menginspirasi banyak orang, bahwa dewasa adalah growing up not growing older. Menjadi dewasa adalah sebuah ihwal yang juga merupakan pilihan. Untuk bisa belajar dari rasa sakit, belajar dari kegagalan, bersikap dan berpikir dewasa itu menjadi penting. Masalah memang perlu dihadapi sesuai porsinya, namun ketika kita bisa bersikap dan berpikir dewasa (growing up) maka permasalahan itu bisa dihadapi dengan adil. Menjadi dewasa adalah sebuah keniscayaan untuk belajar. Belajar lebih banyak untuk membuat manusia bisa memanusiakan dirinya sendiri. Sebab akal bercokol dalam diri manusia maka kita bisa menentukan cara untuk bersikap, menghadapi masalah dan rasa sakit sebagai sebuah pembelajaran.

Mari belajar untuk memetik hikmah dari setiap peristiwa. Tidak ada satu pun situasi yang tercipta tanpa solusi. Manusia adalah makhluk unggul, ketika kita bisa memanusiakan keunggulan kita maka semoga kita sedang belajar. Karena belajar adalah proses, hasil dari belajar adalah bonus.