Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Selasa, 15 Desember 2009

‘SKENARIO’ POLITIK DAN PROSES PENGEKANGAN DEMOKRASI (Sebuah Pesan untuk Para Wakil)

Penguasa...
Jangan biarkan kami gagu
Dengan polahmu yang terlihat lugu
Jangan kau tipu rakyatmu
Kami bukan hambamu

Hari selasa tepatnya tanggal 10 November 2009 yang telah lalu adalah sebuah peristiwa penting bangsa Indonesia dan seluruh komponennya. Momentum bersejarah yang seharusnya dihayati sebagai sebuah refleksi pengabdian dan pengorbanan generasi penerus justru disuguhi dengan drama seri wakil rakyat yang hingga saat ini belum rampung. Kisah (baca: kasus) Cicak vs Buaya tak ubahnya sinetron strip in yang skenarionya dibuat semenarik mungkin untuk menaikkan rating penonton. Penyidikan kasus justru membuat kontoversi yang semakin mengkutub di berbagai kalangan. Seolah-olah persoalan yang tidak jelas arahnya adalah sebuah jembatan emas bagi upaya menaikkan popularitas. Entah apa yang akan dikatakan jika para pendahulu yang memperjuangkan kemerdekaan melihat polah generasi penerusnya yang sedemikian pongah. Tidak tahu si- (apa) yang benar dan si- (apa) yang salah. Politik menjadi ajang atau kontes menjadi bintang (sudah sukar dibedakan mana fakta, makna fiksi).

Politik sedianya memang telah menjadi sebuah wacana umum di berbagai level dalam masyarakat. Pengertian ’umum’ seharusnya memicu kesadaran yang semakin tinggi akan esensi politik itu sendiri. Politik bukan milik satu gelintir orang atau sekelompok golongan. Politik adalah sebuah kepentingan untuk banyak nyawa. Profesor Miriam Budiarjo menyatakan bahwa politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals), saya artikan disini bahwa private goals juga termasuk kepentingan golongan tertentu. Seyogyanya dipahami bahwa dalam kancah perpolitikan, bukan hanya idealisme yang berperan tapi juga sensitifitas sosial yang nantinya akan membawa perubahan tidak sekedar sebagai sebuah statement of intent saja tetapi sebuah real action. Faktanya, upaya-upaya untuk sampai pada real action dipengaruhi oleh beberapa aspek yang terkadang membuat tujuan politik tersebut menjadi tidak murni lagi. Aspek yang berpengaruh tersebut bisa dimulai dari bagaimana suatu tampuk kekuasaan diperoleh. Apakah murni sebagai sebuah pengabdian? Atau pengabdian bersyarat? Atau juga realisasi hasrat sebagian orang yang haus kekuasaan demi sebuah eksistensi diri.

Jika kekuasaan diawali dengan tujuan pengabdian bersyarat dan sekedar realisasi hasrat haus kuasa maka jangan berharap kondisi yang lebih baik akan dicapai. Tidak perlu berteori bahwa Indonesia adalah negara demokratis dimana setiap orang berhak untuk bersuara dan hak tersebut diatur oleh UUD 1945. Ketika pengejaran kekuasaan telah dilandasi kepentingan segelintir orang maka yang terjadi adalah bagaimana membuat sebuah skenario politik yang paling indah dan dapat menaikkan pamor calon pemimpin sehingga namanya dapat tercantum sebagai ’PEMIMPIN’. Dimana esensi kemerdekaan berpendapat di negara demokrasi? Praktek nepotisme kelak akan terjadi lagi karena mengedepankan kepentingan segelintir individu atau kelompok. Kepemimpinan tak ubahnya seperti kekuasaan dinasti yang tak terpatahkan. Pembentukan opini publik tentang si-(apa) seperti sebuah retorika agenda setting yang mau tidak mau publik pada saatnya akan menganggap hal itu penting. Atau tak ubahnya spiral of silence yang mengkungkung suara dan kebebasan.

Menengok kondisi Bangsa yang sudah sedemikian carut marut di tengah slogan kemerdekaannya ini, sudah sepatutnya masing-masing individu mengevaluasi dan mengkoreksi diri. Kemerdekaan bukan sekedar pembacaan teks proklamasi atau peringatan hari besar melainkan bagaimana setiap individu berhak untuk memproklamirkan dirinya sebagai individu yang merdeka. Lepas dari politic of interest apapun. Kemerdekaan termasuk juga hak untuk menyuarakan pendapat dalam koridor keadilan tanpa disudutkan oleh kepentingan tertentu. Merdeka adalah persoalan eksistensi, salah satunya adalah eksistensi untuk berpendapat. Seharusnya tidak ada lagi skenario-skenario politik yang menyebabkan bangsa ini kehilangan jati diri demokrasi.

Semoga kesadaran akan eksistensi dalam koridor keadilan akan membawa masing-masing dari kita ke arah pencapaian cita-cita pencerdasan. Bukan pembodohan. Politik bukan sarana mencari popularitas apalagi jembatan untuk mencapai tujuan segelintir golongan. Harus ada cita-cita dan tujuan mulia untuk mewujudkan kepentingan bersama. Semoga cita-cita dan tujuan mulia tersebut tidak hilang dari cara pikir, nalar, dan tindakan para elite politik kita.

Jatuh Cinta pada Hujan

Aku mengenalmu seperti aku mengenal hujan, tanpa kesengajaan. Sesaat seperti gerimis saja. Gerimis saja. Tapi sepanjang kujejak jalan, kurasakan bahwa kau tidak hanya gerimis. Kau hujan, kau deras. Kau mengajakku menikmati suatu waktu yang menjadi momentum. Tentang penghargaan, tentang senyum dan ketulusan. Aku tak sering melihat rupamu, tak sesering hujan deras di kota ini. Aku hanya tahu kau selalu ada saat kubutuhkan, kau menentramkan dan memberi kedamaian. Aku tergelak saat kau sarankanku tersenyum, aku menangis saat kau ajariku merenung. Kau istimewa di hatiku, seistimewa suara hujan saat aku merindukan tidur yang nyenyak. Bolehkah aku mengucapkan sesuatu untukmu? Aku menyayangimu dengan ketiadaan. Aku menyayangimu dengan kesederhanaan. Itulah, kukatakan kau istimewa, sangat istimewa. Semangatmu membara tapi meneduhkan setiap hati. Harapanmu tinggi namun merendahkan ambisi. Sekali lagi, aku menyayangimu.
Sekali waktu, kau mengajakku berfantasi tentang masa depan, kau tanyakan padaku. Apa yang ingin kulihat suatu saat nanti? Kujawab, aku ingin melihat kupu-kupu. Kau tertawa, mengapa harus kupu-kupu, katamu. Aku suka kupu-kupu, aku suka keindahannya. Sepertimu, kau indah. Aku ingin melihat kupu-kupu yang indah itu bersamamu. Kau tertawa lagi, mengapa kau suka keindahan, tanyamu lagi. Keindahan itu menenteramkan. Sepertimu, mendamaikan. Kau diam dan memandangku. Aku menunduk, kau bilang padaku: jagalah dirimu, berproseslah seperti kupu-kupu itu. Dan kau tersenyum. Lalu fantasi masa depan itu berubah menjadi alur tak terencana dalam perbincangan kita. Sampai akhirnya kau tanyakan resiprokal pertanyaan pertamamu, apa yang tidak ingin kau temui suatu saat nanti? Aku menggeleng cepat. Tak ada yang ingin kujawab dari pertanyaanmu. Kau tak boleh tahu jawabannya.
Berangsur, kau memang deras. Bukan gerimis. Hadirmu memberi suasana yang sama sekali berbeda. Aku tahu itu. Kau bilang, jika kita mencintai seseorang maka biarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri. Jika tidak, sesungguhnya kita hanya akan melihat pantulan diri kita pada dirinya. Tidak akan ada komplemen, hanya duplikat. Itulah yang paling kuhormati darimu,kau tak mengikat. Suatu saat, aku ingin mengatakan bahwa aku tak sekedar menyayangimu tapi aku menghormatimu.
Suatu pagi, sapaanmu begitu hangat.
Hai, kau cantik pagi ini, sapamu.
Terima kasih, dengan wajah bersemu merah kuucapkan.

Kau menarik tanganku. Kuikuti dirimu. Aku terharu, kau memang istimewa. Kau istimewa dengan kesederhanaan dan kerendahatianmu. Kau memberiku satu bingkai ornamen kupu-kupu. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Tak pula air mata menetes dari mataku. Aku juga tak tersenyum memandangmu, aku tak percaya. Saat ini jika bisa kukatakan, maka akan kutakan tentang jawabanku terhadap pertanyaanmu tempo hari. Hal apa yang paling tidak ingin kau temui suatu saat nanti? Pertanyaanmu waktu itu. Aku akan menjawab, hal yang tidak ingin kutemui adalah kehilanganmu. Kehilangan ketulusanmu. Tapi aku belum bisa mengungkapkannya, aku masih terpana dengan sebingkai ornamen kupu-kupu itu.
Aku masih tercengang dengan pemberianmu. Aku tahu, kau tak mudah mendapatkannya. Kau harus mengorbankan beberapa keinginanmu untuk dapat membelikanku benda itu.
Mengapa kau memberiku ini? Tanyaku.
Bukankah itu yang ingin kau lihat di masa depan? Katamu.
Mengapa kau memberikannya sekarang, aku tahu kau punya keperluan lain, lanjutku.
Sayang, apa kau tahu? Katamu. Masa depan itu tidak dinanti tapi dijalani. Bahkan satu detik yang akan datang setelah ini adalah sebuah masa depan. Bagiku, kau adalah masa depanku. Hal yang paling ingin kulihat di masa depan adalah kebahagiaanmu. Oleh karena itu aku ingin mulai menjalani masa depan itu dari setiap nafas yang kuhirup setiap waktu untuk membahagiakanmu. Jika kupu-kupu adalah salah satu hal yang bisa membahagiakanmu, mengapa harus aku tunda?


Baru setelah kudengar penuturanmu, air mataku leleh. Kau memang istimewa. Istimewa dengan ketulusanmu. Biarkan aku ucapkan terima kasih dan sedikit pujian untukmu, untuk semua ini. Untuk kasih sayangmu, dan untuk tingkahmu yang begitu menghormatiku. Kau adalah hujan, bukan gerimis. Kau deras.