Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Senin, 23 Mei 2011

50 tweet #IndonesiaProduktif Terbaik yang Ditampilkan di Koran KOMPAS 19 Mei 2011

1. @abdulazis80: Tips agar #IndonesiaProduktif : 12. Kurangi mengeluh dan selalu menyalahkan, mulailah memperbaiki sesuai kemampuan @AksiSemangat

2. @abieyugos: @AksiSemangat tingkatkan kreatifitas anak bangsa salah satu jalan memperkecil laju pengangguran#indonesiaproduktif

3. @algagla: #IndonesiaProduktif: Memanfaatkan Peneliti muda di Indonesia. Mereka bisa mengharumkan nama Indonesia :) @AksiSemangat

4. @Alif_Gusti: Jangan hanya dengan ucapan saja kalau ingin membangun negri yang indah, mari kita buktikan dngan tindakan! #IndonesiaProduktif @AksiSemangat

5. @allmustz: @AksiSemangat ciptakan lapangan kerja, pupuk semangat manfaatkan semua kemampuan demi #IndonesiaProduktif

6. @amandaaza: Buat program utk anak dpt mandiri..mebuat sesuatu yg kreatif & inovatif di SD dikenalkan kewirausahaan #IndonesiaProduktif @AksiSemangat

7. @andre_sinaga: @AksiSemangat : Bekerja sesuai Bakat+Talenta yang dimiliki #IndonesiaProduktif

8. @ariefoks: @AksiSemangat supremasi hukum yang jelas, politik yang bersih, tumbuh dan berkembangnya pengusaha, rakyat sejahtera #IndonesiaProduktif

9. @Arumtiyas: @AksiSemangat mulai dr diri sndiri mulai dr hal kecil untuk mengembalikan Indonesia mjd negri yg patut dibanggakan..!! #IndonesiaProduktif

10. @aslankds: @AksiSemangat benahi mental, benahi semangat, benahi kreatifitas kita agar selalu maju dlm menghadapi tantangan global #IndonesiaProduktif

11. @biyl: @AksiSemangat Sumber daya manusia yg cerdas. Sumber alam melimpah. ditambah kreatifitas, kemauan, tanggung jawab menjadi #IndonesiaProduktif

12. @bojanerick: @AksiSemangat perbaikan Sumber Daya Manusia baik secara kualitas skill maupun mental dan moral agar #IndonesiaProduktif

13. @bondanrajasya: #IndonesiaProduktif jika anak-anak yang kurang mampu bisa sekolah dan paling tidak sudah punya cuku ilmu ;) @AksiSemangat

14. @DefrisonTanjung: Jadilah #IndonesiaProduktif dengan perbanyak aksi positif, kurangi reaksi negatif dan lakukan dengan @AksiSemangat

15. @dementorious: @AksiSemangat jangan bertanya Apa yg di berikan negara kepada kita. bertanyalah apa yg telah kita berikan kepada negara #IndonesiaProduktif\

16. @Efria_Septi179: #Indonesiaproduktif berarti @AksiSemangat ku membuat diriku menjadi berarti bagi bangsaku. Sehingga Indonesia juga dapat berarti bagi dunia

17. @Emce_nuSexy: @AksiSemangat #IndonesiaProduktif lahir dari generasi yang sehat dan cerdas. Tingkatkan taraf hidup anak Indonasia dan minat baca mereka.

18. @ErweinW: Kreasi, inovasi, dan berani beda! Indonesia sebagai trendsetter di masa mendatang. #IndonesiaProduktif @AksiSemangat

19. @finosaurus: @aksisemangat Industri kreatif di Indonesia semakin berkembang, jumlah entrepreneur jd 10 % tahun 2020 #IndonesiaProduktif

20. @fitridwihak: @AksiSemangat rakyat dan pejabat saling memberi semangat utk satu tujuan yg sehat #IndonesiaProduktif

21. @gtriastama: @AksiSemangat Be positive, be confident, and action! #IndonesiaProduktif

22. @GwnSharalda: @AksiSemangat #twitharapan sebaiknya indonesia bukan hanya menjadi konsumen tetapi juga sebagai produsen di dunia TIK #indonesiaProduktif

23. @herzvan: @AksiSemangat semoga para produser dapat menghasilkan film yg berkualitas. #IndonesiaProduktif

24. @inaervina: @aksisemangat #IndonesiaProduktif memberikan pelatihan skill serta memanfaatkan SDM di indonesia, supaya bisa menjadi SDM yg mandiri.

25. @jason_statham_i: Kontribusi, mnanamkan budaya displin. Bkrja dgn profesional, dan mngutamakn tanggung jwb dbanding hak. @AksiSemangat #IndonesiaProduktif

26. @Jimmy1327: Produktif dimulai dari semangat dan kerja keras pantang menyerah serta kejujuran #IndonesiaProduktif @AksiSemangat

27. @leonisecret: @aksisemangat sadar kesehatan adl slh 1 syarat #IndonesiaProduktif ,krn fisik&rohani yg sehat &kuat mendukung peningkatan produktivitas kerja

28. @luthfiandrie: Membangun indonesia dengan pikiran dan kerja keras lebih bermutu daripada hanya sebuah statement semata. @AksiSemangat #IndonesiaProduktif

29. @Lynda_kerabat: #IndonesiaProduktif Hargai karya anak bangsa, jangan hanya mengagumi hasil dari luar negeri @AksiSemangat

30. @moavan: Jumlah UMKM yg besar sbg usaha yg tepat utk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia @AksiSemangat #IndonesiaProduktif

31. @narariadyy: ayo indonesia pasti bisa mengurangi barang barang impor dan tingkatkan kualitas barang barang ekspor! @aksisemangat

32. @novyavenda: @aksisemangat #IndonesiaProduktif memberdayagunakan masyarakat agar sadar lingkungan dan kurangi sampah dgn re-cycle mnjadi produk baru

33. @NurulZamilah: Rawatlah hutan karna hutan mrupakan paru" dunia,Selamatkan Penghijauan berarti 'SAVE OUR HEALTH' #IndonesiaProduktif @AksiSemangat

34. @rangrangitaa: @AksiSemangat semakin banyak anak berprestasi tingkat dunia yang di dukung selalu oleh pemerintah #IndonesiaProduktif

35. @rappiDroid: @AksiSemangat #IndonesiaProduktif adalah Pemuda yang bisa berkreasi bukan hanya di mulut, melainkan tindakan!

36. @RedZzdeLady: @Aksisemangat Masa depan itu dimulainya dari sekarang. jangan tunggu besok utk berkarya, lakukan sekarang. #IndonesiaProduktif

37. @RickyHutadjulu: dampak dr produktivitas petani: pendidikan dan sarana kesehatan yg memadai dan pengurangan urbanisasi #IndonesiaProduktif @AksiSemangat

38. @Rininta_rin: Ciptakan lapangan kerja merata. Berdayakan rakyat di pelosok. Sejahterakan rakyat #IndonesiaProduktif @AksiSemangat

39. @ronaldku: Bangkitkan kembali swasembada beras,tingkatkan produksi beras,stop impor,beri subsidi pd petani melalui KCK#IndonesiaProduktif @AksiSemangat

40. @SahrulSandi: ketika pendidikan brkualits & merata maka lahirlah SDM yg berkualitas tinggi maka program #IndonesiaProduktif terealisasikan @AksiSemangat

41. @Sakalakaradtih: @AksiSemangat lengkapi segala fasilitas pendidikan, agar kita yang muda bisa terus berprestasi untuk membanggakan negeri #IndonesiaProduktif

42. @sanitawithoutsi: Jangan selalu menuntut, tetapi Apa yang sudah kita berikan untuk Indonesia #IndonesiaProduktif @AksiSemangat

43. @ssujono: @AksiSemangat #IndonesiaProduktif it Indonesia yang membuka akses terhadap keadilan pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kesehatan dgn luas

44. @thaathud: @AksiSemangat budayakan jiwa wirausaha dikalangan pemuda/di Indonesia!jgn cuma nyari,tp bisa mnciptakan lapangan kerja #IndonesiaProduktif

45. @turasih90: @AksiSemangat #Indonesia Produktif dg meningkatkan kualitas pendidikan, mempersiapkan sumberdaya yg growing up dan proaktif.

46. @vaaanyaaa: @AksiSemangat Mulai segala sesuatu dr diri sendiri. Jgn terbiasa dgn sikap mencontoh, tapi biasakan sikap ingin dicontoh #IndonesiaProduktif

47. @veaaveoo: #IndonesiaProduktif adalah saat ada sinergis antara rakyat dan wakil rakyat @AksiSemangat

48. @vitriDewi: @AksiSemangat #Indonesiaproduktif harus memiliki kreatifitas,loyalitas,inovasi dan disiplin kerja yg tinggi.pemerintahpun harus mendukung

49. @vonnykuna: @AksiSemangat setiap orang sadar akan fungsinya dengan melakukan hal kecil yg membawa dampak yg besar bagi banyak orang. #IndonesiaProduktif

50. @yoghayalestio: #IndonesiaProduktif generasi muda perlu belajar untuk bersaing di era globalisasi bukan hanya terhanyut dalam modernisasi @AksiSemangat

Dongeng Sebelum Mati

Aku sendu aroma melati,
tertatih dalam jingga warna sedih
merunduk pada pilu yang mengantarku ingin segera mati

Hai, itukah kau di sana?
Aku menunggumu sedari tadi
Aku tak sabar melihat rupa wajahmu,
hatiku terburu-buru ingin melihat semewah apa jubahmu

Aku sendu aroma melati
yang membuatku ingin segera mati

Kenapa kau lama sekali?
kerongkongku telah begitu sakit, dan aku makin sakit dengan tangisan mereka

Kenapa kau lama sekali?

Aku sendu aroma melati
membuatku ingin cepat mati

Tapi langkahmu enggan mendekatku
aku juga tak mendapati warna jubahmu,
akankah hitam kelam seperti yang mereka katakan?

Aku sendu aroma melati,
dan kau cepatlah datang
aku ingin cepat mati

Bogor, 18 Mei 2011. sebuah perbincangan

Minggu, 22 Mei 2011

AFTER WEDNESDAY

Belum lewat jam makan siang saat kuberanjak dari kediamanmu. Beberapa jam habiskan waktu bersama kemudian kembali berpisah, tapi biarlah, memang sebaiknya kita bertemu sesekali saja. Pertemuan itu manis, tapi kita tahu bahwa yang manispun jika terlalu sering bisa membuat kita batuk. Ada kalanya jiwa punya kepentingan untuk menelusuri ruang waktu sendiri, tanpa pertemuan. Jadi, aturan mainnya: Bertemu, berpisah, sejenak lupa, mengingat, rindu, kemudian bertemu kembali dengan suasana yang berbeda. Begitulah, aku seperti menemukan pola denganmu.

Aku selalu terlihat bodoh menghadapimu, merengek seperti anak kecil, dan selalu saja ritual kita adalah saling mengejek.

“Aku pergi dulu” kataku disusul dengan dua kecupan di pipi kanan dan kiri.

“Hati-hati, kamu jangan lupa makan siang” suaramu terdengar tanpa kulihat bagaimana caramu mengucapkannya. Aku berlalu, melenggang tanpa beban.

Aku ingat dialog itu, sedikit dialog yang muncul saat kita bertemu, kecuali ketika sedang begitu cerewet dan itu berarti kau sedang gundah. Kau kadang tak peduli apakah aku suka mendengarnya atau tidak, tapi aku selalu suka jika kau mengalirkan pembicaraanmu. Aku suka senyummu dan aku suka caramu memegang gelas, entah kenapa.

Cinta itu antara bertengkar dan diam, di posisi antara itu kah kita sekarang? Memilih untuk sekedar tersenyum simpul tanpa sepatah kata pun, mendekati diam. Aku tahu mencintaimu tak perlu banyak kata, tak perlu banyak tanya. Kau sudah cukup memberiku kebebasan untukku memilih apa yang aku ingin, kau mendengarkan setiap ocehanku, kau membiarkan diri ini untuk mencari setiap makna di kedalaman matamu.

“Jangan telat makan” aku hapal simpul bibirmu ketika kau ucapkan itu, meski pun rupamu tak nampak di hadapku. Hemm, setiap kali kudengar itu, aku akan sangat tersanjung dan berharap bahwa hanya aku lah yang mendapat perhatikan seperti itu. Ah sial, itu hanyalah arogansiku semata. Kau pasti tertawa saat mengetahuinya.
Setiap kali aku berhasil untuk mengenyahkanmu dari perasaan yang merongrong kesadaranku, maka seketika itu juga aku lari dari apa yang sedang dihadapi. Aku pergi untuk mengetahui sebenarnya cinta seperti apa yang kucari. Adakah yang lemah lembut dan selalu hadir dengan kesabaran? Atau sepertimu yang baru-baru ini datang dengan sapaan laksana teman. Sebelumnya kita akan saling berteriak dan kau selalu saja mengejekku. Aku selalu salah di matamu, tapi aku sangat suka ketika kau salahkan. Mengapa? Sebab ketika tiba-tiba kau memujiku, maka hal itu menjadi sangat istimewa. Berbeda jika aku mendapat pujianmu setiap hari, semua akan hambar bagaimana adanya.

Aku, boleh kau katakan berlebihan jika memang bagimu ini adalah sesuatu yang tidak seharusnya. Aku ingat semua detail pertemuan kita, dari awal hingga yang terakhir. Aku setia mengunjungi setiap jejak yang kau tinggalkan lewat tulisan-tulisanmu. Entah di diary online atau pun di situs jejaring sosial. Dari ratusan catatan yang aku bikin, kamu lah inspirasi terbesar. Di buku harian pun namamu yang paling banyak tercantum. Mengapa seperti itu? Karena mengagumimu, mencintaimu, adalah kesempatan yang mewah. Yang kudapatkan sepanjang waktu, meskipun tak pernah kamu tahu. Dan walau bagaimana pun, kamu tetap menjadi mimpiku, yang tersimpan di lembaran-lembaran hidupku. Mencintaimu tak bisa kulakukan terang-terangan, cukup bagiku tahu bahwa kamu baik-baik saja. Cukup bagiku tahu bahwa kamu cukup istirahat dan matamu tidak bengkak.

“Sayang”, itu adalah kata yang langka sekali kau ucapkan untukku. Aku tak peduli. Aku justru menyukainya. Menjadi suatu surprise yang sangat berharga, senyumku terkembang luar biasa saat kau mengucapkannya untukku sekali waktu. Meski entah apa maksudnya, aku suka. Itu kah jatuh cinta? Haha, kau juga jangan tertawa jika mengetahuinya, biarkan aku mentertawakan diriku sendiri.

Kamu masih satu, masih yang aku kagumi sejak rabu itu. Kau ingat rabu itu? Rabu yang mengawali kedekatan kita, rabu yang menciptakan rabu selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya. Aku mengingat dan mencatat perdebatan, pujian, dan cercaan yang kadang muncul. Aku ingat paras gadis-gadismu, pujian-pujianmu untuk mereka. Berapa pun banyaknya jumlah mereka, tapi aku tetap saja aku yang mencintaimu, yang tak bisa mengenyahkanmu sejak rabu itu meski hampir tiga tahun berlalu.

Minggu, 15 Mei 2011

Menulis Cinta

Sayang, sekarang sudah terlalu malam untuk kita berdiskusi. Biarkan badan kita rebah dan menikmati selimut malam. Besok ada harapan yang harus kita songsong dengan semangat, mari rehat dan siapkan energi untuk hari esok. Diri ini menghendaki cinta yang tak pernah terputus, bahkan ketika kita tidur.

Sayang, berhari-hari kita jaga kemesraan, menikmati kebersamaan yang berjarak ruang. Berhari-hari pula tak pupus kata cinta menghiasi perjalanan kita.



Sayang, bahasa cinta itu milik kita, milik semua orang yang mencinta. Kita tidak pernah tahu parafrase, majas, maupun diksinya. Karena bahasa cinta terlampau universal. Yang jelas, bahasa cinta selalu menjadi obat ketika kita sakit, pelepas dahaga ketika kita haus, dan pembawa senyum ketika kita sedih. Bahasa cinta adalah bahasa yang paling alami dalam hidup ini. Bayi pun ketika baru lahir telah tahu, sebuah bahasa cinta yang terwujud melalui tangis sebagai kabar gembira untuk ibunda dan keluarganya.

Rabu, 04 Mei 2011

A Touch, A Cloud

Hal yang paling syahdu adalah saat kita merasakan bahwa ruh dan jiwa menyatu dengan semesta. Menjejakkan kaki di atas tanah yang baru dicumbui hujan, membaui aromanya, kemudian mencecap kepuasan batin. Lalu, mendongaklah kepala kita memandangi langit malam yang menjanjikan kesempatan pada mentari untuk muncul esok hari. Banyak tebaran bintang membentuk rasi biduk maupun pari, memberi petunjuk pada penggarap ladang untuk melanjutkan aktivitasnya seusai subuh esok pagi.

Pagi hari, ketika kabut mampu kau sentuh, kau akan merasakan bahwa Tuhan begitu dekat.

CERACAU

Apa saja yang bisa kamu lakukan sekarang, lakukanlah. Keberhasilan itu akan terwujud dengan ketekunan. Sesekali kejenuhan itu mendatangi dan menggerogoti semangat hidup, namun ketika kita bisa menaklukkannya, maka jenuh itu akan tunduk dan bosan menyambangi. Bukankah begitu hidup?

Dieng, 14 April 2011 saat udara (mungkin) di bawah 15 0 C.

“Saat jenuh menghampiri, apa yang akan kamu lakukan? Menyerah dengan rasa? Kemudian jauh tertinggal di belakang?”

“Untuk apa rasa sakit yang selama ini mengiringi perjalanan hingga sampai di tempat ini? Bukankah tujuanmu adalah kemenangan menuju kebijaksanaan?”
“Bergeraklah, karena dengan bergerak kau akan tahu bahwa waktu dan ilmu itu sama-sama berharga.”

Kita tidak pernah menentukan apa yang terjadi, tapi kita menentukan apa yang seharusnya terjadi. Sewaktu-waktu saat jenuh, ingatlah tujuanmu menjadi ‘guru’ untuk mengamalkan ilmumu. Ingat rencana-rencana besarmu. BERGERAKLAH!!

Selasa, 22 Maret 2011

SENIMAN SAINS: A SIMPLE SHARE WITH ChiMotZ

Hari sudah menjelang dini, barangkali fajar sedang berdandan dan bersiap untuk menampakkan diri beberapa jam lagi. Seperti biasanya, saya masih terjaga menikmati detail insomnia yang tanpa disadari menjadi kebiasaan. Dan, rasa-rasanya membuka facebook adalah menjadi pilihan yang tepat, sekedar untuk melihat siapa yang masih bisa diajak ‘berbicara’, membaca komentar di notes, serta menclok sana-sini mengetahui apa yag ada di pikiran orang-orang yang masuk dalam jalinan teman.

Dan tanpa disengaja, saya bertemu dengan satu manusia ini di kotak chat facebook. ChiMotz Gilbert Rockn’tolz, agak ribet juga mengeja namanya, tapi familiarnya ChiMotz. Musisi yang pernah saya lihat penampilannya di acara RASSA (Ruang Apresiasi Seni dan Sastra) edisi I (entah, saya lupa tepatnya kapan).


Barangkali hanya tulisan sederhana yang bisa saya tuangkan disini, tapi beginilah....

Seni itu universal, bisa ditekuni, diapresiasi, dan dinikmati oleh siapa saja. Pelaku-pelaku seni layaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengabdikan diri untuk negara. Pelaku seni juga mengabdikan diri dan pemikirannya untuk seni. Saya sendiri hanyanyalah seorang penikmat yang bagi saya seni itu menghibur, menenangkan dan membuat saya merasakan. Seni itu soal rasa bagi saya. Suatu kali saya pernah berbincang dengan seorang sahabat yang pandai menarikan jari-jarinya di antara senar gitar. Saya mengagumi jari-jari lincah itu, dan.... lagi-lagi saya hanya bisa menikmatinya. Berkali-kali latihan tetap saja kaku. Salah satu direktori di komputer saya penuh dengan file musik dan setiap saat saya bekerja (menulis, membaca, bahkan saat duduk-duduk saja), musik menjadi teman setia yang kehadirannya saya wajibkan. Tapi lagi-lagi saya hanya bisa menikmatinya, sedikit saja saya mencoba mendendangkan atau menyanyikan lagu, pasti muncul komentar: “Asih, kamu harus membedakan mana bernyanyi dan mana berdebat. Suara kamu lebih cocok untuk menjadi orator atau pembicara.” Itu adalah salah satu komentar dari sahabat saya yang selalu saya ingat. Tapi bagaimana pun, saya menyukai musik, menikmati seni.

Dan obrolan ringan dengan ChiMotz, menuntun saya untuk menuliskan hal ini. Seniman, siapa pun dia, akan tergerak untuk menciptakan karya-karya yang biasanya berasal dari hasil kontemplasi atas fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Musisi, diberikan kepekaan terhadap nada oleh sebab itu penciptaannya pun ada nada-nada yang tersusun apik. ChiMotz, begitu panggilannya, menjadikan musik sebagai media untuk menyampaikan apa pun.


“Hemmm, love music love life, meskipun saya cuma bisa jadi penikmat” jari saya mengetikkan kata-kata itu di kotak chatt.


“Justru anda beruntung bisa menjadi penikmat, pelaku seni tidak bisa sepenuhnya menikmati seni” katanya.


“Kira-kira kenapa bisa seperti itu?” saya tergerak untuk menanyakan alasannya.

“karena otak pelaku selalu terganggu oleh keinginan menganalisa ketika ia mendengar, melihat, merasakan, seni-seni yang baru. Itu yang saya rasakan” ChiMotz menjawab.

Tiba-tiba saya jadi ingat ciri-ciri ilmuwan, seorang ilmuwan adalah dia yang selalu gelisah hatinya, terganggu pikirannya ketika menemukan realitas fenomena. Hummm, nampaknya ada persamaan antara seniman dan ilmuwan. Sepertinya bisa jadi resiprositas, seniman adalah ilmuwan, ilmuwan adalah seniman.

“Seniman sama seperti ilmuwan, keduanya sama-sama mudah terganggu dengan hal yang baru” saya menyatakan hal ini.

“Kira-kira begitu khususnya musik untuk saya.”

“Bagaimana dengan ilmuwan?”

“Seniman sains mungkin, karena ilmuwan adalah seniman juga, cuma kurang familiar saja jika ilmuwan disebut seniman saja. Baik seniman maupun ilmuwan, keduanya sama-sama mengkomposisikan hal-hal baru” kata ChiMotz.


Obrolan singkat dengan ChiMotz membuat saya jadi berpikir, se-fals apapun suara saya, sekaku apapun jemari saya yang kesulitan belajar gitar, saya bersyukur bisa menikmati seni. Cukuplah menekuni apa yang kita cintai, kerjakan dengan sungguh-sungguh, karena setiap kita adalah seniman. Setiap jiwa adalah seni sebab Tuhan pun menciptakan jiwa-jiwa manusia dengan komposisi keindahan yang bermakna seni.


Untuk ChiMotz, senang bisa share dengan calon komposer handal :)... jangan lupa request saya ya: aransemen musik yang menyampaikan suara hati petani di negeri ini.

Bogor, 22 Maret 2011

Minggu, 13 Maret 2011

Ketika Lelaki Menangis


Ketika lelaki menangis, katanya seperti hujan yang tiba-tiba turun saat matahari sedang bersinar begitu cerah. Barangkali tak seironis itu, setiap jiwa punya batas rasa, kupikir. Laki-laki atau pun wanita punya cara untuk meluapkan emosi, dan jika menangis bisa membuat kita tergerak untuk lebih baik, maka jika laki-laki menangis, itu bukan hal yang tabu. Menangislah, sahabatku, karena menangis itu menandakan bahwa kamu punya hati yang lembut, hati yang peka dengan peristiwa di sekitarmu.

Jika suatu waktu kamu perlu bahuku untuk sandarkan tangismu, kamu tak perlu ragu untuk memintanya. Kau pun boleh menangis semaumu, asal setelah itu kamu tersenyum seperti biasa. Kamu tahu kan? Bahwa senyum adalah pesan terhangat yang begitu cepat sampai dan cepat mendapat feedback. Ketika air mata jatuh dari pelupuk matamu, tak perlu segan menunjukkan padaku. Kau sedang membasuh hatimu yang terasa gersang. Setelah ini kau akan mendapatkan kelegaan dan kerelaan akan sesuatu yang kau hadapi. Yah, kau boleh jadikan aku sebagai katalisator untuk menetralisir perasaan sedihmu.

Ini malam, saat aku bertemu denganmu, seperti sebuah ketiba-tibaan yang kita rencanakan. Kamu masih dengan senyum sperti biasa, senyum sahaja yang menenangkan. Kutepuk bahumu, berharap bahwa satu tepukan itu mampu membuatmu tahu bahwa aku ada, sebagai sahabatmu dan siap mendengar kesahmu.

“Santai” kataku.

“Aku sedang tidak bisa santai untuk saat ini” jawabanmu datar.

“Baiklah, aku tak memaksamu, ini saran” aku miris mendengar jawabanmu.

Hemm, kau tersenyum lagi, simpul temali yang masih kuat. Kau masih dengan jiwa dan kharismamu. Kau tahu? Betapa membahagiakannya ketika kita bertemu dengan orang yang tersenyum tulus pada kita? Dan aku begitu bahagia melihat senyummu.

Aku berbeda denganmu, karena kamu lelaki yang barangkali tak suka dengan cara perempuan menyelesaikan gundah. Hanya saja, justru aku yang ketakutan menjadi teman bicaramu, kurasa kita berbeda cara dalam menyikapi semua ini. Aku terlalu santai, kau tahu kan sikapku yang tak pernah mau ambil pusing? Maafkan aku, bukannya aku ingin membuatmu menjadi gusar, hanya saja aku berharap kau takkan mematikan kreativitasmu karena persoalan ini.

“Jika ujianmu berat, maka kamu memang pantas untuk mendapatkannya” aku mencoba beretorika di hadapanmu.

“Tapi kadang kita belum siap menerima ujian ini” kau masih lesu menanggapinya.

“Siapa yang tahu batas kesiapan?” tanyaku sembari mencari selidik di balik nada suaramu.

“Tidak tahu!” kau terdengar ketus, maafkan aku.

“Kamu!” suaraku tiba-tiba meninggi.

“Bukan, aku belum siap!” jawabanmu lunglai, barangkali cermin hatimu yang sedang gelisah.

Baiklah, maafkan aku, terlalu kasar perkataanku tadi. Sahabatku, kadang kesempatan seperti menjauh dan tidak berpihak pada kita. Tapi bukankah ketika satu pintu kesempatan tertutup, maka pintu kesempatan yang lain akan terbuka? Sekali lagi maafkan aku, bukan sedang mendiktemu, aku sedang mengajari diriku, jika kau mau mendengar aku sangat bersyukur.

“Kesempatanku tertutup” Itu katamu.

“Bukan, kenyataannya memang begitu” aku ketus.

Sudah sudah, aku muak mendengar ocehanmu yang seperti jiwa sakaratul maut. Kau tahu kan? Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Jangan memaksakan keadaan. Kau tahu, kau diberi kesempatan lebih awal untuk bisa menghadapi semua ini. Apa kau yakin kau akan siap ketika cobaan itu datang esok hari?

“Kau yakin kau siap jika hal ini terjadi pada dirimu esok hari?” aku sudah mulai menurunkan intonasiku.

Kau menggeleng, tertunduk, dan tak punya jawaban.

Hidup ini adalah bersiap-siap untuk menghadapi ketidakmungkinan yang pasti akan terjadi. Hanya ada satu hal yang pasti dalam hidup, yaitu mati. Selebihnya adalah pertimbangan-pertimbangan logis dan emosional untuk kepentingan kita. Tendensimu tentang masalah ini baik, untukmu dan menurutmu. Tapi apa kau sadari di sekitarmu banyak orang begitu khawatir dengan kondisimu?

Kau menetesekan air mata. Ini kali pertama aku melihatmu menangis.

“Boleh kupinjam bahumu? Aku ingin menangis” matamu berkaca-kaca.

“Menangislah, karena dengan menangis hatimu akan menjadi lembut.”


Bogor, kosan Fauziah 00:13
17 Februari 2011

Sabtu, 12 Maret 2011

Tentang Kematian

Beruntunglah mereka yang mati muda (Soe Hok Gie)

Aku termenung sebelum tidur setelah selesai menonton film Gie, malam itu. Mengingat satu kalimat yang terngiang di telinga. Keberuntungan yang diperoleh bagi seseorang yang mati muda. Mati mati mati mati. Kadang memang ada baiknya jika kematian menyambangi kita lebih awal, pikirku. Dan pikiranku tersebut pernah kutuangkan dalam status facebook meski tak terlintas lagi tanggal berapa aku tulis. Mati dan kematian, boleh sedikit aku ulas? Dead is no longer alive, and death means a permanent end or destruction of something. Mati berarti mengakhiri segalanya. Tapi tidak hanya sampai disitu, mati adalah persoalan pilihan.

Suatu hari, aku berdiskusi dengan salah seorang sahabat, Meda:

“Jika suatu saat kamu ingin dikenang, kamu ingin dikenang sebagai apa?” tanyaku.

“Aku ingin dikenang sebagai orang baik, cukuplah bagiku kebaikan.” Jawab sahabatku.

“Bagimu apa itu kebaikan? Karena kadang kita perlu menjelaskan derivat dari setiap jawaban yang kita utarakan.

“Tidak ada turunan dari kebaikan selain kebaikan itu sendiri. Bagiku kebaikan adalah puncak pencapaian, bahkan manifestasi iman. Maaf jika kamu tidak setuju dengan pernyataanku, tapi inilah keiinginanku. Suatu saat jika aku tiada, aku ingin dikenang karena kebaikanku. Aku ingin generasiku pun mendulang kebaikan yang aku tinggalkan.”

“Baiklah, apa makna dari kebaikanmu? Karena yang bagi kita baik belum tentu bagi orang lain pun baik.” Aku masih bersikeras mencari tahu tentang keinginan sahabatku.

“Kebaikan yang aku maksud adalah kebaikan yang universal, kebaikan yang diakui oleh banyak orang. Taat pada orang tua, berkata lemah lembut dan tidak menyakiti orang lain, menyayangi yang muda dan hormat pada yang tua, tidak berbuat curang, menahan marah, dan makna-makna lain yang jika dijabarkan tak cukup waktu seumur hidup kita. Karena mengizinkan semut untuk hidup pun kebaikan.” Kurasa sahabatku menjawab begitu sederhana, jawaban yang terlalu umum. Aku belum puas dengan jawabannya.

“Apa hubungannya dengan iman?” tanyaku.

Sahabatku menarik nafas.

“Yang aku pahami, di agama mana pun, dalam kitab-kitabnya, manusia tidak dianjurkan untuk merusak, berbuat serakah, berlaku curang, merugikan, dan lainnya. Semua agama mengajarkan supaya manusia berlomba-lomba dalam kebaikan. Percayalah, tuntunan itu universal. Aku bukan ahli kitab, bukan penghapal isi kitab, aku sekedar menafsirkan dari pemahamanku.”

“Ehmmm, kamu percaya tidak kalau orang yang mati muda adalah orang yang beruntung? Orang yang tidak dibebani dengan banyak dosa?”

“Sangat tidak adil sebenarnya jika percaya begitu saja, harus ada kroscek. Jika pertanyaanmu adalah suatu hipotesis, maka perlu kita uji terlebih dahulu.”

“Aku juga masih bingung dengan pernyataan “beruntung” itu. Sangat tidak adil bagi orang yang mati tua jika keberuntungan lebih diperoleh mereka yang mati muda.” Kataku.

Sahabatku mengambil salah satu buku di rak yag terletak pada salah satu sudut kamarnya. Aku memang terbiasa berlama-lama diskusi dengannya karena kurasa khasanah pengetahuannya membuat pikiranku terbuka.

“Bacalah..!” perintahnya sembari memberikan buku itu padaku.

Keningku berkerut, barangkali garis dahi ini sudah mulai menujukkan kapan aku mati juga meskipun aku tak tahu tepatnya. Manusia memang harus terus berhipotesis tentang perkara rezeki, jodoh, dan mati. Kusambut buku bersampul hitam yang nampak kelimis. Aku membuka halaman yang ditunjukkan olehnya, halaman yang tak berangka tapi berbatas pita merah kecil seperti dalam kitab.

Tuhan, aku percaya bahwa kebaikan adalah milikMu. Mencoba untuk terus bertahan dengan keyakinan atasMu, bukan karena agamaku, bukan pula karena banyaknya manusia yang meyakinimu. Aku ingin mendekatiMu karena keinginanku, bukan karena keinginan siapa pun. Tuhan, aku coba untuk memahami bahwa Engkau menjanjikan surga dan neraka untuk setiap akhlak yang kami lakukan. Surga itu kebaikan, dan neraka itu kejahatan. Aku tahu itu dari pengetahuan tentangMu, sejak aku mengaji dulu. Tapi rasa-rasanya aku tak puas dengan pengetahuan semata. Aku ingin membutikan bahwa surga dan neraka itu ada.

Bagaimana aku membuktikannya Tuhan? Sedang pengetahuanku tentang cara membuktikanya pun belum ada. Ajari aku, Tuhan.



“Mengapa kau menyuruhku membaca tulisanmu tentang Tuhan ini?” aku mencoba konfirmasi apa yang aku baca.

“Lanjutkan saja di halaman berikutnya.”

Suatu hari aku menjaga nenekku yang sedang sakit keras. Sakit tak bisa bergerak sejak setahun yang lalu. Dia hanya bisa bernapas, berkedip, dan teriak-teriak. Makannya masih lahap, dan kadang-kadang aku menungguinya disuapi. Tapi aku tak berani menyuapi, aku tak tega melihat rahangnya yang semakin menonjol, aku juga tak tahan mendengar teriakannya yang seperti bercanda.Berhari-hari selama satu tahun itu, ibuku menjaga nenekku seperti menjaga bayi.

Hari itu, malam jumat, sejak pagi aku diminta menjaga nenekku karena ibu sibuk memasak. Entah kenapa ada rasa berbeda yang aku rasakan, kamar nenek seperti lebih dingin dari biasanya. Nenekku tidak teriak-teriak lagi, matanya nanar memandang ke atas. Tangannya tiba-tiba bisa bergerak dan menggapai ke arah mukaku. Aku merinding, kucoba untuk berbicara dengannya. Kutawari apakah nenek mau mendengarku mengaji, dia mengangguk. Kulantunkan Yasin, Al Waqi’ah, Ar Rahman. Tak lupa kutuntun lafaz Allah, Allah, Allah, disela nafas nenekku yang tersengal-sengal. Sampai setengah hari aku lakukan itu. Kemudian kutemui ibu dan aku minta menggantikan tugasnya menjaga rumah, aku takut menjaga nenek. Nenek seperti sedang bernegosiasi dengan malaikat maut. Polahnya sangat berbeda dengan kemarin. Malamnya, nenekku meninggal.

Saat kutuliskan ini, aku usai salat asar, di akhir doaku kuungkap harapan yang ingin kutanam. Aku tidak ingin mati muda, aku ingin mati wajar di waktu yang tepat. Aku tidak ingin melihat ibuku merawat kematianku, aku ingin menjaga dan berbakti dulu pada orangtuaku. Kutahu, betapa susahnya menjaga orang yang mau mati, betapa sedihnya ditinggal mati. Aku tidak ingin ibuku sedih, aku tidak mau bapakku meneteskan air mata. Aku tidak mau adikku kehilangan sosok kakak.

-Tuhan, jika surga dan neraka adalah janjimu, biarkan aku belajar untuk tahu, dengan caraMu. Kematian adalah hal yang pasti karena itu janjiMu, tapi Tuhan, pilihkan waktu yang tepat untukku-



“Meda, jadi menurutmu?” tanyaku pada sahabatku setelah kubaca dua halaman buku hariannya.

“Ya” hanya kata itu yang keluar dari mulut sahabatku, Meda, sambil tersenyum dan mengambil kembali buku hitam kelimis yang aku pegang. Mungkin baginya aku akan cukup paham dengan penjelasan tersiratnya dari kata “ya”.

Orang yang beruntung adalah yang mati tepat pada waktunya. Setiap manusia dilahirkan dengan membawa misi menjadi perantara Tuhan di dunia ini. Mati saat balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua bukanlah persoalan untung dan rugi. Mati adalah hal yang telah dipilih dan menjadi kesepakatan sebelum manusia lahir.
Setahun setelah diskusiku dengan Meda, dia dipanggil keharibaanNya. Aku menangis, sangat dalam. Ibunya menangis hingga pingsan, ayahnya pun meneteskan air mata. Sahabat-sahabatnya menangis dan sesungguhnya belum percaya perihal kepergian Meda. Tapi kurasa, Meda akan dikenang dengan kebaikannya. Tahun-tahun setelah kematiannya, dia banyak dikenang karena kebijaksanaannya. Aku tidak pernah merasa Meda mati, dalam usia yang masih pagi. Dia mati di usianya yang tepat. Tujuh belas tahun, sehari sebelum ulang tahunnya ke-18 dengan kebaikan-kebaikan yang dia wujudkan dalam hidupnya.

Setiap manusia dilahirkan dengan membawa misi menjadi perantara Tuhan, dan lagi-lagi aku berhipotesis bahwa salah satu misi hidup yang dibawa Meda adalah memberitahu padaku tentang persoalan kematian, kebaikan, dan hidup.
------------------------------------------------------------------------------------

Rasa kantuk menyerang setelah kuingat masa dimana aku masih bisa bergandeng tangan dengan Meda. Tanpa kusadari aku menangisi kembali kematian sahabatku. Dan, kurasa, aku belum siap untuk mati.


Bogor, 27 Februari 2011
22.20 WIB

Senin, 07 Maret 2011

Review Buku (Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2008)

Tanah memiliki makna yang berbeda ketika dilihat dari berbagai sudut pandang. Secara ekonomi tanah adalah faktor produksi sedangkan dari sudut pandang demografi perbandingan manusia dengan luas tanah pertanian menjadi penting. Berbeda lagi dengan pandangan hukum yang melihat tanah dari kerangka formal maupun informal yang mengatur segala aktivitas yang ada hubungannya dengan tanah. Sudut pandang politik memandang tanah dari aspek kekuasaan untuk mengorganisasikan peraturan supaya ditaati. Keempat sudut pandang tersebut digunakan untuk memetakan lapisan-lapisan dalam masyarakat sehingga memunculkan pandangan sosiologis.

Di pedesaan, perubahan pranata sosial juga berhubungan dengan pola penguasaan tanah. Terkait dengan kondisi ini, penulis menguraikan mengenai aspek penting dari masalah penguasaan tanah. Lokasi penelitian adalah desa Wargabinangun, desa Mariuk, desa Jati, dan desa Sukaambit di Jawa Barat. Di Jawa tengah diambil tiga desa yaitu desa Rowosari, desa Wanarata, dan desa Kebanggan. Demikian pula di Jawa Timur diambil tiga desa penelitian yaitu desa Janti, desa Geneng, dan desa Sukosari. Salah satu ciri penting struktur pertanahan di Jawa adalah terdapatnya berbagai macam bentuk pemilikan tanah terutama yang didasarkan pada konsep-konsep tradisional seperti tanah yasan, yasa, atau yoso dimana dalam UUPA 1960 memperoleh status legal sebagai tanah milik. Terdapat juga tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, dan sejenisnya dimana dalam UUPA 1960 hak atas tanah ini diubah statusnya menjadi tanah milik bagi penggarapnya yang terakhir. Selain itu terdapat tanah titisara, bondo desa, kas desa yang merupakan tanah milik desa dan disewakan, disakapkan, atau dilelangkan kepada siapa yang mau menggarapnya, hasilnya dipergunakan untuk keperluan desa. Tanah desa lainnya adalah tanah bengkok yang diperuntukkan sebagai gaji pejabat desa selama mereka menduduki jabatan. Baik tanah bengkok maupun tanah titisara keberadaannya diakui oleh UUPA.

Salah satu ciri penting masyarakat pedesaan di Jawa adalah bahwa penduduknya seolah-olah terbagi menjadi kelas-kelas yang didasarkan atas jangkauannya terhadap hak-hak atas tanah, terutama sebelum adanya UUPA 1960. Pejabat desa merupakan kelas sosial yang lebih tinggi, sedangkan masyarakat umum diluarnya dibagi menjadi dua yaitu mereka yang mempunyai kesempatan untuk menjadi pemegang hak menggarap tanah komunal dan mereka yang tidak memiliki hak untuk itu tapi juga tidak memiliki kewajiban apa-apa yang berkaitan dengan hak tersebut. Di sepuluh desa penelitian menggambarkan bahwa pemilikan sawah terpusat kepada beberapa orang saja. Berdasarkan hasil penelitian yang disampaikan dalam buku ini, secara umum, desa-desa dataran rendah relatif lebih komunal dibanding desa-desa dataran tinggi. Kalau dibandingkan antarprovinsi ternyata Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih komunal dibanding Jawa Barat.

Konsentrasi pemilikan tanah di pedesaan Jawa tidak diikuti oleh adanya satuan-satuan usaha tani yang luas, melainkan lebih diikuti oleh tingkat penyakapan yang tinggi, yaitu terdapatnya sejumlah besar satuan usaha tani sempit yang digarap atas dasar bagi hasil atau berasal dari sewa. Meskipun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam 60% dari desa-desa yang diteliti ternyata lebih dari 50% persen total pendapatan berasal dari sektor non-pertanian. Namun, jika dilihat dari distribusi pendapatan menurut golongan kepemilikan tanah ternyata masih tampak jelas bahwa pada golongan pemilikan tanah yang lebih luas, rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun juga lebih besar.

Pokok-pokok yang disampaikan dalam penelitian ini adalah (1) Dewasa ini, distribusi pemilikan tanah di Jawa ternyata sangat timpang dan tingkat ketunakismaan sangat tinggi; (2) Tingkat penyakapan cenderung sejajar dengan tingkat ketunakismaan; (3) Meskipun kesempatan kerja di luar bidang pertanian mungkin meningkat namun ternyata bahwa struktur pemilikan tanah tetap berpengaruh terhadap distribusi pendapatan, yang berarti merupakan salah satu faktor penentu kesejahteraan masyarakat pedesaan; (4) Dengan adanya berbagai program pembangunan sekarang ini, ternyata masih banyak rakyat pedesaan yang hidup dalam kemiskinan.

Review Buku (Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Tania Murray Li, 2002)

Buku ini mengkaji tentang transformasi yang terjadi di daerah pedalaman (sebagai sebutan untuk daerah dataran tinggi) Indonesia. Penulis melihat daerah dan masyarakat “dataran tinggi” secara lebih kompleks dengan memperhatikan aspek ekologi yang dikaitkan dengan aspek ekonomi, politik dan kebudayaan. Pandangan yang berkembang tentang masyarakat di dataran tinggi berbeda-beda, perbedaan pandangan ini didasari pertentangan kepentingan baik secara potensial maupun aktual di daerah pedalaman Indonesia. Daerah pedalaman Indonesia telah terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran yang rendah yang telah lama dan terus berlangsung. Asumsi bahwa masyarakat pedalaman adalah bodoh dan terisolasi dipegang oleh agen pembangunan yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan pembangunan yang diterapkan di daerah pedalaman. Dinamisme, produktivitas, pengetahuan serta kreativitas masyarakat pedalaman sering diabaikan dalam program pembangunan pemerintah. Daerah pedalaman menjadi obyek proyek pembangunan atas nama “modernisasi”.

Salah satu studi kasus dalam buku ini menjelaskan tentang introduksi tanaman kelapa hibrida di dataran tinggi Jawa Barat melalui program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) menggeser pola pertanian campuran menjadi pertanian monokultur. Proyek PIR-BUN yang diterapkan dimulai pada tahun 1982 dan pohon kelapa hibrida pertama ditanam pada tahun 1983. Proyek ini diterapkan melalui sistem pertanian kontrak sebagai salah satu cara untuk merangkul para pengolah tanah di dataran tinggi di Jawa Barat (dan Indonesia). Pemilihan komoditas kelapa hibrida dan bentuk organisasi PIR di wilayah tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa tengah terjadi krisis minyak kelapa di Indonesia pada akhir 1970-an. Tujuannya adalah untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan mengembalikan kelapa sawit pada peranan aslinya sebagai penghasil devisa. Tidak hanya karena alasan tersebut, tetapi pemilihan wilayah seperti Cisokan dikaitkan dengan unsur kontrol politik karena wilayah tersebut merupakan basis pergerakan kaum separatis Darul Islam.

Proyek pertanian kontrak yang diterapkan tidak berjalan tepat seperti yang dimaksudkan. Terdapat kesenjangan yang sangat jauh antara asumsi yang mendasari proyek PIR dan kondisi sebenarnya yang timbul. Proyek alih teknologi serta pembakuan produk telah menimbulkan banyak problem teknis. Proyek tersebut didorong oleh kehendak untuk mengendalikan, membentuk, memodernisasikan, menghilangkan keterbelakangan dan “sikap subsisten” penduduk pedesaan melalui penerapan budidaya tanaman tunggal yang dikontrakkan. Dampaknya bagi petani Cisokan yang sebelumnya memiliki kuasa yang disahkan secara lokal terhadap lahan untuk kebun campuran, proyek tersebut membuat mereka berhutang uang dalam jumlah besar beserta bunganya untuk mendapatkan tanah yang kurang produktif.

Kasus tersebut memperlihatkan bahwa pandangan mengenai masyarakat pedalaman yang terbelakang, bodoh, subsisten memunculkan inisiatif untuk mengimplementasikan proyek perkebunan yang komersil. Tujuannya adalah untuk menjadikan penduduk pedesaan di pedalaman yang relatif homogen menjadi modern. Namun, hasil dari program ini mencerminkan keadaan pembagian kekuasaan dan sumberdaya yang sejak awal tidak merata, akhirnya memunculkan bentuk perlindungan, penolakan dan penyesuaian baru muncul dalam konteks implementasinya. Keuntungan dan peningkatan kekayaan lebih banyak dinikmati oleh pejabat pemerintah yang diberi lahan perkebunan yang mudah dijangkau dan subur. Petani kaya merugi karena banyak pohon-pohon berharga dimusnahkan dan diganti dengan kelapa hibrida. Petani miskin yang tidak memiliki koneksi diberi lahan yang tidak memadai dan petani yang lebih miskin cenderung memilih untuk bekerja di tempat lain supaya mendapatkan upah.

Review Buku (Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, Robert William Hefner, 1999)

Menjadi orang-orang dataran tinggi identik dengan menjadi wong tani. Pada masa pra-kolonial, pertanian di dataran tinggi Tengger dikelola terutama komoditas jagung sebagai makanan pokok wilayah tersebut dan pengolahan sekunder pada bermacam-macam tanaman komersial yang dijual ke luar wilayah. Pada awal periode kolonial, populasi kecil penduduk dataran tinggi terkonsentrasi di daerah lereng atas. Para petani mempraktekkan sistem perladangan berpindah dengan pengosongan semak-semak dan rumput secara luas. Ketika satu petak tanah telah digunakan selama satu atau dua tahun, kemudian dikosongkan selama lima belas hingga tiga puluh tahun dan penduduk membuka areal hutan yang lain untuk diolah.

Pada akhir era kolonial, terjadi perpindahan kaum Muslim dari dataran rendah ke dataran tinggi akibat dari program pemerintah dalam mewajibkan pengusahaan kopi. Secara ekologis, pengusahaan kopi ini sangat mengakibatkan erosi yang sangat luas dan kerusakan humus, secara ekonomi petani juga hanya mendapatkan sedikit insentif dari apa yang mereka kerjakan. Di daerah pegunungan tidak terdapat manfaat ekologis yang sebanding dengan investasi yang dibuat oleh pemerintah pada sistem irigasi sawah. Pemerintah memberlakukan tanah pegunungan sebagai sumberdaya yang dapat dihabiskan, tanah berharga ketika tenaga manusia dihubungkan dengan pembangunan mereka.

Saat kedatangan Jepang, kebijakan pertanian Jepang tidak begitu disukai oleh penduduk lokal. Petani diminta untuk membatasi pengusahaan tanaman perdagangan mereka.kebijakan politik pertanian diterapkan untuk mencapai tujuan jepang. Wilayah dataran tinggi dibagi menjadi tiga zona ekonomi yang masing dijalankan oleh penasehat Jepang yang didampingi oleh staf lokal. Semua hasil perdagangan harus melalui kumiyai (koperasi yang memperdagangkan hasil bumi). Jepang mengatur pajak penghasilan dan lebih mengendalikan barang-barang konsumsi yang langka serta membuat aturan koperasi yang berusaha mengeliminasi orang-orang Cina dalam perdagangan desa. Kumiyai menempatkan sistem perdagangan privat dengan pengusahaan yang dikontrol oleh instruksi-instruksi pemerintah. Sistem ini merusak dan secara efektif menghancurkan perdagangan dalam komunitas yang memang sudah lemah. Pada awal kemerdekaan, perdagangan berlahan-lahan mulai bangkit kembali. Hubungan-hubungan dengan pedagang Cina di Semarang, Solo, dan Bandung diperbaharui. Kentang dan sayuran mulai diekspor lagi ke luar daerah.

Sejarah pertanian daerah atas dikendalikan oleh hubungan-hubungan politik, perdagangan dan tekanan demografis. Ekspansi telah mempengaruhi pemilihan tanaman, dan pada beberapa wilayah juga mempengaruhi dalam hal praktek pemanenan. Inti dari ekspansi ini adalah perdagangan, penajaman hubungan transaksi dan bukan hubungan produksi. Meskipun sempat terjadi krisis ekonomi dan ekologi pada akhir pendudukan Belanda dan awal pendudukan Jepang, namun tidak membuat hilangnya perbedaan status kelas. Kelas-kelas pedagang tetap eksis dan petani miskin tetap dalam kondisinya.
Memasuki masa orde baru, revolusi hijau diperkenalkan. Kebijakan negara sangat berpengaruh pada pertanian pegunungan. Seiring dengan tujuan pemerintah untuk memperluas produksi, dataran tinggi pun menjadi objek yang disuplai kebutuhan pupuk untuk lahan tegalan yang ada, masyarakat pegunungan menghadapi pengaruh sosial yang berbeda dari biasanya. Namun akses terhadap pupuk tersebut hanya bisa dinikmati oleh petani kaya, tidak oleh petani miskin. Metode-metode baru dalam produksi sangat tergantung pada sumber daya sosial.

Terkait dengan kepemilikan tanah di dataran tinggi, di Tengger, sistem pertanian pegunungan kepemilikan tanah di atas rata-rata (rata-rata kepemilikan tanah adalah 0,66 Ha). Konsentrasi kepemilikan lahan di daerah lereng tengah lebih tinggi dari kepemilikan lahan di daerah lereng atas. namun, kemiskinan tanah masih tetap berlangsung dalam skala luas karena sebagian tanah terkonsentrasi di tangan pemilik tanah yang besar. Distribusi tanah di daerah pegunungan ditandai oleh ketidakadilan yang cukup moderat di daerah lereng tengah dan hanya sedikit terkonsentrasi di lereng atas. ketidakadilan di lereng tengah ini terjait dengan sejarah awal tentang pembangunan jalan, perpindahan penduduk, dan investasi yang komersial. Akses penduduk Tengger terhadap tanah diperoleh melalui warisan dan pembelian tanah. Pola yang terstratifikasi pada akhirnya adalah menempatkan siapa yang bisa membeli tanah dalam ukuran cukup luas meskipun tidak mendapatkan warisan.

Minggu, 27 Februari 2011

GUBRAKK (bagian 2)

Selama satu minggu ini menjadi penghuni tetap LSI (lokasi: ruang thesis, meja yang paling dekat dengan AC). Akhirnya memutuskan untuk mengambil studi livelihood, setelah merasa pikiran seperti stuck tingkat akut.

"Yakin siap tanggal 8?"
"Yakin pak, saya berusaha." berharap semoga dosenku tidak kecewa punya mahasiwa bimbingan yang sudah nampak begitu hopeless.

Proposal dan kolokium menjadi momok yang sempat menakutkan bagiku, tidur tak nyenyak, makan tak enak.. bahkan sampai curhat sambil mewek. Hobi dengerin musik tiba-tiba luntur, dunia sunyi. selama 3 hari full di LSI tapi hasil nol besar, kerangka berpikir acak adul dan ga nemu2. STRESSS rasanya. Sampai akhirnya diskusi sana-sini, baca ini itu, dan meskipun sangat sederhana: ketemu juga tuh kerangka pemikiran penelitian gw. Satu yang bikin lega, setelah kerangka pikir ada... bagian-bagian lainnya juga terselesaikan. Kupikir, memang kenyataannya gw harus bersenang-senang dengan proposal ini, dengan persiapan penelitian yang cukup njelimet. Toh bukan gw aja yang ngrasain, semua teman sejurusan gw juga ngrasain hal yang sama. Semoga dengan proses yang begitu 'indah' ini, hasilnya pun bisa spektakuler dan bermanfaat.

Finally, i decided: LIVELIHOOD SUSTAINABILITY RUMAHTANGGA PETANI KENTANG DI DATARAN TINGGI DIENG

Rabu, 23 Februari 2011

GUBRAKK

Selasa pagi, setelah begadang hingga pukul 3 dini hari...

Terburu-buru masuk kamar mandi untuk mengambil air wudhu, ibadah Subuh sudah kelewat siang dibanding kokok ayam meskipun suaranya tak pernah kudengar di lingkungan kosanku. Ada janji pukul delapan pagi untuk bertemu dengan dosen pembimbing skripsi. setelah solat aku berpikir dan membuka-buka kembali catatanku perihal penelitian skripsi. Rasanya proses begitu panjang:

-Semester 3 harus bikin tulisan ilmiah yang dijadikan tugas akhir sebelum UAS di mata kuliah Berpikir dan Menulis Ilmiah

-Semester 5 harus penelitian kecil-kecilan di masyarakat dan membuat proposal 'bayangan' skripsi secara individu.

-Semester 6 harus mengambil mata kuliah KKP (kuliah kerja profesi), tujuannya untuk elaborasi masalah di masyarakat dan bersama-sama memecahkannya. Tujuan khususnya lagi 'semoga' memeperoleh topik untuk skripsi dan bisa embali lagi ke lokasi.

-Semester 7 pontang-panting ari referensi studi pustaka yang harus selesai satu semester. Aku sendiri baru bisa dapat topik setelah sebulan semedi dan mencoba mencari apa yang menjad minat studiku. Teng teng: diperoleh satu judul "perubahan struktur sosial ekonomi di desa dataran tinggi", draft 1 dan 2 disetujui. Rumusan masalah sudah oke. Draft 3 ketika hampir final: sebaiknya judulnya diganti (otomatis ada pembahasan yang harus menyesuaikan)--> "perubahan struktur agraria di desa dataran tinggi". Akhirnya 29 Januari 2011 disahkan sebagai studi pustaka TURASIH. walaupun kurasa ada yang aneh dengan pembahasannya (minatku ke bidang agraria tidak terlalu bagus).

-Masuk semester 8, label mahasiswa semester akhir menguatkan stigma untuk segera lulus. setelah nilai semester 7 keluar, hasrat untuk segera menyelesaikan proposal penelitian membuncah. Lagi-lagi, penelitian kepentok pada metode yang diharuskan menggunakan pendekatan kuantitatif. Setelah penjajagan ke lokasi penelitian, perubahan strukur agraria di desa dataran tinggi terlalu riskan jika harus dikuantitatifkan (atau sepertinya aku yang masih terlalu tolol). Berhari-hari dipusingkan dengan sebaiknya apa yang harus aku ambil untuk skripsiku. Oh my God, di satu sisi pengen cepet lulus dan di sisi lain AKU NGGAK MAU PUNYA KARYA YANG ECEK-ECEK. Bukan berarti perfeksionis, tapi nggak pengen sia-sia masa belajar selama 4 tahun. Dan hari ini (selasa), akan kudiskusikan kebingunganku dengan dosen pembimbing skripsiku.

Daaannnnn... Jam 8 dengan langkah cepat berjalan ke ruangan dosen. Menunggu kurang lebih lima belas menit, dosen mempersilahkan masuk. Curhat pun dimulai...

"Bapak, saya kesulitan jika harus mencari data perubahan struktur agraria. Saya harus menentukan momen perubahan yang dijadikan titik analisis data nantinya."
Sungguh merasa sedang pengakuan dosa. Dosen pembimbing mejawab dengan bijak dan menanyakan alasannya..

"Saya sudah studi penjajagan, dan karakteristik lokasi penelitian kurang tepat dengan tema itu, saya juga kesulitan untuk metode yang diharuskan kuantitatif, sedangkan untuk penelitian struktur agraria tersebut lebih cenderung kualitatif" nampaknya dosen pembimbing memahami problemku (atau sebenarnya miris, betapa bodoh mahasiswa bimbingannya:().

Kemudian kulanjutkan curhat:
"Tiga hari ini saya berpikir keras untuk menentukan arah studi saya pak, saya berpikir untuk meneliti tentang pola relasi aktor."

Kening dosenku berkerut (mungkin semakin miris dengan pemikiranku). studi pola relasi aktor terlalu makro untuk tataran S1. Aku diam dan memeras otak...

"Mungkin amu bisa spesifikkan aktor menjadi petani laki-laki dan perempuan" kata dosenku.

GUBRAKKK.. studi Gender adalag salah satu studi yang paling aku hindari. Tidak terlalu tertarik, dan akan jadi fatal kalau aku ambil. Aku tidak berminat.

"Maaf Pak, tapi saya kurang tertarik dengan studi gender."
[Maaf pak , jika saya terlalu bodoh untuk saat ini, saya hanya tidak mau penelitian saya hasilnya amburadul].

DAN SAMPAI DI UJUNG CURHAT...
Aku masih harus menentukan arah penelitian yang lebih kuantitatif.


to be continued...

Senin, 21 Februari 2011

AFTER THE PHONE

Dalam riuh rendah perasaan ini, aku mencoba untuk tetap percaya dengan cinta yang kau ajukan. Aku tidak ingin menjadi yang terpilih karena permintaanku, aku ingin menjadi terpilih karena kapasitasku-karena aku memang pantas untukmu-. Tapi kita hanya perencana, tak bisa menggugat kenyataan jika suatu waktu habis kesempatan kita untuk saling bermanja sebagai sepasang kekasih. Tuhan punya rencana yang jauh lebih indah dari jangkauan kita, dan yakinlah bahwa apapun yang kita usahakan adalah sebuah cara atas keyakinan kita pada kekuasaanNya.

Berhari-hari aku memanggilmu dengan panggilan sayang, penuh cinta, dan semangat. Berhari-hari pula aku merasa terisi dengan keramahan dan keceriaanmu. Berhari-hari kunikmati persaan yang Dia anugerahkan dengan sukacita dan senyum semangat. Dan, aku belajar, bahwa semua itu harus dibumbui dengan tangis, penyesuaian, pertengkaran kecil, bahkan saling diam.

Kau tak perlu mengukur seberapa besar cinta dan sayang ini, tak perlu pula merajuk memintaku mengatakan ‘i love you’. Dalam diam pun ingin kusandingkan doa terbaik untukmu bersama tasbih dan tahmid yang terlantun setelah curhatku dengan Tuhan. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kecukupan yang biasa, bukan kemewahan yang menjadikan kita buta.

Saat aku menuliskan ini, jarum panjang sudah hampir menunjukkan pukul tiga dini hari, dan aku belum sedikit pun berminat untuk memejamkan mata. Perbincangan denganmu empat jam yang lalu, membuatku memunculkan empati yang mengantarkan rasaku untuk semakin jatuh pada cintamu. Pada ketulusan yang hangat, pada setiap kejujuranmu yang memikat. Aku terpacu untuk menuliskan banyak hal tentangmu, tentang kesederhanaanmu yang membuatku mencinta terus menerus. Dan, kuharap, kita bisa menghadapi semua ini dengan segenap kesungguhan hati yang membuat kita kuat dan yakin: terus untuk menghadapi semua ini bersama adalah pilihan kita.

Rabu, 16 Februari 2011

REMEMBER YOU


Hari ini, akhirnya kita akan bertemu setelah sekian lama hanya bisa melantunkan rindu melalui gelombang suara. Seperti apa kamu sekarang sayang? Masihkah dengan polahmu yang membuatku jatuh hati sejak pertemuan kita yang pertama dulu? Susah kuutarakan seperti apa kamu, masihkah dengan pesona kesahajaanmu yang membuatku memendam kagum selama bertahun-tahun sejak pertemuan kita yang pertama, dulu? Atau seperti apa kamu sekarang, sosok yang bisa membuatku berada di suatu kondisi bernama jatuh cinta?

Kepada kamu, cinta itu,
Ingin kuawalkan dan kuakhirkan


Sayang, seringkali aku tersenyum sendiri mengingat tingkahmu atau saat membuka kembali pesan-pesan singkatmu di handphoneku. Aku tak bisa sembunyikan bahagiaku saat malam kamu menelponku dan bilang ”aku kangen”. Dan hari ini, beberapa jam sebelum kita bertemu, aku berusaha mengumpulkan energi lebih supaya aku tidak kaku saat menatapmu. Ini adalah kali pertama aku menjumpaimu dalam suasana pribadi, bahkan ini adalah kesempatan pertama yang meyakinkanku bahwa kau nyata. Mencintai dan dicintai bukan lagi mimpi yang aku idamkan tapi menjadi realita yang ingin kita bangun bersama.

Sepertinya wajahku bersemu merah, jantungku berdetak melagukan rasa bahagia yang aku sendiri bingung apa maknanya. Kau tersenyum dari jauh dan kulambaikan tanganku ke arahmu. Rasa-rasanya aku ingin segera menyongsong hadirmu dengan salam hangat dan kecupan takzim di punggung tanganmu. Tapi aku harus melambatkan gerakanku supaya salah tingkahku tak terlihat. Kucium punggung tanganmu yang penuh dengan kerja keras itu, tangan yang semakin mengukuhkan pendirianku untuk tak hanya mencintaimu, tapi juga menghormatimu.

Akhirnya tiba juga saat kita bercerita, sungguh seperti mimpi yang menjelma nyata....

Saat aku merasa begitu lelah, suaramu seperti aspirin yang melegakan rasa pusing di kepala ini. Kau begitu istimewa, tak cukup kata untuk mengungkapkan betapa aku mencintaimu. Aku jatuh cinta pada teduh matamu yang memancarkan ketulusan hati dan niatmu. Teduh mata yang menyejukkan dan meruntuhkan keegoisan. Tutur katamu begitu lembut dan mempesona pendengaran, tapi tidak picisan.

Berhari-hari dalam dekapan rindu atasmu, membuatku ingin semakin mendekati Tuhan. Jika ada kata terima kasih yang bisa kusampaikan, barangkali tak cukup untuk mewujudkan syukurku atasNya yang telah memberiku kesempatan meraih kasih dan cintamu. Kau yang meruntuhkan gerbang penantianku akan cinta. Kau menjelmakan ketulusan dalam setiap tindakan, mewujudkan kelembutan dalam setiap ucapan.

Sayang, ingatkah dengan deras hujan yang mendera perjalanan jauh kita malam itu? Perjalanan yang membuat kita gigil dalam dingin, tapi itu adalah pintu yang mengawali kebersamaan kita. Perjalanan itu membuat kita mengerti, bahwa jalan menuju kebahagiaan bisa jadi tak semulus harapan kita. Tanpa kita sadari di tengah jalan bisa muncul hambatan, entah kerikil yang terserak dan membuat roda kehidupan kita oleng, atau pun hembusan angin yang membawa hujan deras tepat menerpa wajah kita. Cobaan itu pasti terjadi, karena Tuhan menjanjikan kebahagiaan dengan perjuangan. Aku berdoa dan akan berusaha sebaik-baiknya untuk menyusun kebahagiaanku bersamamu. Berharap, semoga kita bisa mengalunkan melodi dan irama cinta di setiap helaan napas yang kita hirup.

“Wahai Sang Pencipta Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, jadikan dia akhir pencarianku akan asal tulang rusuk kiriku. Amin.”
-------------------------------------------------------------------------------

P.S. Untuk AF, terima kasih atas ketulusan, keteduhan, dan kasih sayang yang senantiasa terjaga.

Sabtu, 29 Januari 2011

A MONOLOGUE

Rasa bersalahku semakin membuncah, di satu sisi aku menyayangimu, merasa bahwa kau adalah cinta pertama yang tak lekang oleh waktu. Berkali-kali aku coba menjalin hubungan dengan cinta yang baru, tapi namamu yang masih saja terpatri jelas. Namun, sayang ini seperti berbatas keadaan. Aku seperti hilang arah dan memiliki beban begitu berat ketika mengatakan “aku menyayangimu”. Meski perasaan tak bisa dibohongi, tapi beginilah keadaannya. Rasanya aku ingin pergi saja dari kehidupanmu.

Aku sudah bilang akan pergi darimu, berangsur-angsur kunikmati kesendirian dan keadaan tanpamu.

Aku terbiasa bersamamu saat itu. Banyak impian yang kita ciptakan bersama, membaca buku-buku yang sama, mendengar lagu-lagu yang sama, menyukai warna yang sama, dan menikmati kesempatan. Begitu banyak tentangmu, hingga aku tak tahu bagaimana cara menghapusnya satu persatu. Mungkin, jika kau tanyakan padaku seberapa banyak aku mengingatmu, aku jawab terlalu banyak hingga aku tak sadar bahwa aku pun sampai membandingkan orang lain denganmu.

Aku terbiasa menunggumu di sini, pada petang hari. Di kursi panjang berwarna cokelat. Masih dengan setumpuk kertas yang kudekap di dada, muka lusuh bekas aktivitas seharian, juga badan yang sudah remuk redam akibat begadang semalaman. Kau muncul dari balik gedung itu dengan gayamu yang biasa saja. Meski tanpa lambaian tangan namun senyummu sumringah. Kelegaan yang kudapat ketika aku yakin bahwa kau tersenyum padaku.

Tapi cinta bukan kesamaan, bukan pula senyum yang muncul saat pertemuan. Karena itu, akhirnya aku benar-benar pergi, maafkan aku. Aku tak cukup tangguh untuk mengikuti segala keinginanmu, aku ingin menjadi diriku sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------

Kau sama sekali hilang tak berkabar sekarang, meskipun aku tak mencemaskanmu tapi kuharap kau baik-baik juga. Terlebih lagi, semoga sudah kau temukan apa yang selama ini kau cari (aku juga tak tahu pasti apa yang ingin kau raih). Itu urusanmu, itu hak dan kewajiban untuk hidup yang dianugerahkan kepadamu. Setiap kita punya selera sendiri untuk menentukan kemana arah yang akan kita ikuti, dan memang dari dulu nampaknya kita berbeda. Tapi kupikir kita masih bisa untuk saling toleran dan menghormati bukan tanpa kabar seperti ini.

Tidak ada salahnya untuk memberi kabar, maka kusampaikan bahwa aku baik-baik saja. Sangat menikmati hidup, menikmati kebersamaan, menikmati kesendirian dan perenungan, juga menikmati pencarian. Kuharap kau juga. Tidak mau bertemu denganmu bukan berarti aku mengabaikanmu atau tak menghormatimu. Hanya saja, aku ingin kita baik-baik saja, kutahu jika pertemuan terjadi bukan tidak mungkin kita akan saling diam. Canggung untuk menentukan siapa dulu yang berhak bicara, padahal kita tidak sedang memperebutkan hak atau harus melaksanakan kewajiban, kita hanya butuh waktu senggang untuk berpikir. Dan aku: MENIKMATI KEBEBASAN.

Sabtu, 15 Januari 2011

A Right for Happiness




Kemana kamu seharian sayang? Aku menunggumu di sini: di sudut hati yang was-was dengan pernyataan “aku menyayangimu” yang kau ucapkan tempo hari. 11 Januari. Momen itu seperti sebuah kesempatan yang membuat kita menata keping-keping haru akan cinta yang telah terserak selama enam tahun lewat. Waktu yang tidak singkat untuk akhirnya kita bertemu kembali di sebuah kesempatan yang tidak pernah tertebak. Dan seharian ini, menunggu kau berkata-kata terasa jauh lebih lama daripada waktu enam tahun itu.

Hari-hariku sekarang dipenuhi dengan keinginan untuk segera menemuimu dan menceritakan banyak hal. Lucu memang, karena tradisi kita bukanlah saling bercerita. Sebelumnya sapaan adalah hal mahal yang jarang kita bagi. Lalu, ketika kita mengingat masa-masa di awal kita jumpa dulu, kau begitu puas menertawai tingkahku yang kau bilang begitu tak acuh. Aku menjadi begitu rindu dengan tingkahmu, dengan sapaan dan nasehatmu. Kupikir, aku jatuh cinta.

Sudah berapa banyak perubahan kita Sayang? Sejauh kita mencari arti dan saling menghargai untuk beberapa waktu ini, kurasa kau makin matang dengan kemandirianmu. Meskipun tetap saja, kau ucapkan bahwa kau ingin selalu menjadi anak kecil, karena dengan begitu kau akan selalu merasakan kebahagiaan. Sayang, kebahagiaan itu sebuah pilihan, mari kita berbahagia tanpa harus kembali ke masa kecil kita dulu. Bukankah kita bisa ciptakan hari-hari penuh senyum dengan kebersamaan kita? Kita bisa wujudkan mimpi-mimpi kita bersama mulai dari sekarang, dan itu bisa kita raih dengan perasaan yang bahagia, bukan dengan lilitan kesedihan. Ingatkah malam itu? Ketika kau tanyakan padaku sebuah kalimat “bahwa satu detik dari sekarang adalah masa depan”, maka jika kita ingin masa depan kita bahagia, mari kita sajikan detik-detik yang penuh dengan syukur atas segala yang terjadi. Dan, aku ingin menapaki masa yang tersisa ini bersamamu, Sayang. Dengan rasa syukur yang tak pernah terputus.

Rainy


Aku mencintai hujan, karena itu adalah bagian dari sebuah momen yang mampu menggugah hatiku. Aku selalu mengingat masa-masa di mana hujan menemaniku dalam pedih atau perih, dalam canda maupun rasa tak tega. Masa dengan diriku, dengan ayah ibuku, dengan adikku, dengan sahabat-sahabatku, seseorang yang pernah melekat di hatiku, atau pun denganmu. Ya denganmu. Hujan, kala itu. Aku memberi makna hanya sebatas waktu dan kondisi cuaca. Pikiranku justru menerawang masa di mana aku belum mengenalmu. Jangankan kenal, ada bayangan bertemu denganmu saja tak pernah sama sekali terbersit.

Saat itu hujan, aku mampu berteriak sekencang-kencangnya mengungkap rasa sedihku. Ya dengan cara itu, aku meninggalkan seseorang yang pernah mengisi sebagian ruang di hatiku. Aku harus menitipkan pilu pada gudang rasa di hatiku, saat itu. Setiap kali aku menemuinya, rasa itu menakutkan. Aku tahu akan ada dua manusia yang tak setuju atas langkahku bersamanya. Tapi karena hujan, aku jadi merasa ada wakil dari perasaanku,. Dalam hujan, bagiku, ada gigil yang tak dingin. Ada lelah namun terarah. Ada luka namun tak menganga. Saat hujan, tak peduli seberapa deras mata air mata kita. Tak peduli seberapa keras tertawa kita. Tak peduli sebagus apa busana kita. Tak peduli sejelata apa kondisi kita. Yang jelas timpaannya sama.Hujan. Aku mencintainya.

Sampai di suatu persimpangan aku menemuimu tak sengaja. Maka dengan sigap tak perlu kutunggu rintik hujan untukku merasakan semuanya. Mulai kuartikan satu persatu rasa yang menggelikan ini. Tak lagi kupedulikan rasa pilu yang kutitipkan di gudang rasaku. Yang aku usahakan adalah menyisipkan bahagia di setiap gelak tawa pahit yang kadang aku benci. Tawa topeng yang sungguh mengenaskan. Namun, karenamu, aku tak perlu lagi memakai topeng. Kau melepaskannya. Dan kau pasti mengerti kapan kau melepaskan penutup wajah rasaku itu. Kau ingat? Saat hujan. Dari situ, kupikir sekarang hujan tak hanya milikku, orang tuaku, adikku, sahabatku, orang itu, tapi juga milikmu. Aku bangga pada hujan yang menyatukan perasaan.

Lurus terus kita berjalan, bergandeng tangan, berdua. Mengesampingkan cercaan orang yang menganggap kita tabu, karena kau bukan milikku. Kau miliknya. Tapi aku tak menyalahkanmu, kuanggap itu wajar. Perasaanku wajar, perbuatanmu pun jadi wajar. Meski kelak, semuanya menjadi salah ajar. Kau tetap bersamanya, namun kau menggandeng tanganku ketika berjalan. Aku jadi berpikir bahwa kau lebih memilihku.

Sampai akhirnya kutahu semuanya hanya sekedar permainan tak berjudul. Bahkan sekalipun kucoba untuk menyusun beberapa huruf untuk menamainya, aku justru semakin terlihat seperti peserta terbodoh dalam perlombaan scrable. Meski demikian aku semakin mencandu pada games itu. Terus mencoba setiap waktu tak peduli apakah saat itu aku akan menang atau kalah. Hanya saja, yang aku tahu, aku semakin mencintaimu dan membutuhkanmu.

Tapi aku mulai ragu, apakah cinta itu kebutuhan? Apakah karena aku membutuhkanmu lalu aku mencintaimu? Bahkan hingga hari ini pun aku tak mengerti maumu sebenarnya. Kau membuatku nyaman dengan semua gerak-gerikmu.

HAPPY BIRTHDAY











Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari
Kalori bagi kekuatan hatiyang tak pernah habis dicerna usus

Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa
Menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap
Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari
(kuambil penggalan ucapan ini dari Filosofi Kopi-Dewi Lestari)


Kamu mungkin sudah hidup 3000 tahun lamanya. Bagimu masa depan tidak menjanjikan apa-apa, maka marilah bermimpi untuk masa depan. Munculkan imajinasi yang tak terbendung untuk menciptakan sebuah dunia seperti yang kamu inginkan. Aku berdoa untukmu, di hari ulang tahunmu ini. Semoga kamu bisa menjadi sesuatu untuk negeri ini (patutlah jika kita harus sadari bahwa negeri ini sudah terlalu hapal dengan kemiskinan). Kamu, kurasa bisa menjadi bagian kecil yang bermakna untuk negeri ini, semoga.
Selamat hari lahir, berapa pun umurmu hari ini.

Selasa, 04 Januari 2011

It Comes and It Goes














Aku sengaja menulis pesan ini untuk kalian berdua. Sebelumnya aku ucapkan terima kasih atas ketersediaannya membaca tulisan yang barangkali sedikit membosankan atau mungkin tak bermakna. Aku harap, semoga ada yang bermanfaat dan dapat membuka pemikiran kita.

Kalian tentu saja mengenalku dengan cara yang berbeda, dengan pandangan kalian masing-masing. Tapi pasti ada kesamaan dari kalian berdua terkait dengan persepsi tentang aku, kalian sama-sama memandang bahwa aku adalah orang yang keras kepala. Maafkan aku atas satu sifat yang melekat dalam pribadiku itu. Karena keras kepalaku, barangkali tanpa aku sadari aku menyakiti perasaan kalian. Aku tak pernah berencana untuk masuk dalam kehidupan kalian, aku anggap ini memang jalan cerita yang harus dilewati, dan melalui tulisan ini, aku ingin minta maaf sekaligus berterima kasih kepada kalian berdua atas pelajaran berharga yang telah dan sedang dilalui.

Barangkali tak cukup kata untuk mengungkapkan segala ingatan dan kenanganku tentang salah satu diantara kalian. Ini tentang kamu, laki-laki. Kamu adalah laki-laki pertama yang meruntuhkan kekesalanku terhadap laki-laki. Kamu datang disaat kehidupanku seperti jatuh, disaat aku begitu malu menghadapi kenyataan bahwa aku sendiri merasa dikhianati. Kamu banyak mengajariku bagaimana menghormati orang lain, bagaimana memegang prinsip dengan kuat dan lemah lembut dalam menyampaikan. Aku begitu mengagumimu. Bahkan meskipun kita dekat, aku belum mengenalmu sebelumnya, aku hanya tahu kamu sedikit saja. Dan untuk beberapa lama kita hanya berusaha untuk saling mengerti. Aku masih kekanakan dulu, dan mungkin begitu menyebalkan untukmu. Aku sangat tidak asyik dan aku tidak mudah mengungkap apa yang kurasakan, aku terlalu serius dan cengeng. Mungkin kau masih ingat betapa menyebalkannya aku. Maafkan aku atas sikapku dan terima kasih kau membantuku untuk menjadi lebih dewasa.

Kamu begitu simpel, cuek, namun penuh dengan perhatian. Aku tidak pernah memikirkan seberapa besar sayangmu padaku karena itu hakmu. Yang jelas, kamu banyak membawa kebaikan dalam hidupku. Aku menjadi orang yang begitu kompetitif, sejak aku mengenalmu aku mengagumimu. Kamu belajar bukan untuk peringkat tapi karena kamu mencintai ilmu itu sendiri. Dan hal itu mempengaruhiku sampai ketika aku menuliskan hal ini untukmu dan untuk kalian. Aku banyak termotivasi darimu, meskipun kadang aku juga kesal padamu. Kamu ingat saat kamu membantuku belajar Bahasa Inggris berhari-hari ketika aku mempersiapkan olimpiade tingkat provinsi waktu aku kelas 3 SMA? Hingga aku bisa sampai di tingkat nasional? Dan setelah itu aku jatuh dari motor kemudian kamu rela meluangkan waktumu untuk antar jemput aku ke sekolah? Sejujurnya dan seharusnya tidak ada alasan untuk menyakiti dan mengecewakanmu, kamu begitu baik.

Aku terbiasa bersamamu saat itu. Banyak impian yang kita ciptakan bersama, membaca buku-buku yang sama, mendengar lagu-lagu yang sama, menyukai warna yang sama, dan menikmati kesempatan. Begitu banyak tentangmu, hingga aku tak tahu bagaimana cara menghapusnya satu persatu. Mungkin, jika kau tanyakan padaku seberapa banyak aku mengingatmu, aku jawab terlalu banyak hingga aku tak sadar bahwa aku pun sampai membandingkan orang lain denganmu.

---------------------------------

Dan kamu, perempuan yang begitu baik, aku ucapkan terima kasih atas perkenalan kita. Atas waktu-waktu yang kamu sempatkan demi menanyakan bagaimana kabarku. Maafkan aku jika terlalu keras bersikap padamu. Aku hanya tidak ingin kamu semakin sakit dan menjadi orang yang mudah mengeluh. Aku menyayangimu sebagai saudaraku sesama perempuan. Tulisan ini bukan untuk pembenaran sikapku, tapi hanya sejauh ini yang bisa aku lakukan. Maafkan jika aku egois membuat keputusan ini, aku hanya tidak ingin energiku terkuras lebih banyak untuk memikirkan semua ini. Kamu sudah tahu, bagaimana aku memutuskan untuk berpisah, mungkin aku telah menyakitinya, sahabatmu itu. Dan di setiap doaku, aku memohon agar kita semua bisa mendapatkan proses yang terbaik. Aku pikir, kita tidak perlu repot dengan persoalan yang pernah kita hadapi.

Kamu pun banyak memberikan banyak kebaikan dalam perjalanan hidupku. Terima kasih telah membuatnya tersenyum. Terima kasih untuk apresiasi perasaanmu terhadapnya. Aku tidak berpikir untuk merebutnya darimu, bahkan aku bahagia mengetahui bahwa dia pun menyayangimu, seorang perempuan yang ayu dan lemah lembut. Selama ini aku tidak menyadari bahwa sikapku menyakiti dan mengecewakanmu. Maafkan aku. Kamu adalah perempuan yang tegar dan kuat, janganlah menjadi perempuan yang cengeng, tunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi terlemah kita tetap kuat. Mari sama-sama belajar untuk tidak menyalahkan siapa-siapa jika kenyataan tidak sesuai rencana. Ini bukan untukmu saja, tapi untuk kita. Aku pun harus belajar ikhlas dengan jalan ini.

Terima kasih telah bersedia mengunjungi tempat tinggalku , begitulah adanya aku yang kamu lihat. Aku tidak selembut kamu, aku keras kepala. Bahkan ketika berbicara aku pun begitu keras. Aku bukan orang baik, aku hanya berusaha untuk menjadi baik. Maafkan aku atas sikapku selama ini. Aku salut padamu untuk penerimaan yang lapang atas kehadiranku dalam hidupmu. Aku yakin Allah punya rencana yang lebih baik. Wallahu A’lam.

-------------------------------------

Untuk kalian berdua, entah apa yang kalian pikirkan saat ini. Barangkali ketika kalian membacanya, rasa kesal kalian bertambah. Tapi kupikir aku harus membuat keputusan ini, karena kita semua harus bahagia. Aku pernah bilang: Suatu saat jika kita sudah lulus kuliah, kita bicarakan semua ini. Saat itu aku lapang menerima bahwa ada seorang kekasih dan aku bukan siapa-siapa. Aku hanya menikmati perjalanan. Dengan salah satunya pun aku bilang: biarkan kita menjadi diri kita sendiri, jangan dikekang, karena cinta itu membebaskan bukan mengikat. Tapi nampaknya sekarang berbeda, kita masing-masing terlalu egois dengan tendensi kita. Kondisi ini menyebabkan kita menjadi manusia yang lemah, tidak tegas, bahkan kita masing-masing menjadi pengecut yang tidak mampu mengakui kesalahan. Padahal sepertinya yang kita perlukan hanyalah kejujuran tentang kenyataan. Kemudian seharusnya kita sampaikan, karena diam tidak menyelesaikan masalah, yang ada hanyalah menumpuk kebencian. Sayangnya, kita tidak pernah jujur.

Untuk kalian berdua, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Demikian pun aku, maaf atas ketidakjujuranku dan keegoisanku. Aku pikir dengan bersaing mendapatkannya kembali, aku akan menjadi pemenang. Tapi itu salah, aku hanya akan menjadi pecundang yang tersenyum diatas rasa sakit orang lain. Aku memang salah, tapi bagiku kesalahan itulah sarana untuk belajar.

Inilah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan setelah kepercayaan itu mungkin makin memudar. Kalian bilang: Kalian tidak tahu harus percaya pada siapa. Aku sedih, karena aku ternyata begitu lemah dan untuk memupuk sebuah kepercayaan saja aku gagal. Membuat tulisan ini untuk kalian berdua, bagiku adalah jalan untuk tidak terus tenggelam dalam persoalan ini.

Saat menuliskan hal ini, bahkan saat kamu menyambangi tempat tinggalku, aku sudah tidak peduli apakah kamu, salah satu atau diantara kalian berdua benar-benar tulus datang karena rasa sayang. Tapi bolehkah aku ungkapkan kekecewaanku?
Kamu, sekuat perasaan dan logika setelah aku berpisah denganmu, aku yakinkan diriku bahwa suatu saat aku akan bertemu dengan laki-laki yang menghormatiku dan bisa menerimaku. Meskipun harus berusaha keras untuk tidak membandingkannya denganmu. Namun ketika kamu datang lagi, semua yang aku bangun seakan runtuh. Dan aku kecewa atas ketidaktegasanmu menghadapi semua ini. Apa kamu bangga dengan sikapmu? Merasa menyayangi dan disayangi, tapi secara tidak sadar kamu sedang menghancurkan perasaan? Tegaslah! Meski itu akan mencurahkan banyak air mata tapi yakin setelah itu rasa sakit bisa semakin cepat terobati.


Dan kamu, saudaraku perempuan, aku pun telah meyakinkan diriku, aku yakin bahwa kamu ternyata lebih membutuhkannya daripada aku. Aku tahu itu dari sikapmu (meskipun aku keras, aku masih perempuan). Aku telah sampaikan, silahkan kamu lakukan yang terbaik, cinta itu akan datang jika kita meraihnya tanpa obsesi. Tapi ketika kita mengejar cinta dengan pamrih untuk memenuhi obsesi, percayalah meskipun dekat, cinta itu akan lari. Setiap kali kita berkomunikasi seakan kau pun telah kuat untuk menerima semuanya. Tapi lagi-lagi, kenapa kau libatkan aku dalam perasaanmu? Tidak cukupkah waktu 3 bulan aku menghilang dan tidak mau membicarakannya? Aku kecewa, karena setiap kali aku meyakinkanmu bahwa hidup ini harus terus berjalan, dengan atau pun tanpanya, justru aku yang menjadi tersangka dan seolah-olah paling bersalah di mata kalian berdua.

Maafkan aku, aku tidak sedang melakukan pembenaran, aku hanya yakin bahwa masing-masing dari kita harus bahagia. Banyak hal yang yang harus dicapai, lalu kenapa masih membelitkan diri pada persoalan ini? Saat tulisan ini (mungkin) kalian baca, aku telah memutuskan untuk pergi dari kehidupan kalian. Aku tidak peduli apakah kalian sedang menjalin hubungan atau tidak, yang jelas aku ingin bahagia. Aku tidak mau terlibat. Mungkin ini egois, tapi bagiku jauh lebih baik daripada tidak bersikap. Jika sewaktu-waktu aku bertemu dengan kalian, aku adalah diriku, bukan bentukan atau pun tuntutan sikap dari kalian.

Kamu, aku berdoa untuk kebaikanmu, semoga impianmu untuk bisa mengabdikan diri bagi masyarakat bisa tercapai. Barangkali suatu saat kita bisa bekerkjasama untuk sesuatu yang lebih bermaslahat. Siapa sangka? Karena manusia hanya bisa berencana.
Dan kamu, aku pun berdoa semoga kebaikan-kebaikan selalu menyertaimu. Semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu impikan dan mandiri sesuai tujuanmu.

Kita harus sukses, harus bisa memberi manfaat bagi sesama maupun semesta. Aku memutuskan semua ini karena aku yakin Allah yang mempunyai rencana terbaik. Kita ikuti saja skenario sang Khalik agar kita bisa ikhlas. Setelah ini, aku fokus pada tujuan hidupku untuk mengabdi. Aku tahu, akan ada masa dimana aku tidak bisa menolak bahwa rencana Allah lah yang akan terwujud. Tapi ini adalah pilihan yang harus aku tentukan. Inilah perjalanan, dan aku tidak pernah menyesal dengan perjalanan. Aku menyesal karena selama ini kita terlalu picik dan munafik dengan apa yang kita pikirkan dan kita rasakan.

TERIMA KASIH DAN MAAF, aku yang akan mengalah dan pergi dari kehidupan kalian.
Kota Hujan, 12 November 2010
20:58

Senin, 03 Januari 2011

Thank You for Ever Hurting Me, I Learn a Lot

Dini hari 01.57 wib
2 januari 2010


“Jika kenyataan berjalan tidak sesuai dengan yang kita harapkan, maka belajarlah untuk tidak menyalahkan apapun dan siapapun.”

Sederet kalimat itu seperti menjadi salah satu pijakan langkah yang kutentukan. Gagal bukan berarti akhir, tapi tidak semerta-merta diartikan bahwa kegagalan adalah awal dari kesuksesan. Kita bisa belajar dari banyak hal, dari banyak sumber, dan setiap waktu. Termasuk belajar dari kegagalan, dari rasa sakit dan penderitaan, serta belajar bagaimana meraih kesuksesan ditengah-tengah rasa yang oleh kebanyakan orang diratapi.

“Thank you for ever hurting me, i learn a lot...”

Seorang sahabat mengupdate statusnya di facebook kurang lebih sembilan menit yang lalu. Terima kasih pernah menyakitiku, aku belajar banyak. Seketika saya tertarik untuk sedikit mengulasnya disela rasa jenuh mengerjakan studi pustaka untuk syarat penelitian di program studi yang saya ambil. Saya tidak tahu dari mana rasa sakit itu bersumber dan bagaimana prosesnya, yang jelas penggalan status itu membuat saya berpikir bahwa kehidupan itu tidak menjanjikan kepastian. Sesuatu yang kadang sudah dibangun dengan susah payah, penuh dengan perjuangan, dan mengorbankan banyak hal seketika bisa runtuh begitu saja. Itulah ketidakpastian. Kemudian kekecewaan muncul dan mendera perasaan, dunia seakan runtuh dan menimpa diri yang sedang ditimpa kesusahan. Heart break!

Menjadi bijak untuk menyikapi kondisi yang tidak pasti adalah sebuah pilihan, termasuk untuk menjadikan rasa sakit sebagai sebuah pelajaran berharga. Dengan sakit, berarti kita belajar untuk menghargai kebahagiaan, belajar untuk mensyukuri kenikmatan senang.

Thank you
Terima kasih, thank you, adalah sebuah ungkapan syukur yang seringkali menjadi hal sangat berharga. Ketika sakit mendera, ungkapan itu juga bisa ikut terkubur dan samar hingga tak diucapkan lagi. Padahal dengan mengucapkan terima kasih, kita bisa membuka satu pintu kelegaan untuk ikhlas menerima kondisi yang ada, baik yang sedang maupun yang telah terjadi.


For ever hurting me

Bagi saya ini adalah kata-kata yang sulit untuk diucapkan. Serupa serapah apabila tidak divokalkan dengan intonasi yang baik. Pada dasarnya yang menjadikan kita merasa bahagia, rindu, sakit, sedih, kecewa, atau perasaan lainnya adalah interaksi yang selama ini terbentuk dalam kehidupan. Melukai dan menyakiti seseorang juga kerap kali terjadi baik secara sengaja maupun tidak. Hanya saja, yang perlu diingat adalah setiap orang –sekuat apapun- pasti dia pernah sakit hati, pernah menyakiti dan merasa disakiti. Jadi, dunia tidak akan runtuh dia atas tubuh kita ketika rasa sakit itu menimpa. Manusia adalah ciptaan yang memiliki kekuatan untuk melawan keadaan.

Learn a lot
Andreas Harefa memberikan sebuah qoute yang bisa menginspirasi banyak orang, bahwa dewasa adalah growing up not growing older. Menjadi dewasa adalah sebuah ihwal yang juga merupakan pilihan. Untuk bisa belajar dari rasa sakit, belajar dari kegagalan, bersikap dan berpikir dewasa itu menjadi penting. Masalah memang perlu dihadapi sesuai porsinya, namun ketika kita bisa bersikap dan berpikir dewasa (growing up) maka permasalahan itu bisa dihadapi dengan adil. Menjadi dewasa adalah sebuah keniscayaan untuk belajar. Belajar lebih banyak untuk membuat manusia bisa memanusiakan dirinya sendiri. Sebab akal bercokol dalam diri manusia maka kita bisa menentukan cara untuk bersikap, menghadapi masalah dan rasa sakit sebagai sebuah pembelajaran.

Mari belajar untuk memetik hikmah dari setiap peristiwa. Tidak ada satu pun situasi yang tercipta tanpa solusi. Manusia adalah makhluk unggul, ketika kita bisa memanusiakan keunggulan kita maka semoga kita sedang belajar. Karena belajar adalah proses, hasil dari belajar adalah bonus.