Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Kamis, 09 Juli 2009

SAHABAT KECIL

Denting jam di atas kepala membuatku terpasung waktu. Kuamati putarannya, selalu ke kanan. Apakah ada suatu masa di mana jam akan bergerak dengan sendirinya ke arah kiri? Adakah yang pernah berpikir mengapa jarum jam itu selalu bergerak meneruskan tugasnya? Barangkali itu adalah sebuah media belajar bagi manusia yang memang seharusnya terus berusaha untuk hari depannya. Meski manusia juga tak pernah tahu kapan saatnya jarum jam itu tak bergerak lagi, sekedar baginya atau bagi semesta.

Sekarang aku, manusia yang masih berusaha mencari jawab atas persoalan kebebasan, juga tak mengerti kenapa sampai saat ini jam itu masih terus berdetik. Kapankah kebosanannya itu datang dipengaruhi gravitasi yang tidak seimbang dan meledakkan kapasitas dunia? Aku bersyukur pada Tuhan masih bisa menghirup oksigenNya, aku bersyukur karena Dia masih menggerakkan waktu. Sampai akhirnya aku bisa bertemu denganmu saat itu. Tapi sekarang, lama sekali aku tak bersua dengan dirimu. Kau sangat sibuk tampaknya sahabatku, sahabat kecilku yang dahulu senantiasa menemaniku meniti pematang sawah. Dulu kita bersama-sama menyeberangi sungai agar bisa sampai ke ladang. Sahabatku, aku ingat waktu kau membantuku mencari tali pisang untuk tumpuan kakiku memanjat pohon Pepaya. Beberapa kali aku mencoba memanjatnya, sukar. Tapi kau menyemangatiku, katamu, yang bisa memanjat pohon bukan hanya laki-laki, perempuan juga bisa. Ha ha ha, akhirnya aku sampai di pucuknya. Aku berteriak lepas dan kau tertawa bebas.

Sahabat kecilku, apa kau masih mengingatku? Apa kau simpan baik kenangan kita yang kadang cair kadang beku? Ternyata sudah hampir separuh hidup aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Aku rindu bercerita sambil mengepang rambut keriting gantungmu. Barangkali kita terpisah jarak, aku tak tahu. Apa mungkin kau malah berada satu kota denganku? Andai kutahu nomor hapemu, ingin aku mengontakmu. Akan kutanyakan padamu, sudah berapa kali kau jatuh cinta sejak 8 tahun yang lalu?

Kau lucu waktu itu. Berlembar-lembar surat kau tulis dengan tangan kidalmu. Kadang kau kutip kata-kata Patkai, “Cinta, deritanya tiada akhir.” Tahu apa kita tentang cinta waktu masih ingusan dulu. Kau ada-ada saja. Suratmu itu tak pernah sampai pada pangeran pujaanmu. Pasti tertunda padaku, karena aku terlalu banyak mengkritik isinya. Kau jadi malu, maafkan aku sahabatku. Sungguh, aku tak tahu sejauh mana perasaanmu waktu itu. Yang aku tahu, saat itu kita masih terlalu kecil untuk jatuh cinta.

Sahabatku, kau acapkali menangis di pelukku. Kau katakan pangeranmu itu tak mengerti perasaanmu. Kau bilang dia tega. Tapi aku tak tahu bagaimana menenangkanmu. Aku terlalu keras untuk menasehatimu, aku tak punya kata-kata bijak tentang laki-laki. Hingga saat ini. Yang aku tahu laki-laki adalah sainganku. Maafkan aku. Tapi aku ingin kau tetap menjadi dirimu yang ceria. Dengan sungging miji timun geligimu dan lesung pipitmu. Kau ingat? Aku hanya bisa menggandengmu ke tegalan untuk menikmati semilir angin yang barangkali bisa menyejukkan hatimu. Meski sungguh, aku merasa biadab karena merutukimu dalam hati. Kupikir kau sangat melankolis, bagaimana pangeranmu itu bisa tahu perasaanmu jika suratmu saja tak pernah sampai padanya. Jangan salahkan dia, tapi salahkan hati laki-laki yang tak peka.

Berapa kali kau mengadukan hal yang sama bahwa pangeranmu itu tak pernah mengerti perasaanmu. Aku sebal pada sikapmu. Kalau kau suka katakan saja. Katakan, toh saat itu kuyakin cintamu itu bualan. Aku tak menghinamu, tapi untuk umuran anak kecil seperti kita saat itu tak ada istilah cinta. Tak ada sebutan cinta monyet. Kenapa cinta harus monyet? Bukan Gajah yang besar, bukan Jerapah yang tinggi, bukan pula Angora yang manis. Tak pernah pula kutemui orang bilang cinta itu Macan, Singa, atau Buaya. Kenapa harus monyet? Barangkali The Origin Of Species karangan Darwin terinternalisasi dalam diri manusia melebihi The Evolution Deceit-nya Harun Yahya. Bahkan anak-anak seperti kita yang waktu itu belum tahu sama sekali mengenai dua orang itu. Yang kita tahu manusia itu dari monyet.

Sampai usia kita memasuki sebelas, kita berpisah. Kau memilih pesanteren sebagai rumah singgah galian ilmu. Aku tetap di tempat yang sama. Menikmati jamuan hidup di desa tempat kita biasa bercanda atau pun bersengketa. Sejak kita berpisah, aku hanya sekali mengetahui kabarmu, kau bilang bahwa kau menikmati kehidupanmu di pesanteren. Aku iri padamu saat itu, kau banyak belajar Qur’an Hadist, kau pasti belajar Nahwu Saraf. Kau juga telah hapal mahfudot yang barangkali tak terhitung. Dan kau pasti terlihat anggun dengan gaun hijabmu.

Aku masih tetap seperti saat kita bersama. Hobiku tak lain adalah memanjat pohon, meributi ayahku mengurus Kambing, aku masih malas mencuci piring (salah satu pekerjaan perempuan adalah mencuci). Saat kutahu kabarmu itu, aku ingin berubah menjadi sedikit lebih lembut, tapi aku urung melaksanakannya karena kutahu saat itu perasaanmu masih sama untuk pangeranmu yang saat itu entah dimana. Aku tak mau jadi lembut. Aku takut hal itu bisa membuatku bergantung pada perasaan. Bagiku, hidup ini butuh logika dan rasionalitas. Aku adalah aku, kamu adalah kamu, dan kita berbeda.

Sekarang, aku berharap kau ada di kotaku. Kota persinggahanku. Aku tak memilih menjadi lembut, tapi aku menirumu memilih tempat singgah ilmuku. Sekarang mungkin kau akan heran melihatku. Aku tak semakin gemuk seperti khayalanmu dulu. Aku tetap ceking kurus, berkaca mata, pelit senyum, galak, dan mungkin aku butuh petuah bijakmu. Aku masih memusuhi laki-laki. Kau mungkin tahu kenapa aku memusuhi makhluk yang katanya kita tercipta dari rusuk kirinya. Sejak kecil, aku tak mau kalah dengan mereka. Karena ayahku ingin aku menjadi seperti laki-laki. Jalanku harus cepat, makanku harus cepat, aku harus bisa memegang candung . Aku harus tahan untuk tidak menangis.

Sahabatku, aku masih seperti aku. Kuyakin kamu masih juga sama seperti kamu. Tapi aku tak lagi mempersoalkan rasamu untuk pangeranmu, karena aku tahu pada dasarnya wanita itu setia, meski kadang kesetiaan itu perlu dipertanyakan. Aku tak suka kesetiaanmu itu, karena setiamu itu kau dikhianati. Pangeranmu sering menyandarkan keluhnya padaku. Dia tahu perasaanmu sekarang. Tapi dia tak peduli. Pangeranmu itu punya satu permaisuri dan dua selir yang selalu dia sambangi. Kuberdoa semoga kau tak lagi pertahankan kesetiaanmu itu. Laki-laki itu hanya halusinasi masa lalumu. Jika sekarang kau ingin mencari pangeran, carilah yang mencintaimu dan menjagamu. Karena jika tidak kau hanya akan jadi budaknya. Aku tak menggugat laki-laki, tapi jika ada yang merasa tergugat, mungkin apa yang kukatakan adalah fakta. Atau mungkin baginya aku sedang membual, tertawakan saja aku. Tak peduli.

Aku rindu masa bersamamu. Jejak langkah kita telah tergilas air hujan ratusan ribu detik yang silam, tapi aku masih mengingatnya, kulipat rapi dalam memoriku. Aku ingin bercerita padamu bahwa terkadang sifat lembut perempuan terkadang menjebaknya sendiri. Atau itu kebodohan perempuan di mata laki-laki?

GONG

Saatnya tiba

GONG

Menggema

Lega

Ceria

Sabtu, 04 Juli 2009

Bulan Tak Lagi Sabit

Bulan sudah separuh, tak sabit lagi. Sepekan sudah aku habiskan waktu bersamamu dalam sebuah perjalanan yang kuharapkan tak kunjung habis. Aku bebas memandangmu untuk beberapa saat. Ingin sekali ku menyapamu saat itu. Tapi kau terlalu menghemat suaramu. Kau tak rela kebahagiaanku sempurna karena kudengar nadamu. Malam ini, aku mendongak ke atas langit, bulan separuh itu. Seandainya bisa akan kujadikan separuh saja agar kautetap di sisiku. Esok tak usah ada, pikirku. Aku tak mengerti akan esok hari. Hari ini saja, biarkan malam tetap teduh dalam temaram bulan separuh. Bersamamu.

Kau tak mau berhenti. Kaki ini keram ditusuk dingin malam dan pecah tersengat aspal siang. Aku mengejarmu ribuan mil dalam ukuranku. Aku berteriak memanggil namamu yang semakin membuat tubuhku menggigil dan gemetar. Ah kau, kau tak hanya sekedar menghemat suaramu, tapi kau juga menutup telingamu. Entah dengan dalih apa kau lakukan semua ini. Aku tak mengerti kenapa kau selalu berusaha ciptakan pagi saat aku sedang nyenyak di malam hari. Aku memanggilmu, bisikkan namamu dalam ngilu yang coba kutahan.

Sekali kau berbalik menatapku. Kau tersenyum, kau melengkah membelakangi jalanmu menuju ke arahku. Tampaknya kau begitu lelah, matamu kecil. Kau tak tega melihatmu. Kau jatuh tersungkur. Aku melihat semuanya. Kau jatuh. Kuulurkan tanganku meski lengannya tak jauh lebih besar dan kekar darimu. Kau menampiknya. Kau katakana aku berbohong pada waktu. Pun pada setiap zat yang mengertiku. Katamu, kau takkan bisa memapahmu. Aku tak bisa mengobati luka-lukamu. Lunglai aku.

Apa yang ada di otakmu aku tak pernah tahu pasti. Apalagi hatimu. Tapi bukankah laku kadang mewakili? Kau biarkan aku menangis melihatmu kesakitan dengan luka saat kau terjatuh tadi. Kau menolak uluran tanganku dan kau biarkanku terpuruk rasa tak terdefinisi melihat tetesan darahmu. Apalagi saat kau biarkan orang lain memapahmu dan mengobatimu dengan tangannya. Kau biarkan jari-jarinya menjamah lukamu. Saat kubuka pintu kamar rawatmu, kau meneriakiku. Itulah pertama kali kudengar suaramu semenjak bulan masih sabit. Kau bangkit dari tempat tidurmu. Masih dengan tetes darah di lukamu, kau tampari aku, kau jambak rambutku, kau terus memukulku. Kau kesetanan.

Aku tersudut di salah satu pojok kamar rawatmu. Kau tertawa melengking seperti serigala yang sebentar lagi menikam mangsanya. Kau tertawa, tertawa, tertawa. Aku masih tersudut dengan sakit dan ngilu yang sebenarnya tak tertahankan. Aku tak akan membalasmu, kuku jariku tak cukup kuat untuk mencakar mukamu. Kau mendekat padaku, aku diam. Badanku gemetar hebat dengan keringat dingin yang tak kunjung surut. Kau lebih dekat sekarang. Napasmu iblis. Sial, aku tak bisa apa-apa sekarang. Tulangku terasa patah setelah kau menikamku tadi. Otakku hanya menyuruhku diam, memejamkan mata. Bunyi napasmu telah sampai di telingaku, kau terlalu dekat padaku. Ini adalah hari terburuk semenjak bulan masih sabit itu. Malam ini, di bawah temaram bulan separuh, kau tak terlihat sebagai kawan perjalananku lagi.

Tapi kupercaya atasmu. Kau punya sisi yang sebenarnya sungguh bijak. Kau baik. Tapi kau tak pernah menyadarinya. Jika memanga anggapanku tak benar, maka aku berharap semoga aku menjadi bagian dari kebaikanmu. Wahai teman seperjalananku sejak bulan masih sabit. Aku menhan napas sejenak saat kau sangat dekat denganku. Kuberanikan membuka kelopak mataku yang bolanya sama warna sepertimu. Saat kubuka, kau tersenyum padaku, itu pun adalah senyum pertamamu yang pernah kulihat. Sekejap, kau buat pandanganku menjadi kabur, kau lamat-lamat hilang. Entah sekarang yang kurasakan adalah sakit atau kebahagiaan. Darah itu mengucur deras memerahi lantai kamar rawatmu yang putih. Aku sekarat, kau menusukku dengan belati yang kau sembunyikan di balik piyama. Aku akan mati. Dan aku mati di tanganmu, di tangan zat yang selama ini terus kukejar. Aku mati, kau bunuh rasa sadarku.

SEPOTONG KISAH DALAM PERJALANAN

Suatu kali ada seorang wanita yang merasa dalam kurungan sunyi. Terjebak karena asa yang berlebih untuk bisa memiliki. Baginya, pria itu adalah semilir angin baginya saat sengat terik matahari membuatnya gerah. Baginya dia adalah biru laut yang menyejukkan mata dan hijau hujan yang melapangkan dada. Masih terbayang jelas dalam benak wanita itu bagaimana mereka berdua pernah bisa saling memandang dan memahami. Pernah juga dia merasa bahwa sebenarnya mereka saling membutuhkan. Menyebut namanya bukanlah sekedar guamma atau suara tak bermakna. Untuknya, ada rasa yang menyengat bergetar di sarafnya saat nama itu disebut.

Sampai sekarang wanita itu masih mengharap kan tibanya suatu masa dimana ia bisa menggandeng tangan atau sejenak memeluknya. Wanita itu memejamkan mata dan terhempas pada kenangan lalu saat dia damai menyandar pada pundak pria itu. Air matanya kini meleleh sedikit, hanya satu titik. Kemudian terus meleleh , mengalir sungai kehilangan. Entah dimana pujaannya itu Semarang.

"Tuhan, izinkan aku melihatnya" ucap wanita itu.

Semarang wanita itu sedang bersiap-siap untuk menjemput harap akan esok yang lebih pasti meski tanpa dia, pria itu. Pujaan hatinya. Meski sulit dan berat, tetap dia persiapkan dengan rapi penampilan optimis dan wajah semangat. Dia kenakan pakaian percata dirinya, dia sematkan pin kepastiannya. Lalu, dicarinya tas yang cukup untuk membawa semua kenangannya. Meski berat, Namur dia tak mau meninggalkan dengan sia-sia kenangannya bersama pria itu meski segores pena. Semarang dia sudah Sian. Tinggal dipakainya sepatu keyakinan utnuk melangkah. Sepatu itu dia temukan di sudut ruangan yang selama ini jarana dia rambah. Logikanya.

"Aku tak boleh murung!" katanya. Kemudian dia sapukan bedak keceriaan di wajahnya.

"Aku Siap!"

Wanita itu akan segera pergi membawa kenangannya. Dia akan melanjutkan perjalanan yang memang harus di tempuhnya. Meski sebenarnya dia masih ingin melihat pujaan hatinya, pria itu . Setidaknya sebelum dia benar-benar pergi dan sampai di tujuannya.

"Tuhan, izinkan aku untuk melihatnya sebelum aku benar-benar pergi membawa semua ini" doanya.

Langkah kakinya masih nampak ragu untuk menaiki mobil menuju Terminal keikhlasan. Tapi tetap dia paksakan. Wanita itu merasa yakin meski dengan perih. Ya, dia Semarang telah dudukdi mobil itu, siap untuk segera pergi.

Setengah perjalanan dia lalui.

Sebelum sampai ke Terminal ikhlasnya, dia kembali berdoa….

"Tuhan, izinkan aku untuk melihatnya sebelum aku benar-benar pergi membawa semua ini."

Dia tak kuasa untuk berpura-pura bahwa cinta itu telah sirna. Wanita itu, meski diam, namun setumpuk doa senantiasa dia panjatkan untuk pria itu. Harapannya tinggi, cintanya selalu ada walaupun dia tidak tahu bagaiman perasaan pria itu sebenarnya. Sesaat di dalam mobil yang mengantarnya, dia melihat ke luar jendela. Perjalanannya terhambat karena teriakan dan suara-suara di hatinya. Tiba-tiba saja perjalanannya terhenti. Dan saat itu....

"Tuhan… aku melihatnya" ucap wanita itu, "Pria itu bersama perempuannya."

SEBENTUK HARAP

Buatlah diriku mengerti

Melalui kata-kata yang bisa kumaknai

Dengan laku yang mampu ku hargai

Bukan dengan kebisuan yang bungkam

Bukan dengan henti yang tak mampu kurenguh

HANYA DALAM ANGAN

“Berarti hampir sudah satu tahun lebih kau membina hubungan itu bukan?” tanyaku padamu. Kau diam saja sebagai tanda mengiyakan. Tak apa, itu hakku untuk bertanya dan hakmu untuk tidak menjawab. Kau menatapku dan kau katakan bahwa pertanyaanku tak berarti apa-apa dibanding kebersamaan kita berdua saat ini. Sebuah kesempatan yang sangat langka. Aku tersenyum kecut, adegan ini hanya di anganku.

Saat ini,kau tahu mungkin, aku sangat bahagia bisa melihatmu dari jarak dekat. Duduk lama dan bercerita denganmu. Waktu yang selalu kutunggu. Aku bahagia. Tapi di sisi lain luka kecil ini terbuka. Memoryku bersamamu terkuak melalui aliran ceritamu yang bagiku tak ada bedanya dengan sebuah penceritaan kembali. Aku pun kembali tersenyum kecut, adegan ini juga hanya di anganku.

APA KABAR?

Redaksi sudah menagih tulisanku, kujanjikan besok akan kukirim via e-mail. Harusnya sekarang aku sedang membenahi tulisan yang sedang kuedit menjadi berhuruf Trebuchet MS kemudian mengatur marginnya menjadi masing-masing dua senti. Tapi sejak tadi sore aku merindukanmu. Berkali-kali kucek handpohone dan memandangi nomormu meski aku masih benar-benar hapal 12 digit nomor itu. Ingin sekali kutekan tombol call agar aku bisa mendengar suaramu, ah tapi itu terlalu berani. Mungkin kau takkan menyukainya lalu memakiku dan menyuruhku untuk tidur cepat. Lalu kau akan bilang bahwa kau sedang tidak ingin membicarakan apa pun, kau akan menghubungiku jika kondisi hatimu telah membaik. Kadang, meski aku menerima tapi hatiku dongkol bukanmain. Kau selalu seenaknya saja menghubungiku dan kadang kau sandarkan keluhanmu padaku. Tapi kau tak mmeberi kesempatan padaku untuk sebentar saja mengeluh.

Namun aku berpikir positif saja, barangkali kau mau mengajariku dengan bahasamu bahwa aku harus bisa menghadapi persoalan apa pun. Hadapi sendiri jika memang masih bisa, jangan membuat orang lain terbebani. Mungkinkah begitu? aku tak tahu. Setelah aku urung menelponmu, aku ingin sms saja. Sudah kuketik kata salam, hallo, hai, met malam, tapi terus kuhapus lagi. Kupikir kau takkan sempat membalas sms ku karena kesibukanmu atau mungkin keenggananmu. Aku takut jika pesan itu terbaca , kau malah justru menjadi terdakwa karena prasangka. Kuingin kau baik-baik saja. Ah kau, membuatku terbelenggu dalam rindu.

Aku sering kesal padamu. Sungguh kesal, rasa-rasanya ingin kubunuh saja dirimu agar tak nampak lagi. Tapi aku takut kau menghantuiku, ha ha aku ngelantur. Kau hidup saja sudah membuat diriku terus memikirkanmu. Aku terus mencari kabarmu dari siapa saja dan dari mana saja karena kutahu bertemu denganmu secara sengaja merupakan sesuatu yang langka. Jadi lebih baik kutahu kau baik-baik saja dan hatiku tenang daripada aku bertemu denganmu tapi setelah itu aku kesal dan merutuki keinginanku untuk bisa terus bersamamu.

Tapi kau mungkin perlu tahu, aku belum pernah berhenti untuk menyayangimu. Sampai sekarang. Meski kadang rasa sakit dan cemburu kurasakan, tapi itu bisa kuterima. Aku bisa tersenyum mengingatmu, tingkahmu, dan kadang keanehanmu. Kau suka marah-marah padaku, nada suaramu tinggi, jarang tersenyum. Itu sikapmu. Tapi aku merindukanmu malam ini, sejak sore tadi. Sejak hari-hari yang lalu. Sejak kau tak pernah hadir lagi. Sekarang bagaimana kabarmu? Apakah kau pernah merindukanku juga?