Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Senin, 25 Mei 2009

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN MELALUI PENGELOLAAN EKOWISATA

Turasih (I34070004)

Abstrak

Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani dan menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian tersebut. Namun sangat ironis jika realita yang ada menunjukkan bahwa kehidupan mereka masih di bawah garis sejahtera. Hal ini disebabkan masih kurang optimalnya pemanfaatan sumberdaya yang mereka miliki. Selama ini penduduk desa hanya terfokus pada kegiatan pertanian. Padahal alam yang tersedia di pedesaan menawarkan keuntungan ekonomis yang tinggi untuk mendukung kesejahteraan hidup mereka. Meskipun begitu, pemanfaatan ini tidak boleh menggeser keseimbangan lingkungan. Hal ini dilakukan untuk menciptakan sebuah pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Artinya pembangunan dilaksanakan tidak hanya berorientasi untuk masa sekarang tetapi juga masa yang akan datang. Pembangunan ini harus berbasis pada pelestarian lingkungan. Untuk memberdayakan masyarakat pedesaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang berbasis pada pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan pengelolaan wisata alam (ekowisata). Pengelolaan wisata alam ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan ekowisata ini baik dari pemerintah maupun swasta harus mampu mengutamakan peran masyarakat lokal mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan hasil keputusan untuk mengelola ekowisata tersebut dengan baik.

Key words: masyarakat pedesaan, ekowisata, pemberdayaan, pembangunan berkelanjutan.

BAB I

PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang Masalah

Indonesia sampai saat ini masih dikatakan sebagai negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi berupa sumberdaya alam yang berlimpah baik di darat, laut, maupun udara. Salah satu sumberdaya tersebut adalah pedesaan. Pedesaan mempunyai sumberdaya yang bisa mendukung kelangsungan hidup masyarakatnya. Alam pedesaan yang masih tergolong alami dan asri, kehidupan masyarakatnya yang masih sarat dengan budaya yang khas adalah sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan tentu saja harus dilestarikan. Harus ada suatu strategi yang diciptakan guna memberdayakan masyarakat pedesaan melalui pemanfaatan lingkungan sekitarnya serta kebudayaan mereka.


Kondisi petani yang ada di Indonesia mayoritas belum sejahtera. Problematika pedesaan menjadi kompleks karena petani menggantungkan kehidupannya dari pertanian. Pengelolaan ekowisata merupakan salah satu strategi pemberdayaan masyarakat pedesaan yang relevan dengan kondisi lingkungan yang tersedia. Dengan menciptakan suatu wilayah pedesaan sebagai daerah wisata alam (ekowisata) yang menarik bagi pengunjungnya, maka penduduk desa tersebut akan diuntungkan karena pendapatan mereka bertambah. Ini berarti secara ekonomi kondisi mereka menjadi lebih baik. Selain itu potensi masyarakat pedesaan yang berkaitan dengan kebudayaan dapat semakin ditingkatkan. Setiap daerah mempunyai kebuadayaan yang unik, berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Ini akan memicu wisatawan tertarik untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini akan membuat akses terhadap kehidupan di luar pedesaan semakin terbuka.


Masyarakat di pedesaan harus diberdayakan dengan suatu strategi yang mampu mengantarkan mereka pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Strategi itu tentu saja harus didukung dengan sumberdaya yang tepat sesuai dengan apa yang bisa dimanfaatkan di pedesan. Strategi ini harus sesuai karena kenyataan yang ada sekarang adalah mereka menggantugkan diri dari pertanian. Selain itu, seperti diungkapkan oleh Tjondronegoro (1998:28) bahwa masyarakat desa cenderung mempuyai hubungan ketergantungan terhadap kota karena mobilitas ekonomi uang menyebar dari kota[1]. Sektor pertanian semakin tertekan oleh sektor lainnya karena peningkatan populasi penduduk cepat, sehingga tenaga kerja semakin banyak dan mereka berurbanisasi ke kota. Suatu pemikiran untuk sebuah solusi dari permasalahan di desa yang kompleks adalah dengan memberdayakan masyarakatnya sesuai dengan potensi alam pedesaan. Strategi ini dapat direalisasikan melalui pengelolaan wisata alam atau ekowisata.

Pengelolaan yang baik terhadap pariwisata yang dalam hal ini adalah wisata alam akan memberikan keuntungan bagi masyarakat pedesaan. Pendit (2006:145) memberikan definisi[2] ekowisata yang dihubungkan langsung dengan keberadaan masyarakat. Definisi tersebut telah mencakup pemberdayaan masyarakat setempat dimana ekowisata dikembangkan dan dikelola. Kegiatan ini melibatkan masyarakat lokal secara langsung dalam proses sehingga mereka dapat memperoleh keuntungan dari proses yang dimaksud. Dihubungkan dengan pemberdayaan masyarakat, fungsi ekowisata sebagai faktor penunjang pemberdayaan masyarakat pedesaan sangat penting. Dengan dibangunnya ‘community-based tourism’ akan memberikan pengaruh dinamika sosial yang cukup kuat bagi kelompok masyarakat tersebut. Pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui dan pengelolaan ekowisata ini dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung. Berbagai dampak seperti semakin terbukanya kesempatan masyarakat setempat terhadap akses umum seperti air bersih, jalan yang semakin baik, serta klinik kesehatan merupakan hasil dari pemberdayaan yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan. Selain itu dengan pengembangan dan pengelolaan ekowisata , kebudayaan asli penduduk setempat terus dilestarikan.

1.2. Perumusan Masalah

  1. Sumberdaya apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan

masyarakat pedesaan dalam rangka meningkatkan taraf hidup mereka?

  1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani?
  2. Apakah sektor ekowisata mampu menjadi solusi peningkatan taraf

kesejahteraan masyarakat pedesaan?

  1. Bagaimanakah strategi pengembangan dan pengelolaan ekowisata yang

efektif sebagai suatu cara untuk memberdayakan masyarakat pedesaan?

1.3.Tujuan

Tulisan ilmiah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk menggali pengetahuan mengenai potensi sumberdaya manusia serta sumberdaya alam di pedesaan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan penduduknya.

2. Sebagai bahan studi baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

3. Untuk melihat sejauh mana korelasi antara potensi sumberdaya yang ada di pedesaan untuk memberdayakan masyarakatnya menuju arah sejahtera.

4. Tujuan khusus dari penulisan ini adalah menghasilkan sebuah naskah tentang pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui pengelolaan ekowisata.

1.4. Manfaat

Manfaat dari tulisan ini adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang korelasi antara pengelolaan ekowisata dengan pemberdayaan masyarakat pedesaan menuju kesejahteraan. Selain itu memberikan pengetahuan tentang berbagai potensi yang terdapat di pedesaan sebagai suatu aset penting yang dapat dikelola dan dimanfaatkan.

BAB II

SUMBERDAYA YANG TERDAPAT DI PEDESAAN

2.1. Sumberdaya Manusia

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Mereka membutuhkan bantuan dari sesama manusia serta tergantung juga pada lingkungannya. Begitu pula manusia yang tinggal di pedesaan. Mereka tinggal dan saling bekerjasama dalam kehidupan sehari-hari. Hampir di seluruh dunia penduduk pedesaan kurang menikmati kemakmuran dibanding dengan daerah perkotaan, dan walaupun penduduk pedesaan mempunyai kegiatan di sektor pertanian, kekurangan pangan dan kemiskinan merundung warga pedesaan (Tjondronegoro, 1998:10). Umumnya kita mempunyai bayangan tentang daerah sebagai wilayah yang terdiri dari pusat-pusat pemukiman (desa) yang didiami oleh petani-petani.

Mendekati masyarakat desa dengan perkataan lain membutuhkan pengertian terhadap pola antar-hubungan. Masyarakat desa bukan lagi satu kesatuan hidup bersama yang terpadu dan utuh dalam kenyataan terdapat lapisan dan “communities yang lebih kecil dan dipengaruhi oleh berbagai elit desa, baik yang formal maupun tidak formal (Tjondronegoro, 1998: 33). Berkurangnya kesempatan kerja didaerah pedesaan mendorong buruh tani dan petani kecil mencari pekerjaan di kota dan disini timbullah “sektor informal” yang cepat meluas. Sektor ini mencakup buruh tanpa keahlian yang diberi upah harian atau borongan. Sektor ini mencakup juga banyak jenis pekerjaan tidak langsung dapat digolongkan dalam sumber penghasilan yang terhormat, kota mempunyai potensi untuk menciptakan berbagai jenis kesempatan kerja seperti percaloan bis, truck, kendaraan umum lain, pengumpulan sampah puntung rokok, pengumpulan sampah plastik dan sebagainya.[3]

2.2. Sumberdaya Alam

Pada dasarnya sumberdaya alam digolongkan menjadi sumberdaya alami dan buatan. Sumberdaya alam alami yang terdapat di pedesaan antara lain sungai, hutan dan pegunungan, fenomena alam seperti danau, dan berbagai tempat yang unik, serta berbagai daerah yang masih liar dan belum terjamah. Sumberdaya alam buatan yang terdapat di pedesaan antara lain adalah lahan pertanian seperti sawah, ladang, dan perkebunan. Fakta memperlihatkan bahwa sumberdaya alam yang terdapat di pedesaan sangat berlimpah dan tentu dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup penduduk setempat.

Selain apa yang telah disebutkan, sumberdaya alam juga termasuk flora dan fauna yang terdapat di pedesaan. Tentu saja berbagai tumbuhan dan hewan terdapat di lingkungan yang masih asri. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk dijadikan salah satu objek wisata alam (ekowisata) yang selain membantu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat juga dapat mempertahankan kelestarian lingkungan. Tidak dipungkiri bahwa saat ini masalah lingkungan merupakan isu sentral yang selalu dibicarakan. Oleh karena itu ekowisata diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengelola sumberdaya alam supaya alam memiliki kemampuan meregenerasi dengan sendirinya.

Menurut Philip Kristianto (2000:43) dalam Dwi Susilo (2008:69), jika jumlah populasi manusia meningkat, dengan sendirinya akan diikuti dengan meningkatnya konsumsi sumberdaya alam (SDA). Agar batas daya dukung tidak terlampaui, maka diupayakan agar laju konsumsi sumberdaya dan pencemaran menurun relatif terhadap kualitas lingkungan hidup.Penduduk pedesaan merupakan konsumen lingkungan hidup yang ada di sekitar mereka baik untuk tempat tinggal maupun tempat bekerja sebagai petani. Dengan pengelolaan ekowisata dari lingkungan yang mereka diami, akan dihasilkan keseimbangan dari pemanfaatan sumberdaya alam serta pelestariannya.


BAB III

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BAGI MASYARAKAT PEDESAAN DENGAN MEMANFAATKAN SUMBERDAYA ALAM

Alam menyediakan sumberdaya yang diperlukan oleh masyarakat pedesaan. Namun kadang sifat rakus manusia menyebabkan mereka mengeksploitasi alam secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestariannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa realitas sosial tidak bisa lepas dari realitas ekologi. Keduanya saling berpengaruh. Misalnya dalam sektor ekonomi, pada kenyataannya rancangan pembangunan ekonomi biasanya terlibat dalam bergesernya keseimbangan lingkungan. Biasanya untuk memperoleh pendapatan yang besar, lingkungan menjadi korban. Menurut Dwi Susilo (2008:184), upaya perbaikan lingkungan harus diawali dari keinginan bersama yang masuk dalam sistem secara terintegrasi dan secara komprehensif.

Berhubungan dengan pembangunan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan pemberdayaan masyarakat pedesaan, maka membicarakan konsep pembangunan berkelanjutan adalah penting. “Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai sejenis pembangunan yang di satu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber alam maupun sumberdaya manusia secara optimal, dan di lain pihak serta saat yang sama memelihara keseimbangan optimal antara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap sumber-sumber tersebut.” Ignas Kleden (1992: 250) dalam Dwi Susilo (2008: 187-188).

Masyarakat yang berkelanjutan tidak hanya memikirkan kehidupan yang sekerang saja tapi lebih penting mempertimbangkan kehidupan bagi generasi selanjutnya. Pembangunan berkelanjutan harus menggunakan cara berpikir lintas generasi. Hal ini berkaitan dengan semakin baik kualitas lingkungan maka semakin baik pula kualitas kehidupan. Perolehan target ekonomi tidak boleh mengorbankan nasib lingkungan di masa depan. Inilah mengapa ekowisata dipilih sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan. Ekowisata sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang berada di sekitar tempaat tinggal masyarakat, termasuk lahan pertaniannya. Selain itu jika dihubungkan dengan pembangunan berkelanjutan, ekowisata merupakan strategi yang sesuai. Karena ekowisata tidak lepas dari dimensi-dimensi[4] pembangunan berkelanjutan yaitu biosfer (keberlanjutan ekologis), bentuk masyarakat (pengembangan sosial), dan mode produksi (pengembangan ekonomi).

Sejauh ini mayoritas petani yang tinggal di pedesaan masih terbatas dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Mereka memanfaatkannya untuk lahan pertanian dan hasilnya pun tidak selalu menjanjikan. Oleh karena itu dengan pembangunan berkelanjutan yang berbasis lingkungan ini, masyarakat pedesaan diharapkan dapat lebih memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekelilingnya untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup mereka. Mereka tidak perlu meninggalkan pertanian dan berurbanisasi ke kota, namun dengan tetap mempertahankan pertanian dan menjadikan lingkungan mereka lebih indah melalui pengelolaan ekowisata. Pertanian mereka akan menjadi basis sumberdaya yang menarik bagi wisatawan.

BAB IV

EKOWISATA SEBAGAI SOLUSI UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PEDESAAN

4.1. Pariwisata dan Ekowisata

“Pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya. Selanjutnya, sebagai sektor yang kompleks, ia juga merealisasi industri-industri klasik seperti industri kerajian dan cenderamata. Penginapan dan transportasi secara ekonomis juga dipandang sebagai industri” (Wahab dalam Pendit, 2006:32). Kepariwisataan juga dapat memberikan dorongan langsung terhadap kemajuan-kemajuan pembangunan atau perbaikan pelabuhan-pelabuhan (laut atau udara), jalan-jalan raya, pengangkutan setempat, program-program kesehatan lingkungan dan sebagainya, yang kesemuanya dapat memberikan keuntungan dan kesenangan baik bagi masyarakat dalam lingkungan daerah wilayah yang bersangkutan maupun bagi wisatawan pengunjung dari luar.[5] Kepariwisataan juga dapat memberikan dorongan dan sumbangan terhadap pelaksanaan pembangunan proyek-proyek berbagai sektor bagi negara-negara yang telah berkembang atau maju ekonominya, dimana pada gilirannya industri pariwisata merupakan suatu kenyataan di tengah-tengah industri lainnya.[6]

Keuntungan pariwisata menurut Drs. Happy Marpaung, SH, MH, (2000) adalah:

  1. Pariwisata memberikan devisa yang besar yang dihasilkan oleh pembelanjaan yang besar oleh para wisatawan.
  2. Pariwisata memerlukan karyawan untuk industri privat mereka.Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus. Bentuknya yang khusus itu menjadikan ekowisata sering diposisikan sebagai lawan dari wisata massal. Sebenarnya yang membedakannya dari wisata massal adalah karakteristik produk dan pasar. Perbedaan ini tentu berimplikasi pada kebutuhan perencanaan dan pengelolaan yang tipikal.[7] Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat Ekowisata Internasional mengartikannya sebagia perjalanan wisata alam yang bertanggungjawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (responsible travel to natural areas that conserves the environment and improves the well-being of lokal people) (TIES,2000).[8]

Konsep dasar yang lebih operasional tentang ekowisata menurut From (2004)[9] adalah sebagai berikut: pertama, perjalanan outdoor dan di kawasan wisata alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Kedua, wisata ini mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola masyarakat kawasan wisata itu. Ketiga, perjalanan wisata ini menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal. Sedangkan beberapa prinsip ekowisata menurut TIES (2000)[10] adalah:

a) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.

b) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya.

c) Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi ODTW.[11]

d) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.

e) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal.

4.2. Keterlibatan Masyarakat Setempat dalam Pengelolaan Ekowisata

Sebagai sebuah bentuk wisata yang bisa dikatakan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan, maka peran masyarkat lokal sangat dominan. Masyarakat setempat tentu saja mempunyai sikap yang berbeda-beda jika ada wisatawan datang ke desanya. Oleh Karena itu diperlukan kesamaan sikap dan tujuan yakni menerima kedatangan wisatawan dengan baik. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan pendidikan dan pembinaan untuk berwiraswasta dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa merusak lingkungan. Dengan cara seperti ini,masyarakat bisa mempunyai pandangan baik terhadap wisatawan. Karena wisatawan ini nantinya adalah pihak yang akan memberikan keuntungan secara ekonomis dari pembelanjaan mereka.

Masyarakat setempat merupakan pemain utama dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata ini. Mereka yang nantinya akan menyuguhkan atraksi dan menentukan kualitas produk wisata. Mereka adalah pemilik dari produk wisata yang dikonsumsi oleh wisatawan. Peran mereka yang paling tampak adalah pada penyediaan akomodasi dan pemanduan wisatawan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan wisata ini akan menyerap banyak tenaga kerja. Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat partisipasi masyarakat setempat adalah keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan, menjalankan hasil keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan tersebut.

BAB V

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN EKOWISATA

Di tingkat global pertumbuhan pasar ekowisata tercatat jauh lebih tinggi dari pasar wisata secara keseluruhan. Berdasarkan analisis TIES (2000) pertumbuhan pasar ekowisata berkisar antara 10-30 persen per tahun sedangkan pertumbuhan wisatawan secara keseluruhan hanya 4 persen.[12] Kondisi ini mengindikasikan bahwa ekowisata mempunyai prospek yang bagus untuk dijadikan sebagai suatu strategi untuk memberdayakan masyarakat pedesaan. Hal ini didukung oleh orientasi ekowisata yang tidak hanya menjaga kondisi lingkungan supaya tetap seimbang, tetapi juga orientasi ekonomi. Masyarakat akan memperoleh pendapatan dari pengelolaan ekowisata tersebut.

Strategi yang dikembangkan untuk mengembangkan dan mengelola ekowisata harus berawal dari perencanaan. Perencanaan melibatkan masyarakat lokal yang dalam hal ini adalah masyarakat pedesaan. Selain itu bekerja sama dengan pengelola taman nasional, industri dan organisasi pariwisata, Kementrian Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Departemen Pariwisata, Badan Konservasi Sumberdaya Alam, lembaga riset atau perguruan tinggi, dan sebagainya.[13]

Selain melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang ada, perlu juga diadakan workshop bagi masyarakat setempat. Workshop ini merupakan media diskusi yang efektif yang memfasilitasi setiap pihak untuk bertukar pikiran. Strategi yang dipilih untuk menyusun rencana harus difokuskan pada tujuan utama yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, tahap-tahap[14] yang perlu ditempuh oleh pihak yang menggerakkan (pemerintah maupun swasta) yaitu: pertama, memahami tentang masyarakat pedesaan. Kedua, harus mampu mendorong partisipasi masyarakat untuk dapat mengelola. Ketiga membentuk kelompok pemangku kepentingan lokal yang akan terlibat intensif dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata. Keempat, memadukan manfaat keuntungan dengan kegiatan konservasi secara langsung. Kelima, harus bisa memastikan bahwa keuntungan itu akan dinikmati oleh masyarakat setempat baik secara perorangan maupun kolektif. Keenam, dengan memperhatikan aspek gender, pastikan bahwa pemimpin informal dan formal masyarakat terlibat di dalam perencanaan. Ketujuh, mengajak organisasi lokal untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui aktivitas ekonomi. Kedelapan, pengembang harus memahami struktur otoritas lokal yang mayoritas adalah petani. Kesembilan, Terus melakukan pengawasan dan evaluasi secara berkelanjutan.

BAB VI

KESIMPULAN

Masyarakat pedesaan sebagaimana mayoritas yang kita ketahui adalah mereka yang mendiami suatu wilayah yang disebut desa. Pada umunya matapencaharian mereka adalah bertani. Namun , ironisnya kehidupan mereka masih jauh dari sejahtera. Untuk mengatasi hal ini dihadirkan sebuah solusi yang dirasa dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pedesaan tersebut. Cara yang bisa dikembangkan adalah dengan pengolaan wisata alam (ekowisata) dengan memberdayakan masyarakat setempat. Cara ini selain mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga untuk mencegah bergesernya keseimbangan lingkungan pedesaan yang masih alami.

Pengembangan ekowisata ini dapat dilakukan dengan suatu strategi yakni mengoptimalkan peran masyarakat setempat mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan keputusan yang telah disepakati oleh masyarakat setempat. Selain itu pengembang (pemerintah, swasta) harus benar-benar memperhatikan keberadaan otoritas masyarakat setempat sebagai pemilik proyek ekowisata.


DAFTAR PUSTAKA

Damanik Janianton, Helmut F. Weber 2006, Perencanaan Ekowisata Dari Teori Ke Aplikasi, Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) UGM & Penerbit Andi: Yogyakarta.

Marpaung, Happy 2000, Pengetahuan Kepariwisataan, Alfabeta: Bandung.

Pendit, S. Nyoman 2006, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana, PT Pradnya Paramita: Jakarta.

Tjondronegoro, Sediono M.P. 1998, Keping-Keping Sosiologi Dari Pedesaan, Depdikbud: Jakarta.

Wumbu, Indra B. et al 1994, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Di Daerah Sulawesi Tengah, Depdikbud: Jakarta.




[1] Sediono M.P. Tjondronegoro mengungkapkan dalam bukunya Keping-Keping Sosiologi Dari pedesaan bahwa hubungan daerah pedesaan dan perkotaan pada umumnya bertambah erat dengan cepat walaupun ada desa-desa yang letaknya terpencil. Hubungannya tidak semata-mata ditentukan oleh jarak, namun dipengaruhi oleh kebututuhan daerah pedesaan yang berorientasi pada kota. Hubungan-hubungan tersebut bisa tersalur melalui perdagangan (pemasaran hasil pertanian), pendidikan, penawaran tenaga kerja, merantau, dan juga melalui media massa.

[2] Eco-tourism, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata, juga –pariwisata atau wisata-ekologi (pariwisata ekologi) , menurut Hecktor Ceballos-Lascurain, terdiri atas wisata ke atau mengunjungi kawasan alamiah yang relatif tak terganggu, dengan niat betul-betul objektif untuk melihat, mempelajari, mengagumi wajah keindahan alam, flora, fauna, termasuk aspek yang mungkin terdapat di kawasan tersebut.aspek budaya baik di masa lampau maupun sekarang.

[3] Sediono M.P. Tjondronegoro, Keping-Keping Sosiologi Dari Pedesaan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta, 1998, hlm.97.

[4] 3 dimensi pembangunan berkelanjutan ini diungkapkan oleh Burger (1998:48) dalam M. Baiquni dalam Wacana , Edisi 12 Tahun III, 2002, yang disampaikan kembali oleh Rachmad K. Dwi Susilo dalam bukunya Sosiologi Lingkungan.

[5] Nyoman S. Pendit, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hlm.33.

[6] Ibid

[7] Janianton Damanik & Helmut F.Weber, Perencanaan Ekowisata Dari Teori ke Aplikasi. Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) UGM dan Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006, hlm.37. Dalam perencanaan pengembangan pariwisata di berbagai daerah sering muncul berbagai hambatan atau kekuranga teknis maupun non-teknis.

[8] Ibid. hlm.37.

[9] Dalam Janianton Damanik & Helmut F.Weber (2006), Ibid.

[10] Loc. cit. hlm. 39-40.

[11] ODTW: Obyek Daerah Tujuan Wisata.

[12] Janianton Damanik & Helmut F.Weber, Perencanaan Ekowisata Dari Teori ke Aplikasi. Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) UGM dan Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006, hlm.43.

[13] Boo (1993:25) dalam ibid. hlm. 93.

[14] Janianton Damanik & Helmut F. Weber mengungkapkan tahap-tahap yang perlu ditempuh oleh pihak pengembang dengan mengutamakan pelibatan masyarakat setempat. Konsep ini diadaptasi oleh penulis untuk diterapkan dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata bagi peningkatan masyarakat pedesaan dengan sedikit perubahan dari konsep aslinya.

Sabtu, 23 Mei 2009

Cerita Tentang Cara

Ada setitik rasa hampa saatku mengartikan bahasa matamu

Binar-binar bahagiamu mengantarku pada segores pedih tak berupa

Kau tersenyum dalam kalutku

Kau lambaikan lunglai tanganmu dengan angkuh, tak biasa

Aku hanya bisa diam, tak mampu menjawab lambaianmu

Sekarang ada tangan kokoh penopang ringkihmu

Telah ada senyum tulus yang kau nanti menjadi penyejuk penatmu

Kesetian baru hadir menyertaimu, dia mimpi-mimpimu

Mimpi indahmu

Aku kehilangan

Tapi setelah kupikir lagi, untuk apa begitu

Harusnya aku lega dan rela terhadapmu

Aku tak perlu risau lagi melepasmu

Sambut pagi dengan langkah pasti

Songsong siang dengan ayunan asa

Menjamu sore dengan sinar yang masih memancar

Memeluk malam dengan dekap keikhlasan

Memang aku sempat kecewa

Merasa

Tercabik saat kehilangan kikik tawamu

Namun setelah kusadari semuanya adalah harapmu selama ini

Maka syukur tak terperi kututurkan


Kau bebas

Saatnya terus kau gandeng tangan kokoh penopangmu

Agar mampu kau kuatkan tiap tiang yang kau tancap

*Sahabatku, tetap sisakan ruang di hatimu untukku dan untuk mereka. Meski kau hidup di satu masa, namun banyak cerita yang mengiringinya.

Tak Berjadwal

Jeritanku tak ada yang mengerti

Aku tak tahu mengapa hadirmu dengan cara yang seperti ini?

Datang, datang, datang, datang

Pergi, datang, pergi, datang, pergi

Datang, datang, pergi, pergi

Datang lagi

Harus dengan cara apa aku jelaskan

Jiwa ini meradang garang

Aku tak henti menyebut namamu di setiap pejam dan jagaku

Kau tahu?

Aku pernah berteriak mengusirmu sebagai pelampiasan harapku

Kau abaikan begitu saja

Kau congkak

Angkuhmu biarkanku menjerit sakit

Datang pergi silih berganti seperti jadwal kereta malam

Aku bukan sekolah yang berjadwal

Apalagi bioskop yang bisa kau datangi kapan saja

Sampai kapan?

Datang pergi silih berganti seperti kereta malam?

Berita Malam

Malam berkabut
Derai tawa sirna tak berbekas
Ada satu hal lagi yang terlupakan
Tentang bisikan nurani di masa yang telah tertelan

Simponi rindu berubah menjadi petikan gitar kematian
Tak mau kusentuh sedikit saja
Menjadi gesekan dawai berirama canda
Yang tersisa hanya tangis tragis
Tak ada berita lain
Kecuali tentang peti mati

Waru

Jika ada satu hati berduka

Merubah segala cinta menjadi luka

Kadang atau barangkali

Pernah kau gambarkan bahwa cinta seperti daun waru

Tapi kau tak pernah tunjukan seperti apa waru itu padaku

Otakku abstrak

Kau bicara dalam mata yang terbaca

Cinta itu tak berbentuk

Cinta itu halus

Hanya saja,

Otakku mencerca

Di mana halusnya cinta?

Bukankah dia kasar dan kejam

Meski membelaiku namun menyakitkan

Seperti belati panas dalam luka koreng

Manumisio*

Terkadang aku ingin menjadi matamu,

Agar aku bisa membaca setiap seni di hidupmu

Tapi biarlah setiap tubuh menikmati

Setiap seni yang mewarnai hidupnya

Yang mengalir dalam darahnya

Termasuk dirimu

Seni,

Meski tak terlihat

Namun geraknya selaras dengan nyanyian rindu

Meski tak terdengar

Namun suaranya begitu merdu

Meski tak terbaca

Namun bahasanya begitu syahdu

Katakan pada seni di hidupmu

’Aku ingin menikmatimu,

Menjadi roh dalam kehidupanmu’

Padamu,

Jiwa yang menggeliat dalam galau penat

Temukan seni

Lalu jadilah api

*Pendewasaan pemikiran anak-anak (dengan surat)

Rabu, 06 Mei 2009

Menanti Embun

MENANTI EMBUN

Kuhirup napas panjang, mencoba menata kembali puzzle rasa di hati yang selama ini tercecer. Kubiarkan diafragma ini mengembang beberapa saat lalu kuhembuskan Karbondioksida itu keras-keras seperti orang yang sedang buang sial dari dalam dirinya. Sekarang, di detik yang terus berjalan aku terduduk di sini. Sendiri. Meski di luar sana hingar bingar hidup belum sepenuhnya dimulai, namun aku selalu ingin memulainya lebih awal dari siapa pun. Aku akan terus duduk sampai aku puas. Barangkali siapa pun yang melihatku akan heran dengan apa yang aku lakukan. Menatap lurus ke depan tanpa kata-kata dan sekali-sekali bergumam. Itu pun tanpa kata yang bisa mereka mengerti. Gumamanku hanya terlihat seperti komat-kamit tukang tarot.

Tapi seandainya kalian -atau kau- tahu, barangkali ada sedikit empati yang mampu muncul dari suara hati yang tak pernah mampu berbohong. Aku tak sekedar berkomat-kamit tak jelas. Sesungguhnya aku sedang menyampaikan gundah hati yang beberapa waktu ini tak tersampaikan. Sebuah cerita yang selama ini kuhanyutkan bersama rasa dan kesempatan yang kukira akan sirna begitu saja. Tapi tak semudah itu, dari hulu memang tampak hilang, namun ketika sampai ke muara aku menemukannya kembali.

Aku mulai berusaha menciptakan kesempatan seperti ini. Kesempatan yang tak terbayar, dan aku tak perlu teman bicara. Aku bisa menyampaikannya sesuka hatiku, menyampaikan dengan lirih suara tak terdengar. Lalu tiba-tiba aku menjadi berpikir apakah ini jeritan hati yang terlalu lelah atau pikiran yang mengaku kalah?

Aku sedikit menggeser posisi dudukku. Kuraih sebuah buku bersampul hitam yang selama ini setia menerima apapaun yang aku rasakan. Sebuah buku harian yang selama ini menjadi wakil semua telinga yang mampu mendengar jeritku. Buku itu, teman curhat yang tak pernah protes meski tusukan pena kadang “menyakitinya”. Setelah kudapat buku itu, aku kembali ke posisi dudukku semula. Kubuka lembar yang dibatasi sepotong pita merah. Sesosok wajah ada di salah satu lembar yang dibatasi itu. Wajah yang tercetak dalam foto ukuran 4R. Wajah yang senantiasa aku rindukan.

Mataku panas, entah mengapa setiap kali kupandangi mata di foto ini, degup kencang jantungku terpacu. Perih, sedih, luka menyambar-nyambar. Lalu disusul dengan bahagia, ceria, suka yang sekedar mampir sebentar. Aku mengusap wajah yang tak sesungguhnya itu. Wajah salah seorang yang paling berharga dalam hidupku, sumber kekuatan cintaku. Setiap kali, setiap pagi dalam beberapa waktu ini kulakukan itu. Berharap siang nanti kudapatkan kabar keberadaannya. Kudengar berita kepulangannya. Setiap hari –dalam beberapa waktu ini- harapan itu terkembang dan setiap hari –dalam beberapa waktu ini- pula harapan itu pupus.

Andai dia ada di sisiku saat ini, aku tak akan muluk-muluk bercerita. Aku hanya ingin menikmati waktu bersamanya. Namun, ketahuilah, aku tak pernah menganggapnya tiada. Setiap waktu, bagiku dia selalu ada bersamaku. Meski raganya entah berada di mana sekarang, namun rohnya selalu hidup dalam pikiranku. Siapa pun tak bisa menyalahkanku –tentang hal ini, tentangnya- karena aku hidup dengan sudut pandangku. Siapa pun hidup dengan sudut pandangnya masing-masing. Dan aku tak akan pernah membiarkan kehidupanku berjalan dengan sudut pandang yang sempit yang bisa membuatku bunuh diri.

“Aku ingin kau mengerti…” kata itu tiba-tiba meluncur dari mulut ini. Lalu mataku semakin panas dan tak kuasa lagi membendung telaga kecil yang beriak deras ini. Foto itu kudekap, imajinasiku melayang seakan aku sedang memeluk sosok sesungguhnya. Rasa-rasanya ada perasaan halus yang menelusup dan bisikan kecil menghampiri telingaku. Itu darinya, ya benar-benar darinya. Namun sekali lagi aku harus menyadari bahwa itu hanya imajinasiku. Aku menyayanginya bahkan benar-benar mencintainya.

Seandainya dia berada di sini, sekarang juga akan kuberitahukan padanya tentang dua waktu dimana aku sangat menyukai saat-saat itu. Waktu pagi ketika fajar putih menyingsing di langit timur, diiringi kokok ayam ricuh serta cicit tikus yang berhenti kudengar. Lalu ketika bola raksasa menyembul, masih di langit timur, dan seakan-akan berkata “dunia, aku kan menguasaimu”. Kemilau embun yang baunya masih basah menusuk hidungku dan membelai pernapasanku. Uapnya naik sedikit demi sedikit. Kunikmati detik-detik itu sampai wujud embun itu lenyap dari pandangan kasatku.

Jika hari telah beranjak siang, aku cukup kesal dan mengutuki waktu. Mengapa dia harus bergerak, merangkak, berjalan, berlari, hingga kejaranku tak sampai? Mengapa dia tak mau sejenak berhenti mengerti arti dari setiap jejak yang kucoba langkahi? Namun, akhirnya kusadar bahwa aku sama sekali tak bisa menyalahkan waktu. Apa yang bisa kusalahkan, aku pun tak nanpu mendefinisikannya secara pasti. Apa kalian tahu definisi waktu? Definisi pastinya, maksudku, jika tahu ceritakan padaku.

Mengapa aku mengutuki waktu siang yang sama sekali tak berasa? Semua ini tak lepas dari rasa kesalku terhadap praktek birokrasi di negeri ini. Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi -pada faktanya memang seperti itu kuakui- namun kegemahannya bagiku seperti sepotong pizza yang hanya dapat dibeli oleh kalangan yang sudah cukup uang untuk membelinya. Tanpa tedeng aling-aling, orang miskin itu nggak perlu makan pizza dulu karena raskin (beras miskin) pun datangnya selalu ditunggu-tunggu. Ya, hanya orang yang punya tahta dan harta saja yang menikmati kekayaan negara. Sekalian saja sahkan undang-undang “pejabat anti melarat”. Sama saja biar pun labelnya pizza, baunya toh masih seperti Jengkol juga, hanya orang yang suka saja yang mau memakannya.

Kembali lagi pada birokrasi yang tak ayal bukan lagi sebagai sebuah bentuk organisasi paling ideal menurut Aristoteles, namun sekarang cenderung pada penyimpangan yang nyata. Gampangnya, birokrasi bereinkarnasi dan melahirkan kembali oknum pelaku birokratisme yang membuat hal mudah menjadi susah dan harus berpayah-payah mendapatkannya.

Kekesalanku bukan tak beralasan. Entah itu sebagai perwujudan ego mengenai hak warga negara atau memang rasa kehilangan yang membuat emosi ini tak terkendali. Dasar manusia! Birokrasi zaman ini terlalu banyak cingcong, sesuatu yang seharusnya menjadi “sekedar” namun akhirnya sukar dan membuat gusar.

Pikiranku terlalu berkelana sampai persoalan negara. Hanya karena sosok yang wajahnya tercetak dalam secarik kertas foto yang sekarang sedang kupegang. Kupastikan seandainya wajah ini berwujud di depanku sekarang, akan kupeluk dia dengan erat. Dia adalah hakku dari Tuhan. Aku tak mau kehilangan dirinya -sama sekali- meski kusadari kepemilikan di dunia ini tak ada yang kekal.

Kulirik jam weaker di atas meja berwarna cokelat tua di sebelah tempat tidur. Sudah lima belas menit aku duduk diam sembari memandangi foto ini. Aku tak ingin beranjak karena aku menggantungkan harapanku pada posisiku sekarang.

“Aku masih ingin kau tahu...” butiran yang leleh menetes di pipiku. Aku membenci siang karena semua bagian dari diriku begitu lelah mencari dan menemukanmu. Selain pagi, hanya waktu malam yang senyap bisa kunikmati meski sedikit. Itu sekarang. Dulu, malam tak ubahnya pagi dengan embunnya. Malam adalah gelap yang indah. Apalagi jika remang cahaya bulan menghias. Ditambah titik-titik bintang membuat corak rasi pari, biduk atau scorpio. Sekarang, meski kesadaranku terkikis oleh lelahnya pikiran, aku terus berusaha menikmatinya. Kutahu jika malam datang maka dia akan segera berakhir dan berganti pagi kembali. Lalu aku bisa berceloteh panjang tentang dirimu dalam hatiku. Tentang kebahagiaan dan harapan akan masa depan. Walau aku sadari, siang menanti jejakku untuk terus mencarimu.

Air mata ini menganak sungai, sebuah ironi tentang kenyataan lemahnya diriku. Tapi aku yakin kesempatan itu masih ada, terbentang seluas langit. Kau akan menghampiriku kembali dengan besarnya rasa cintamu itu. Kau akan datang padaku kemudian merangkul tubuh kecilku dalam dekapan tangan kokohmu. Kau akan tersenyum sambil mengacak-acak rambutku. Aku tahu kau akan berkata:

”Tanamkan jiwa ksatria di hatimu, meski kau perempuan, kau Srikandi dalam kehidupan ini. Nafas yang menjadikan kehidupan ini selaras dengan kelembutanmu. Kau adalah roh kartini yang senantiasa hidup dan jiwa bunda Theresa yang tak pernah mati.”

Aku terguguk mengingat kata-kata yang pernah kau ucapkan itu. Aku malu karena Srikandi , Kartini, dan bunda Theresa yang kau banggakan ini begitu rapuh.

”Kau bisa meraih mimpi-mimpimu. Bermimpilah gadisku, mimpi itu gratis. Bercita-citalah yang besar maka kau akan jadi orang besar. Kau harus berpandangan seluas langit dan memiliki pemikiran sedalam laut.”

Kembali kuhirup napas dalam-dalam. Kuresapi dengung kata-kata yang pernah kudengar itu dan tak akan terhapus dari memori jangka panjangku.

Seandainya kau ada di sini, sekarang, aku akan ceritakan tentang mimpi besarku. Kuyakin kau pasti menepuk pundakku seakan aku tak hanya sekedar sahabat karibmu. Barangkali kau juga takkan percaya, aku yang seperti ini, bermimpi untuk menggantikan Ibu Meutia Hatta di tahun 2040 kelak. Kurasa tidak terlalu tinggi jika aku ingin meneruskan perjuangan perempuan. Tapi kau tak ada di sini sekarang. Kau entah berada di mana. Di belahan bumi yang mana. Aku bingung. Jalan pikiranku buntu. Saat ini, jangankan menggantungkan cita-citaku sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan sebagai obsesi yang tinggi. Cita-cita tertinggiku hari ini -dan telah tiga hari yang lalu- adalah bertemu denganmu dan memelukmu.

Kakiku mulai kesemutan bersila selama 30 menit. Kusdari waktu merangkak dan terus berjalan. Saat yang kutunggu, tepatnya yang paling kususkai yaitu saat matahari terbit segera tiba. Raksasa bulat itu akan segera muncul memendarkan sinar kuning keemasan sebelum menjadi panas yang menusuk kulit. Pagi ini kembali kugantungkan harapanku pada-Nya, pada mereka, dan pada siapa pun yang mendengarkan. Pada semua orang yang mau mendoakan aku dan kami.

Hari baru setelah tiga hari yang lalu harus kujalani kembali. Mau tidak mau. Semoga harapan pagi ini tak tersiakan. Kuraih handphone yang kutaruh di atas meja cokelat kecil di dekat tempat tidur itu. Kutelpon seorang yang sedang menanti kabar dariku di seberang sana. Setelah itu kusimpan kembali foto ukuran 4R yang sedari tadi menemani celotehku.

Sekarang, pagi memang masih dingin. Tapi bukan bau basah embun. Bau amis yang membuatku mual. Bahkan di otakku yang pesan yang tersampaikan tak hanya bau amis, bau mayat. Sial! Aku tak boleh berpikir seperti itu. Huf, sepagi ini sudah sumpeg. Aku berada di tengah-tengah orang yang kondisinya sama sepertiku. Menanti.

Kudekati seseorang yang aku kenal sejak dua hari yang lalu.

”Bagaimana?” tanyaku padanya. Seorang pemuda bernama Sahar yang sedang menanti kabar tentang adiknya. Adik perempuan yang katanya sebaya denganku, 20 tahun. Dia hanya menggeleng. Kutahu, barangkali dia mau menangis tapi mungkin dia malu denganku. Aku menelan ludah, pahit. Lidahku kelu. Aku tak berniat menanyakan hal yang lain lagi padanya.

”Sebentar, aku mau ke pos. Mau ikut?” kupegang pundaknya dan kutatap dalam matanya. Pasti dia tidak tidur beberapa hari ini.

Sahar menggeleng, ”Aku sudah ke sana” jawabnya tawar.

Aku bergegas menjajak jalanan basah, tetap amis.

“Selamat pagi” sapaku pada seorang petugas yang mengenakan kaos bertuliskan SAR.

”Selamat pagi Mbak, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

”Bagaimana perkembangannya Pak?” tanyaku. ”Ada kabar terbaru mengenai korban?”

”Sementara belum Mbak, masih sama seperti kemarin baru delapan orang yang ditemukan. Semuanya meninggal dan sudah diambil oleh keluarganya.” penjelasan itu hambar di telingaku.

Langkahku gontai namun kupaksakan tegap. Aku kembali menghampiri Sahar. Duduk di sebelahnya dan berusaha tersenyum. Aku jadi teringat pesan ibuku tadi pagi saat kutelpon.

”Isya, kalau memang hari ini tidak ada kabar juga tentang ayahmu, kau pulang saja Nak. Kita pasrah saja.” kini air mataku benar-benar tak bisa kutahan. Padahal aku telah banyak menangis selepas shalat subuh tadi pagi. Setidaknya setengah jam cukup membuat mataku bengkak. Tapi tetap saja sekarang tak bisa kutahan.

Pemuda di sampingku hanya diam. Kumaknai diamnya sebagai tanda bahwa apa yang sedang dirasakannya sama denganku. Tak perlu pelajaran tentang empati di sini, masing-masing dari kami telah punya. Di dekat pos yang barusan kuhampiri terjadi ribut adu mulut antara beberapa orang yang senasib denganku dengan petugas SAR. Refleks kutarik tangan Sahar dan bergegas menuju ke tempat keributan. Hanya sekitar 5 meter dari tempatku sebelumnya.

”Kami butuh kepastian Pak, tidak harus seperti ini kan Pak? Pencarian terus diulur dengan alasan perundingan petugas, belum ada perintah dari atasan, cuaca buruk. Apa lagi Pak? Apa bapak-bapak bisa menjamin keluraga kami masih ada? Hidup atau mati? Kami di sini punya harapan Pak. Bapak-bapak punya perlatan untuk menyelamatkan diri jika berda di tengah laut nanti. Tapi keluarga kami pak? Mereka tidak punya apa-apa di tengah laut. Bagi kami, tahu mereka selamat dan hidup itu mukjizat. Tapi jika tahu mereka mati tetapi tetap ditemukan itu pun anugerah Pak. Tolong jangan membuat kami gelap mata Pak, jika kami memang harus ikut mencari ke tengah laut, kami bersedia.” Ucapan salah seorang Bapak diiringi anggukan orang-oarang yang ada di sekitar itu.

“Tapi...” seorang petugas SAR tidak sampai melanjutkan kata-katanya karena terlanjur dipotong oleh seorang lagi yang berdiri di sebelah bapak yang bicara pertama.

“Tapi apa lagi Pak? Kekhawatiran kami telah memuncak. Selama empat hari ini terkatung-katung di sini hanya sekedar mendengar alasan dari petugas.” Suaranya lebih terdengar marah.

Gendang telingaku mengabaikan suara-suara mereka. Aku diam. Percuma juga ikut bersuara. Kutelungkupkan kedua telapak tanganku di wajah. Entahlah, hatiku kebas. Tak mengerti bagaimana menyeimbangkan rasa kehilangan yang mendalam ini dengan toleransi petugas dan cuaca. Aku terus diam sampai kudengar pemuda itu sesenggukan. Aku membawanya duduk di depan pos penjagaan.

“Isya, saya lelah” ucapnya lirih. Matanya tak lagi kering, air mata yang keluar tak dihiraukannya. “Adik saya satu-satunya kenapa harus ikut menjadi korban yang hilang dalam kecelakaan kapal ini. Yang paling saya khawatirkan adalah dia tidak bisa berenang. Dia tidak bisa menyelamatkan dirinya, Isya.” Aku tahu perasaan Sahar saat ini.

Tak beda dengannya. Hal yang sama pun kurasakan. Pahlawanku pun bernasib sama dengan adik Sahar. Tapi aku lebih optimis bahwa ayah akan selamat. Karena itu harapanku. Tapi aku hanya bisa berdoa saat ini, aku tak mungkin ikut mencari ke tengah lautan.pasti aku dilarang karena aku perempuan. Ayah kebetulan dinas di Sulawesi, beliau pulang untuk menghadiri acara penyerahan penghargaan Mahasiswa Berprestasi yang kuraih di kampusku di Jakarta. Saat itu satu minggu lagi, namun jika dihitung dari hari ini berrati tinggal tiga hari lagi. Tetapi kabar tentang ayah belum juga terdengar. Kusesali kenapa waktu itu ayah tidak naik pesawat saja? Ah tapi jika bencana mau melanda tak peduli kita berada di mana, di lubang semut pun pasti akan terkena.

Handphoneku berdering. Telpon dari adikku.

”Kak Isya, ibu pingsan-pingsan terus. Kakak pulang saja ya naik pesawat hari ini.” kata-kata Nuril adik laki-laki pertamaku membuatku bertambah kalut.

”Ril, kamu jaga ibu dulu ya, minta tolong sama Bibi dulu. Kakak bertahan satu hari lagi sampai besok. Kakak optimis kalau ayah akan selamat dari kecelakaan itu. Kamu yang sabar ya.” ucapku.

”Tapi bagaimana keadaan kakak?” tanya adikku itu.

”Kakak baik., kau jaga ibu sama Vita adikmu ya.” Telpon ditutup.

Akhirnya petugas dan beberapa kelurga yang menanti terjun untuk mencari korban, termasuk Sahar juga ikut dalam rombongan itu. Aku kembali dulu ke tempat menginapku membereskan pakaianku. Aku harus siap dengan kemungkinan yang akan terjadi. Ibu di rumah juga butuh kehadiranku, aku tak bisa seperti ini terus. Kalau hasilnya nanti nihil aku pun tetap harus melanjutkan hidupku tanpa ayah. Orang yang mendidikku dengan caranya. Meneguhkan setiap langkahku dengan nasehatnya. Tapi Tuhan, aku mohon, aku masih ingin mencium tangannya dan menyiapkan makanan untuknya. Jangan Kau ambil dia dariku.

Sore hari sekitar pukul 15.00 WIT. Aku kembali ke pelabuhan dekat pos penjagaan. Duduk, dengan memeluk tas ranselku. Orang bertambah banyak. Salah seorang petugas mengabarkan ada dua korban meninggal di temukan kembali dan satu orang selamat namun kondisinya sangat kritis. Sekitar setengah jam lagi petugas dan orang-orang yang sedang mencari akan tiba di pelabuhan. Aku miris mendengar pengumuman petugas itu. Satu orang selamat, tapi kondisinya kritis. Apa dia mampu bertahan lagi selama setengah jam? Jangan-jangan itu ayah? Tuhan, kutahu Kau dengar doaku, selamatkan ayah.

Tepat ketika tim SAR gabungan sampai di pelabuhan, bau mayat kembali menyeruak. Semua orang yang menanti tak sabar untuk tahu identitas ketiga korban yang ditemukan itu. Dua korban meningal langsung bisa dikenali dan kebetulan keluarganya ada di sana. Harapanku tinggal pada satu korban hidup. Aku berusaha menyeruak di kerumunan orang yang sesak. Kekuatanku terasa bertambah. Akhirnya aku berada tepat di depan korban selamat itu. Selang oksigen di hidungnya, dia tak sadarkan diri. Air mataku menetes. Kurasakan getar hidup baru saat ini. Kurasakan dunia hanya milikku satu-satunya.

”Ayah...” kuraih tandu yang sedang dibawa petugas. Kupeluk tubuh ayahku yang tak berdaya saat ini. Tuhan, kupercaya kuasa-Mu. Kau mendengar doa-doaku. Sahar yang melihatku tersenyum lega, meski kutahu sedihnya pasti akn masih terus berbekas karena adiknya belum ditemukan.

Aku mengikuti petugas masuk ke ambulance yang akan membawaku ke rumah sakit. Langsung kukabari Nuril dan Ibu. Aku katakan pada mereka bahwa aku kan pulang kembali bersama ayah setelah ayah pulih. Tak lagi kuhiraukan penghargaan Mahasiswa Berprestasi. Tak lagi kupikirkan bahwa aku akan disalami oleh Rektor. Yang paling penting sekarang adalah ayah.

Ayah, kau akan melihat Srikandimu ini tegar kembali menyaksikan embun pagi. Asa gadismu ini takkan pernah luntur seperti semangat Kartini. Kita akan bersama lagi berceloteh tentang mimpi. Merangkul Ibu, Nuril, dan Vita. Ayah, syukur kupanjatkan pada Tuhan yang telah banyak memberiku nikmat dan pelajaran berharga dengan perantaramu. Ayah, tak sabar kunanti embun esok pagi bersamamu.

NB:

Cerita ini kupersembahkan bagi setiap ayah yang senantiasa menjadi pahlawan bagi putra-putrinya.