Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Selasa, 15 September 2009

NADAMU... UNTUK LELAHKU

Aku mendengar suaramu dalam gelombang tak terlihat, malam ini, baru saja. Saat bulan penuh. Kemudian kau mengangkat kelelahanku dengan nadamu yang mendamaikan. Aku begitu merindukanmu, sejak empat tahun yang lalu. Sejak di samping kananmu ada seorang yang kau sematkan cincin di jari manisnya. Sejak kau tersenyum padaku dalam bahagiamu bersamanya. Aku hanya tersenyum getir melihatmu. Meneteskan air mata dalam pahit kehilangan jejakmu. Kau yang memarahiku saat aku mencoba untuk melangkah bersama sahabatmu. Kau yang menegurku tiap kali aku melewati bayanganmu. Di tahun pertama.

Aku menulis namamu. Aku tahu nilai ulangan sejarahmu. Aku mendeskripsikan ketololanmu. Aku dan segala sesuatu tentangmu. Hari ulang tahunmu, sebentar lagi.... tak pernah kulupa satu tanggal yang pernah membuatku terjatuh karena tak bisa ucapkan semoga panjang umur atasmu. Kau istimewa dengan caramu. Aku masih ingat lagu yang kau nyanyikan:
Denting piano kala jemari menari
Nada merambat pelan, di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan
Bersama sebuah bayangan yang pernah terlupakan

Hati kecil berbisik, untuk kembali padanya
Seribu kata menggoda, seribu sesal didepan mata

Seperti menjelma
Waktu aku tertawa, kala memberimu dosa

Oh maafkanlah, oh maafkanlah

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti*


Senyummu memang terus mengikuti, selama ratusan hari kebersamaan kita. Tapi kau tak pernah mengkhianati persahabatan kita. Sampai malam ini, ketika aku mulai lelah mencari tahu kabarmu. Kau hadir, dan mengangkat lelahku. Entah, kenapa aku begitu bahagia? Ini saat pertamaku benar-benar lega setelah kepingan memori puluhan hari silam menelanku dalam lubang hitam ketidakpastian.

Kau masih mengingatku? Dulu, kau selalu memainkan jari-jari tanganmu untuk menghiburku di dalam kelas. Pulangnya, kau pun membukakan pintu supaya aku keluar lebih dulu. Tapi kau curang, kau tak pernah mau piket. Selalu saja aku menggantikan tugasmu. Tapi, kau menumbuhkan semangatku untuk terus berusaha. Kau membuatku bisa menyelesaikan cerpenku selama dua jam. Dan tadi, kau masih mengingatku.

Kau masih menyusun rapi puzzle kebersamaan kita dulu. Aku ingat, saat kau menghadapkan wajah kekasihmu padaku. Kau pegang tangannya, dan kau memintaku untuk menuntaskan gelisahnya. Aku hanya sanggup mengangguk dalam dorongan yang tak tentu. Antara dirimu dan ketidakmungkinan. Sampai saat kita berpisah setelah tahun ketiga, aku tahu kau dikhianatinya. Hingga aku tak ingin tahu lagi apa-apa tentangmu.

Tapi kau kembalikan memori masa-masa putih. Ketika kepolosan menjadi lagu-lagu kita. Ketika seulas senyum begitu bermakna. Kau, masihkah bersama bola basketmu? Yang memantul seirama dengan detak harapanku dulu? Masih adakah rompi merah marunmu yang biasa kau kenakan saat musim hujan? Sudah berapa trik jari tangan yang kau kuasai sekarang? Kau masih suka Iwan Fals? Sepatumu? Dan satu lagi, apa sekarang kau sudah mau difoto bukan untuk ijazahmu?

Nadamu, mengangkat lelahku malam ini....
*Lirik lagu Yang Terlupakan Iwan Fals

HATI-HATI DENGAN TELINGA

Aku merasa seperti berputar-putar di sebuah labirin tua, sempit. Tak berbatas perdu atau semak yang cukup longgar, tapi aku terhimpit rumpun bambu liar yang membentuk alur buntu. Tak tahu ke mana harus kujejak. Semua buntu. Di saat seperti ini kupikir semua indraku tak berfungsi dengan baik. Tak cukup gaung jika aku berteriak, tak kan ada yang mendengarku. Kakiku pun sudah terlalu lemas untuk kuseret, pasrah. Jika memang Tuhan berkehendak helaan terakhir napasku adalah di tempat terkutuk ini, maka semoga esok hari ada yang menemukanku dan menguburku dengan layak. Pandangan ini sudah semakin kabur, tak ada cahaya, tak ada harapan meski hanya melihat bayangan tubuhku sendiri.

Tubuh ini tergoncang hebat ketika secercah cahaya menusuk retina mata. Ternyata labirin itu hanya mimpi. Tapi mengapa labirin? Mengapa buntu? Mengapa bambu liar? Berbagai tanda tanya agung membentuk stempel di otakku.

Kemesraan ini....
Janganlah cepat berlalu,
Hatiku damai,
Jiwaku tentram di sisimu*

Kini bukan lagi rasa sadarku yang berada di daerah ambang, tapi telingaku mendengar gumam lagu bertajuk kemesraan yang sempat kau dendangkan untukku. Aku baru saja tersadar dari mimpi tapi sepertinya harus kembali tersungkur ke lama bawah sadar itu lagi.

Jumat, 04 September 2009

HIJAU DAN PUTIH

‘Aku mau hijau’ kataku.
‘Putih saja’ katamu.
‘Hijau’
‘Putih’
‘Hijau’
‘Putih’

Jangan katakan bahwa itu hanya perkara selera yang remeh temeh. Hijau. Putih. Bukan hal aku miopi atau hipermetropi, apalagi kotok ayam. Itu adalah persoalan hidup dan mati. Hijau. Putih. Adalah persoalan hidup dan mati, bagi persepsiku. Kau bilang... aku mengubur otakku dengan pikiranku. Barangkali saat kau mengatakannya, kau tak terbersit apa-apa. Tapi terlintas dalam bayangku. Kuburan itu, kematian itu. Mungkin lebih menyenangkan.

Aku mau hijau. Kau lantangkan putih saja. Apa kau pikir putih itu suci? simbol dari dinding ketidakterjamahan? Apa yang bisa kau kuatkan tentang putih. Apa akan kau sebutkan bahwa gigiku putih, mataku putih, tulangku putih, rambutku akan memutih. Kau punya banyak alasan putih, Sayang. Tapi aku tak menerimanya. Aku tak suka putihmu. Putihku kematian. Putihku kafan, Sayang. Semakin kau menunjukkanku pada putih berarti kau menginginkanku dekat pada mati. Kau mau aku mati, Sayang?

Hijau, sayang. Hijau saja. Hijau itu hidup. Kehidupan. Aku takkan disebut sendiri. Daun-daun hijau. Takkan disebut gigiku, tulangku, atau ubanku. Kodok hijau, ulat hijau, ular hijau, ribuan fitoplankton hijau. Sayang, banyak yang hijau. Bahkan tai manusia juga juga terkadang hijau. Bukankah tai adalah bukti kehidupan lewat berlangsungnya metabolisme? Apa artinya putih? Gigi, tulang, uban, mata... akan tetap putih meski pun mati kecuali jika belatung telah menggerogoti.

Sayang, aku mau hijau saja. Aku belum mau putih.

UNTUK LUNA

Aku persembahkan untuk seorang Luna (yang belum sempat aku berkenalan denganmu)

Aku tahu dirimu dari note seorang kawan. Dia bilang, kau cantik dengan cardigan putihmu. Hemm, barangkali warna putih memang sering membuat kesan cantik dan bersih. Meki warna putih itu sendiri terkadang membawa pikiranku pada kematian. Kafan.
Luna, adakah yang lebih membahagiakanmu selain kehidupan? Kubayangkan kau adalah seorang gadis yang manis dengan sifat patuh. Kau putih, Luna. Putih dalam dinding kesucian yang melindungimu dari jamahan. Kau tak liar Luna, meski aku belum sempat untuk berkenalan denganmu secara langsung. Kawanku mengagumimu meski dia membenci kekasihmu. Bukankah kau seorang wanita yang lembut Luna? Kau tak suka dengan kebencian bukan? Kutahu kau benci pada kebencian itu sendiri dan kau menentang permusuhan. Lalu apakah kau tahu bahwa kawanku membenci kekasihmu?
Maafkan aku Luna, telah ikut campur terlalu dalam sebelum aku sempat berkenalan denganmu. Bahkan sebelum aku tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Aku tahu, kau perempuan. Kau punya sisi yang tak dimiliki laki-laki. Kepekaan. Maukah kau peka sedikit pada kekasihmu? Adakah yang dia sembunyikan darimu, tentang kawanku. Ah, sesungguhnya aku mencintai kalian semua. Mencintaimu, kekasihmu, dan kawanku. Bisakah kau membantuku mengobati luka hati kawanku? Terima kasih Luna.