Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Kamis, 27 Mei 2010

MEMORIA

MEMORIA

Masih lekat dipikiranku suatu waktu yang menjadi roda masa sekarang. Masa lalu, saat aku masih berada di gendonganmu, menangis, merengek minta susu. Kau tak lantas memarahiku tapi kau belai rambutku dan kau carikan susu. Pun masih tergambar jelas saat rumah itu masih tak berdinding, kau memelukku erat saat tidur karena aku takut. Kau bilang, setan itu hanya datang pada anak yang penakut. Katamu aku adalah anak gadismu yang pemberani, aku tak perlu takut ada ibu disisiku, memelukku.

“Ibu aku tidak bisa tidur” aku ingat kata-kata itu keluar dari mulutku tengah malam, saat kulihat wajahmu pulas. Kau langsung terbangun, kau pijat-pijat tanganku sambil bercerita tentang rasa banggamu memiliki anak gadis sepertiku. Padahal, kutahu siangmu begitu melelahkan. Kau adalah pahlawan yang sama sekali tak berpamrih.

Aku sadari sekarang, saat itu rambutku masih gimbal. Betapa susahnya kau merawatnya. Aku pun malu saat itu, mengapa rambutku gimbal. Tapi kau tak pernah malu, kau katakan “Ibu bahagia memiliki anak gadis yang cantik sepertimu”. Kau ikat rambutku agar aku tak merasa gerah. Dan lagi-lagi kau menguatkanku saat teman-teman mencemooh karena rambutku berbeda dengan mereka, kau bilang, “Tuhan menjadikanmu istimewa sehingga Dia menciptakanmu dengan berbeda”. Aku tak paham kata-katamu saat itu. Aku hanya tahu, tanganmu setia menggandengku pergi ke sekolah meski kau harus menunda sebentar waktu untuk menjemur pakaian atau bersih-bersih rumah. Aku selalu menjadi prioritasmu.

Semakin aku besar, rasanya bayang-bayang masa dimana kau senantiasa menuntunku semakin lekat. Banyak kenangan yang membuatku selalu terpacu untuk mencapai keberhasilan, adalah kenangan bersamamu ibu. Ibu, saat itu....

Kau selalu bangun lebih pagi sebelum kokok ayam terdengar. Menanak nasi, dan menyapu rumah kita yang dulu belum berjendela kaca. Kau biarkan aku yang berusia lima tahun tergolek di tempat tidur, meneruskan mimpi semalam. Hati-hati sekali jika kau bangun, kau tak ingin membuatku terjaga. Baru setelah azan subuh, kau bangunkan aku dan saat itu adalah pertama kali kau ajariku mengambil air wudlu. Kau membelikanku mukena kecil yang sampai saat ini masih ada, kau ajari dua rakaat subuh padaku. Tapi aku nakal ibu, aku ingin dapat pahala lebih saat itu dan aku pun menambah rakaat subuh menjadi tiga. Kau tak menyalahkanku, justru kau menjelaskan padaku dengan teduhmu.

Aku ingin doaku semakbul doamu, aku ingin menjadi ibu yang sepertimu. Sabar jika aku menangis, pengertian jika aku merengek, dan kau murka saat aku melakukan salah. Ibu, kau perempuan terhebat yang hadir dalam hidupku. Melebihi segala guru yang ada di dunia ini, kau sekolah pertamaku dan guru seumur hidupku.

Saat itu, pertama kali aku merasakan pusing naik angkutan umum. Barangkali pertama kali pula aku naik kendaraan bermotor. Aku lupa. Saat itu umurku empat. Kau menggendongku, mengenakan gaun warna biru. Kau mengajakku jalan-jalan karena aku merengek minta bertemu ayah yang sedang di perantauan. Kau tak menjanjikan bahwa kita akan menyusul ayah. Kau hanya bilang bahwa kita akan naik mobil seperti yang ayah lakukan. Aku melonjak senang. Tapi ibu, aku tak tahu ternyata naik mobil bisa membuat kepala sangat pusing dan perut menjadi mual. Aku tak tahan di dalam mobil, lima belas menit perjalanan aku mulai menangis. Dan kau mengusap kepalaku, berusaha mencari objek yang bisa membuatku tenang. Kau tunjukkan beberapa ekor sapi di sawah yang terlihat di sepanjang jalan.

”Naik mobil memang pusing, tapi kalau kamu naik sapi akan lama sekali sampai ke tujuan” katamu saat itu.

”Memang kita benar-benar menyusul ayah?” tanyaku polos setelah diam sambil melihat sapi-sapi itu.

”Kita sudah naik mobil seperti yang ayah lakukan, ayah akan bangga karena puterinya berani menaiki mesin yang membuatnya pusing dan mual.” Saat itu aku tak paham maksudmu, tapi aku sangat bahagia karena kau ternyata mengajakku membeli baju mungil berwarna merah yang bentuknya masih kuingat sampai sekarang.

Saat ayah pulang, kau dengan bangga menceritakan bahwa aku sudah sekolah. Aku masuk TK dan aku sudah bisa menyanyikan lagu ’Balonku’. Wajahmu berseri dan kau sangat cantik.

Ibu, satu kenangan ini membuatku selalu berusaha menjadi nomor satu. Aku ingat seusai magrib senja itu. Rumah kita belum ada listrik. Dan kau tak pernah kehabisan cerita untuk menemaniku yang masih terjaga. Aku nyaman berada di dekatmu. Senja itu, hanya dengan satu lampu templok, kau ambil jam dinding satu-satunya di rumah kita. Kau letakkan di atas meja dan kau dekatkan lampu templok itu untuk menyinarinya. Kau beranjak dari tempatku dan mengambil sesuatu. Ternyata kau membawakan aku sebuah buku tulis bergaris dan sebatang pensil. Aku takjub dengan dua benda itu. Artinya kau akan mengajariku menulis. Di sekolah aku sudah belajar membaca, tapi aku masih kaku untuk menulis.

Kau taruh buku dihadapanku, kau ajari aku memegang pensil kayu itu. Aku sangat bangga ketika memegang benda itu. Sungguh, itulah pertama kali aku tahu bahwa menulis itu sangat menyenangkan. Kau berusaha mengajari menulis dengan meniru angka-angka yang ada pada jam dinding di hadapanku. Kau bilang, ”Kamu akan menjadi seorang yang hebat nak, giatlah berlatih.” Aku semakin semangat dan belum juga mau tidur meski jarum pendek sudah di angka sembilan. Kau menuntun tanganku untuk sebisa mungkin menulis angka-angka itu. Ibu, aku baru tahu setelah aku kelas tiga SD, betapa besar jasamu. Saat itu aku ingat, ayah tak ada di rumah, dan aku harus mengembalikan raport ke sekolah hari itu. Raport harus ditandatangani orang tua. Aku panik ibu, mencarimu, mencari raportku pukul setengah tujuh pagi. Yang kutemui hanya hanya sarapan pagiku di meja. Kau tak ada ibu, aku marah dan menangis saat itu. Belum juga pukul tujuh kurang seperempat, kau muncul membawa buku bersampul merah, raport-ku. Kuperiksa ternyata sudah ditandatangani.

”Ibu dari mana?” tanyaku masih dengan isak tangis.
”Dari rumah sepupumu, minta tanda tangan” jelasmu.
”Kenapa minta padanya?” aku tak terima karena aku ingin tanda tangan orang tuaku yang ada di raport.
Ibu memelukku sambil tersenyum, ”Maafkan ibu nak, ibu tidak bisa menulis, karena ibu dulu tidak bisa sekolah sepertimu. Kau harus sekolah sekarang, supaya kau pandai menulis, membaca, dan berkarya” nasehatmu saat itu.

Sejak saat itu, kutahu perjuanganmu begitu keras untuk bisa mendidikku sampai sekarang, mengenyam bangku sekolah, mendapat ranking satu. Semuanya diawali dengan keiklasan seorang ibu sepertimu yang berusaha mengajari anaknya dengan meniru angka jam dinding supaya anaknya bisa menulis. Padahal ibu pun belum pernah menulis sebelumnya.

Ibu, aku sudah lancar menulis angka-angka itu sekarang. Aku sudah bisa membaca dengan lancar. Rasanya ingin kembali menikmati waktu, saat aku belum bisa apa-apa, menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana itu. Kau selalu mengajariku untuk teguh pada pendirian dan menjadi tegar dalam kondisi apa pun. Hingga saat ini. Kau tak pernah mengungkit jasamu, tak pernah meminta imbalan dari tindakanmu. Saat aku pulang, kau sedia menyiapkan sarapan pagi dan memasak untuk makan siang serta malam. Kau tak peduli dengan lelahmu kemarin sore dan pagi-pagi sekali kau sudah bangun untuk merebus air panas untuk mandiku. Ibu, jasamu tak terukur, jika ada setumpuk nominal di dunia ini pun tak pernah cukup untuk membayarnya. Ibu, jika anakmu kau anggap pintar, maka sesungguhnya kau jauh lebih cerdas dari anakmu ini. Jika kau doakan anakmu menjadi orang hebat, maka sesungguhnya kau jauh lebih hebat melahirkan anak-anakmu. Ibu....

*Ibu, aku tahu, kau pun tak bisa membaca tulisanku. Tapi, aku ingin meninggalkan jejak yang kupersembahkan untukmu.
Aku mencintaimu ibu........

Rabu, 19 Mei 2010

Baiknya, Kita Akhiri Saja

Aku ingin mengajakmu untuk sekedar menjamu suasana malam ini. Duduk tenang di alam bebas dan hanya beratapkan langit. Sekali ini saja ingin kunikmati bulan sabit itu bersamamu dan aku ingin menyampaikan kata maaf. Beberapa hari ini, aku bahagia dengan satu kepedihan. Ingin rasanya mengakhirkan segala yang perlu kuakhirkan. Ingin kuakhiri kebersamaan ini. Kebersamaan yang kurasa membuatku menjadi seperti robot tak bernyawa. Kau baik, hanya saja aku tak cukup bisa untuk menerima kebaikanmu. Satu hal yang kusadari saat ini, ternyata memeluk orang yang benar-benar kita sayangi akan berbeda dengan memeluk orang yang semata kita sayangi. Dan saat memelukmu, aku hanya merasa menipu diri sendiri.

Aku cukup bangga bisa mengenal sosokmu yang nyata-nyata sempat hanya sebatas sahabat fana. Aku pun beruntung bisa sekedar mencuri hati dan perhatianmu beberapa waktu ini. Namun sayangnya, aku tak pernah benar-benar merasa yakin meski hanya sekedar cukup untuk belajar mencintaimu. Meski malam ini aku tak bisa menikamati bulan sabit bersamamu, izinkanlah aku tetap berucap maaf, karena aku perlu untuk mengakhiri kebersamaan kita.

Minggu, 16 Mei 2010

16 Mei 2010

Logo icon messenger yahoo miliknya terpampang jelas di depan mataku yang sedari sore di depan komputer. Dia sedang online sekarang, dari tadi sejak aku aktifkan akunku. Ingin kusapa, tapi urung niatku. Dia sedang tidak ingin membalas apa-apa, dia diam. Lagi-lagi aku ingin dia lah orang pertama yang kuberitahu akan segala pencapaianku. Dia pernah berjanji, dia yang pertama akan mengucapkan selamat padaku. Dan aku masih menyimpan selembar janjinya itu di bawah bantal mimpiku.

‘aku kangen’ pesanku tempo hari
‘aku juga kangen’ balasnya, tanpa kalimat selanjutnya. Dan esok harinya aku begitu bersemangat menjalani hari.

‘aku menang’
---------------
Tak ada balasan.

‘kemana saja hari ini?’
--------------------------
Tak ada balasan.

--------------------------
--------------------------
--------------------------
Hingga hanya bisa kupandangi layar kosong itu. Tak kudapati kemesraanmu beberapa hari ini.

Jumat, 07 Mei 2010

YA SUDAHLAH (Bondan ft Fade to Black)

B:
Ketika mimpimu yang begitu indah,
tak pernah terwujud..ya sudahlah
Saat kau berlari mengejar anganmu,
dan tak pernah sampai..ya sudahlah (hhmm)

*reff:
Apapun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih..coz everything’s gonna be OKAY

Santoz:
yo..Satu dari sekian kemungkinan
kau jatuh tanpa ada harapan
saat itu raga kupersembahkan
bersama jiwa, cita,cinta dan harapan

Lezz:
Kita sambung satu persatu sebab akibat
tapi tenanglah mata hati kita kan lihat
menuntun ke arah mata angin bahagia
kau dan aku tahu,jalan selalu ada

titz:
juga ku tahu lagi problema kan terus menerjang
bagai deras ombak yang menabrak karang
namun ku tahu..ku tahu kau mampu tuk tetap tenang
hadapi ini bersamaku hingga ajal datang

B:
Saat kau berharap keramahan cinta,
tak pernah kau dapat..ya sudahlah
yeeah..dengar ku bernyanyi..lalalalalala
heyyeye yaya dedudedadedudedudidam..semua ini belum berahir

back to *reff

F2B:
satukan langkah..langkah yang beriring!
genggam hati, rangkul emosi!

B:
Genggamlah hatiku, satukan langkah kita

F2B:
Sama rasa, tanpa pamrih
ini cinta..across da sea

B:
peluklah diriku..terbanglah bersamaku, melayang jauh.. (come fly with me, baby)

F2B:
Ini aku dari ujung rambut menyusur jemari
sosok ini yang menerima kelemahan hati
yea..aku cinta kau..(ini cinta kita)
cukup satu waktu yes.(untuk satu cinta)

satu cinta ini akan tuntun jalanku
rapatkan jiwamu yo tenang disisiku
rebahkan rasamu..untuk yang ditunggu
Bahagia..Hingga ujung waktu.

back to *reff 2x

The Spectrum of Feeling PART VI

Sudah cukup lama aku tak bersua dengan Maharani. Sepuluh jari tanganku tak cukup untuk menghitung cacahnya, kecuali dengan pengulangan. Kutahu dia baik-baik saja, jauh lebih baik dari semenjak perpisahan itu. Hingga hari ini barangkali, aku pun tak tahu kabar Maharani yang sebenarnya. Dia cukup kuat untuk menahan tangis, cukup tangguh untuk meredam amarah, tapi kukira, selalu saja dia tak cukup yakin untuk benar-benar meninggalkanku. Aku rasa dia banyak mengeluh akhir-akhir ini, sejak aku menghubunginya kembali, untuk sesaat memberitahunya bahwa aku telah berdua. Kukira dia akan bahagia dengan warta yang sungguh tak dinyana. Dan aku yakin dia bahagia. Sayangnya, aku salah.

“Baru kau beritahu sekarang?” katanya di ujung telpon. Sebab teknologi, jarak menjadi semakin dekat meski ada sekat. Ah, aku jadi teringat, dulu masih pakai surat.

“Bukan maksudku....” aku tak berani melanjutkan, rasa bersalahku membuncah. Biasanya selalu kukabari dia, apa pun kondisiku.

“Sudahlah, nikmati saja perjalananmu, aku kecewa!” kata-katanya getir dan membuatku tak bisa tidur semalaman.

Adakah yang salah jika aku berusaha melabuhkan hati kepada selain Maharani? Kutahu jejak bisu kami tak mungkin bisa untuk diketahui banyak orang. Kami diam, tak perlu ada banyak komentar dari apa yang pernah kami jalani.

Sebenarnya, bukan bagaimana jalan ceritanya, tapi semua itu tentang kebersamaan kita. [Maharani]

Percayakah jika laki-laki itu pembohong dan perempuan mudah menangis? Aku salah satu yang sedikit percaya akan hal itu. Laki-laki tidak selamanya akan berbohong, tapi di suatu waktu dia akan mencari cara aman untuk kenyamanannya. Perempuan pun sebenarnya demikian, tapi kadang lelaki yang selalu disalahkan. Perempuan mudah menangis sepertinya, tapi Maharani sangat pandai menyembunyikan air matanya di hadapanku.

Cinta itu bukan bagaimana kita mencapai, tapi seperti apa kita menjaga. [Maharani]

Katanya, dia sangat mencintaiku, tapi entah mengapa aku menjadi ragu saat dia tak mau mendengar perkataanku. Mengajaknya menjadi seperti apa yang aku inginkan. Maharani sepertinya tak pernah menolak dengan peraturanku, dia patuh, kusangka begitu.

Biarkanlah orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri. Pelangi akan indah jika berwarna, begitu pun kasih akan bermakna jika berbeda. [Maharani]

****
“Jalani saja” ucapku setelah tiga hari dia meminta jeda. Bagaimana pun aku selalu mencintainya, menginginkannya, ingin memilikinya. Maharani memakiku dan berontak saat kukatakan hal itu, yang dia inginkan adalah satu jawaban “ya” atau “tidak”. Dia melepas dengan paksa genggaman tanganku yang sebenarnya menandakan bahwa aku masih ingin bersamanya. Tapi menurutnya apalah arti kebersamaan jika sebenarnya aku telah belajar membagi hati. Ah, Maharani, kadang dia manis, tapi sungguh sialan jika telah membuatku telak. Aku tak bisa berkata-kata lagi bahkan untuk sedikit saja menjelaskan. Dia selalu saja keras kepala, tak mau kalah. Dia bilang aku pengecut, padahal aku tak tahu apa itu keberanian. Aku hanya tidak ingin menyakiti dan mengecewakan salah satu hati.

Kuumbar janji yang kukira bisa kuwujudkan untuk Maharani. Aku katakan bahwa aku akan melakukan apa saja, asal aku bisa, dan itu bisa membuat dia bahagia. I promise to do anything for you, because i believe that there is something left between me and you. Sayangnya, dia memintaku untuk hanya memilihnya saja, dan mengucapkan selamat tinggal pada perempuanku yang satunya. Aku rasa aku tak bisa. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah berdamai dengan waktu, biarkan semua mengalir. Aku pun tidak pernah tahu –hingga saat ini- siapa yang akan menjadi pendampingku. Perempuan memang kadang berlebihan untuk minta dimengerti.

“Nikmati saja perjalananmu. Aku cukup bahagia jika tahu kau bahagia” sampai akhirnya aku ingin menampar diriku sendiri saat mendengar dia berkata seperti itu.

“Maksud kamu?” tanyaku pada Maharani.

“Sekuat apa pun kau menahanku untuk bertahan dan kuat menjalani semua ini dengan hanya separuh hatimu, kau takkan pernah berhasil.” Katanya dingin. Sedingin tatapannya saat itu.

“Untuk apa kau menemuiku jika hanya berucap seperti itu? Kau sia-siakan tenagamu” balasku.

“Kau salah, aku menemuimu karena aku tak mau tenagaku sia-sia, hanya untuk menangisimu. Aku ingin bebas dari perasaan yang sesungguhnya mematikan rasionalitasku ini. Kau nikmatilah perjalananmu dengan perempuanmu itu.”

“Bisakah sedikit saja aku memberi penjelasan padamu Maharani?” mungkin aku cukup mengiba.

“Tak ada yang perlu kau jelaskan, semua sudah sangat jelas.”

“Maharani! Kau selalu keras kepala.” Kataku sekeras maknanya.

“Terima kasih dan maaf, Rey, selamat tinggal.” Maharani berlalu tanpa menoleh lagi ke belakang. Hanya saja kata-kata terakhir yang diucapkannya tak mau hengkang dari otakku, TERIMA KASIH DAN MAAF.

TO BE CONTINUED...
-Turasih-