Senja bermega merah kunikmati ditepian rasa bebas dan bersalahku sama Dito. Sebenarnya aku tak menginginkan semua itu terjadi. Menyakiti seseorang sungguhlah bukan niatku. Mungkin aku yang terlalu egois dan terlalu gegabah menanggapi perasaanku yang selalu ingin menang sendiri dan merasa selalu benar. Hah…aku menghela nafas dalam – dalam. Memoriku menerawang pada kejadian dua hari yang lalu.
Saat itu aku sedang menjejali otakku dengan tumpukkan tugas dari sekolah. Walaupun malam itu adalah malam minggu, tapi aku bertekad ingin menyelesaikan tugasku, karena aku ingin refresh hari minggunya. Lagian selama empat hari aku akan dihadapkan dengan kegiatan sosial di luar kota, sehingga otomatis aku tidak masuk sekolah. Siang sepulang sekolah aku sudah mengatakan kalau malam ini aku nggak pengen ketemu, mau belajar. Dito bersikeras ingin menemuiku, walaupun aku sudah menjelaskan alasan mengapa aku tak ingin bertemu dengannya.
“Kenapa Al? yang ada di otak kamu itu cuma belajar, belajar dan belajar. Aku kamu anggap apa ? Aku udah sering ngalah menuruti semua keinginan kamu. Tapi kamunya selalu cuek sama aku” ucap Dito marah padaku.
“Lo ngungkit semua Dit? Kapan kamu pernah ngalah sama aku ? kapan kamu menuruti semua keinginanku? Cuma diajak ke perpustakaan aja kamu nolak. Sekarang saat aku bilang kalau aku nggak mau ketemu, kamu maksa, itu artinya kamu nggak ngalah sama aku” timpalku mengimbangi dia.
“Oke! Terserah kamu, mungkin kamu nggak secerdas kamu, jadi akunggak bisa terus ngikuti kemauan kamu untuk baca, belajar atau apalah yang kamu sebut dengan hobimu” suara Dito semakin marah.
“Ah ! bodo amat!” teriakku sambil berlalu.
Aku berusaha melupakan kejadian siang itu pada malam harinya. Ah…ternyata begitu mudah untuk dilupakan walau sebentar – sebentar aku memikirkannya, tapi seperti biasa CUEK. Kalau dipikir, putus aja kali ya? pikirku saat itu. Tapi apa gue nggak terlalu kejam kalau mutusin Dito cuma karena hal yang begitu sepele seperti itu. Mungkin perasaanku yang terlalu kebal dan nggak bisa mengerti perasaan Dito. Tapi memang diantara kita berdua nggak ada kecocokan, ego kita sama – sama keras. Padahal kita baru jadian satu bulan. Kata orang, kalau orang baru jadian itu bawaannya romantis terus. Tapi antara aku dan Dito rasanya nggak tuh. Malahan kita semakin sering bertengkar.
Tiba – tiba terdengar suara pintu depan diketuk. Aku pikir pasti teman ayah yang tadi nelfon dan bilang mau datang. Aku bergegas membuka pintu. Dan…bagiku ini adalah hal yang terburuk yang pernah terjadi dalam malam mingguku. Dito datang dengan membawa sekuntum bunga dan dia berucap maaf kepadaku. Rasanya perut ini mual dan ingin sekali memuntahkan isinya, hatiku rasanya gondok banget, adrenalinku langsung naik. Seandainya aku nggak ingat kalau aku sedang di rumah yang tentu saja aku ggak enak sama ayah dan ibu, aku pasti sudah memaki atau bahkan ngusir dia mentah – mentah. Untung aku masih sadar kalau aku ada di rumah.
“Ada apa ?” tanyaku ketus padanya.
“Jangan sewot dong Al, aku mau minta minta maaf sama kamu. Soal tadi siang, aku ngrasa aku yang salah. Selama ini aku nggak pernah ngertiin kamu” jawab Dito.
“Aku sudah maafin kamu kok!”
“Bener? Makasih…Al” jawab Dito begitu bersemangat.
Aku langsung berpikir bahwa malam inilah yang terbaik untuk meminta putus dari Dito. Walaupun mungkin keputusanku terlalu cepat tapi kuyakin inilah yang terbaik, bagiku maupun Dito. Aku mengajaknya masuk, dan tentu saja tamu adalah raja, aku buatin minum.
Aku ngajak dia ke ruang belajarku yang sekaligus adalah ruang perpustakaan pribadiku. Aku yakin Dito tak begitu suka kuajak kesini. Tapi itulah yang aku inginkan agar dia cepat pamit. Aku asyik mengerjakan tugas sekolah dan kubiarkan dia duduk gelisah di hadapanku. Rasanya aku ingin tertawa melihat dia yang seperti sudah nggak betah, dan semoga dia cepat berkata padaku bahwa dia sudah ingin pulang.
Hampir aku seperti menghitung tiap detik, tapi Dito nggak pamit – pamit. Aku sudah bosan menunggu dan rasa marahku padanya semakin memuncak. Akhirnya aku yang berbicara duluan padanya.
“Dit, kamu sayang sama aku?” tanyaku membuka.
“Ya iya dong Al!” jawab Dito sambil tersenyum padaku. Memuakkan.
“Kalau benar – benar lo sayang sama aku, bisa nggak…” ingin rasanya aku mengucapkan kata putus, tapi rasanya aku tidak sanggup. “Bisa nggak ngebiarin aku konsentrasi dengan pekerjaanku” aku melanjutkan kata – kataku, mengurungkan niatku untuk memutuskannya.
“Tapi Al, aku ke sini pengen ketemu kamu. Aku pengen ngejelasin semuanya sama kamu. Kenapa sih Al? kamu nggak bisa sedikit saja ngertiin perasaan aku?” Dito menjawab.
Heh, rasanya greget banget mendengar perkataan Dito. Aku menariknya keluar rumah. Aku ajak dia ke tempat dimana kita jadian tepatnya sebulan yang lalu. Aku duduk. Kami berdua sama – sama diam. Tapi otakku sedang berusaha keras untuk menata kata – kata yang tepat. Dit, aku minta maaf. Ah nggak cocok. Dit aku tahu hubungan kita nggak berarti apa – apa. Ah nggak pantas. Aha! Akhirnya ada juga yang bagiku pantas banget dan lumayan sopan.
“Dit, ingat nggak waktu kita jadian? Kamu bilang kamu bakal ngertiin aku, jaga aku…” aku mulai bicara. Dito mengangguk, memandangku. “Waktu itu aku bahagia banget mendengarnya.” Dito tersenyum padaku. Tapi semakin aku melihat senyumnya aku merasa muak.
“Alya aku juga ingat waktu itu kamu sampai nangis kan?” ucap Dito. Sialan! Batinku padanya. Masak dia buka kartu. Aku hanya mengangguk sambil menahan perasaan.
“Tapi Dit, kenyataannya?”
“Apa Al?”
“Kenyataannya lo nggak pernah ngertiin aku, lo ngak pernah jaga aku, nggak pernah merhatiin aku” aku emosi dan rasanya kata – kata itu keluar begitu saja alias bukan yang aku rancang.
“Alya!” Dito kaget mendengar perkataanku.
“Kamu nggak perlu heran Dit, aku paling benci dikekang, orang tuaku aja nggak pernah ngekang. Kamu? Aku cuma mau belajar Dit. Tugasku banyak. Empat hari aku harus nggak sekolah.”
“Gimana aku bisa tahu seabrek kegiatan kamu. Kamu nggak pernah ngasih aku waktu untuk tahu. Kamu selalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Apa selama ini kamu juga pernah tahu apa saja urusanku? Apa saja masalahku? Enggak Al, nggak pernah. Dasar egois” aku nggak nyangka kalimat itu yang akan keluar dari mulut Dito.
“Apa penting Dit? Ada pentingnya ya kalau aku nanya kamu mau pergi ke mana sama teman – teman kamu? Selama aku sama kamu apakah kamu nggak berpikir untuk berubah? Aku ingin kamu berubah menjadi Dito yang sebenarnya. Bukan Dito yang urakan, bukan Dito yang merasa besar dengan nama gengnya.”
“Ah! Terserah lah. Aku memang nggak pernah bisa ngerti apa mau kamu” akhirnya Dito menjawab dan pergi meninggalkanku.
“Kamu memang nggak pernah ngerti apa mauku. Karena kamu nggak pernah mau tahu” aku berteriak. Tapi Dito sudah hilang ditelan keremangan malam. Aku kembali ke rumah menuju ruang belajarku. Marah, gondok, sebel, sedih, senang, bercampur jadi satu dalam benakku. Anehnya aku masih bisa konsentrasi melanjutkan mengerjakan tugasku. Bodo amat dengan semua yang baru terjadi.
***
Aku tersadar dari lamunanku tadi, nggak terasa ternyata sudah azan maghrib. Tanpa kusadari aku melamun hampir setengah jam.
“Alya ke masjid yok!” ajak Isna teman akrabku di OSIS yang saat ini sedang bersama melaksanakan kegiatan sosial dari sekolah di sebuah desa terpencil. Aku mengangguk dan berlari ke arahnya. Seusai salat, kami makan malam bersama di rumah kepala desa setempat. Aku memang pendiam, jadi aku hanya senyum kalau ada temanku yang membuat lelucon saat kami makan. Entah kenapa sejak aku melamun tadi pikiranku jadi terfokus pada Dito. Bahkan hingga saat ini.
“Kamu kenapa Al? dari tadi kulihat seperti ada yang sedang dipikirkan. Dito ya?” tanya Isna padaku selepas dari rumah pak kades. Aku mengangguk. “Sudahlah Al, pasti saat kamu pulang nanti sikapnya sudah berubah” hibur Asti padaku. Aku tersenyum, mungkin memang salahku kenapa aku mau jadi pacar Dito yang nota bene anggota geng yang sudah terkenal di sekolah dan suka bikin onar. Tapi aku ingin merubahnya, karena aku tahu dia sangat berpengaruh dalam geng itu.
Akhirnya saat tidur tiba. Dari tadi aku memang ingin merebahkan badanku, rasanya lelah banget seharian ini. Aku tertidur pulas setelah sebelumnya nelfon ayah sama ibu. Sekitar tengah malam aku terbangun karena handphone ku berdering.
“Halo, Assalamu’alaikum…” sapaku.
“Alya ya?” Tanya suara di seberang sana dengan tergesa – gesa.
“Iya” aku menjawab santai.
“Al, ini Adit teman Dito. Dito kecelakaan, dia terus mengigaukan nama kamu. Sekarang kamu di mana?” Tanya Adit.
Rasanya aku sudah tidak bisa bergerak lagi. Seluruh tubuhku lemas. Tak kuhiraukan lagi suara Adit yang kudengar dari handphone ku. Aku seperti setengah sadar, benar – benar seperti bermimpi ketika mendengar kalu Dito kecelakaan. Aku mulai menangis dan tak bisa kutahan sama sekali hingga sesenggukan. Suara tangisku menyebabkan Isna dan teman – teman cewek yang lain terbangun.
“Kamu kenapa Al?” tanya Isna panik melihat aku menangis.
“Dito, dia…” rasanya sulit sekali kukatakan karena tenggorokanku seperti tersumbat.
“Dia kenapa? Ngancam kamu?” tebak Isna.
“Dia kecelakaan, tadi Adit, temannya nelfon aku. Aku takut kalau semua ini gara – gara aku. Apalagi tadi Adit bilang kalau dia terus mengigaukan namaku. Aku harus ke sana Is.” Aku menceritakan tentang keadaan Dito pada Isna dan teman – teman yang lain. Isna memelukku dan menenangkan aku.
“Kamu boleh ke sana tapi besok saja ya, sekarang sudah tengah malam. Apalagi jalan yang dilalui adalah hutan. Pemukiman penduduk cuma ditemui delapan kilometer dari sini. Aku khawatir akan terjadi apa – apa.” Cegah Isna ketika aku memaksa untuk tetap pergi menjenguk Dito saat itu juga. Aku mencoba menuruti kata – kata Isna. Kemudian aku merebahkan tubuhku kembali. Tapi aku tetap nggak bisa untuk menahan sampai keesokan harinya. Aku takut sesuatu yang fatal bakal terjadi. Apalagi aku masih merasa bersalah pada Dito. Walaupun aku sempat benar – benar muak padanya, tapi aku toh pernah menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman dengannya. Jadi aku nggak mungkin membutakan mataku begitu saja untuk melupakannya. Mungkin sekarang Dito benar – benar membutuhkan kehadiranku.
Otakku masih berusaha keras untuk mencegah keinginan hatiku supaya pergi saat ini juga. Tiba – tiba handphone ku berdering lagi. Nomor yang sama, yang dipakai Adit kurang lebih setengah jam yang lalu.
“Hallo…” tenggorokanku tercekat begitu saja ketika menyapa panggilan tersebut.
“Ini Adit lagi. Please Al, kamu secepatnya ke sini. Keadaan Dito kritis banget. Dia sangat butuh kehadiran kamu” Adit memohon padaku. Aku tak menjawab. Langsung kututup panggilan itu. Keringat dinginku keluar deras. Aku langsung mengenakan jaket dan mencari kunci motorku. Tanpa pamitan pada semua teman – teman yang bersamaku. Aku pergi. Pikiranku benar – benar kalut, pamitan pun pasti tak diizinkan.
Aku mengendarai motor sendiri. Mencoba menerobos gelapnya malam dan dinginnya udara dini hari di tengah – tengah jalan yang berada diantara hutan lebat. Entah ada kekuatan dari mana, yang jelas dalam pikiranku saat ini hanya ada tentang Dito. Rasa bersalah dan takut kalau yang menyebabkan Dito kecelakaan adalah aku. Aku mngendarai motorku lebih kencang lagi. Tanpa terasa sudah separuh dari jalan yang dipagari hutan lebat kulalui. Tapi…rasanya aku ingin menangis dan ingin berteriak sekeras mungkin agar ada yang mendengarku. Bensinnya habis. Motorku tak dapat berjalan lagi. Mustahil untuk melanjutkan perjalanan tanpa kendaraan, pasalnya baru sepertiga perjalanan kutempuh. Aku hampir putus asa, apalagi aku berada seorang diri di tengah jalan yang dibentengi ribuan pohon. Aku merasa was – was.
Lalu tiba – tiba aku ingat kalau aku bawa handphone, kuraba saku celana, nggak ada, aku mulai panik, kubuka tas dan sungguh lega ternyata ada di dalam tas. Setidaknya dengan handphone ini aku dapat menghubungi seseorang. “Oh Good!” aku terperanjat, nggak ada signal sama sekali. Aku semakin panik, segala pikiran yang buruk tentang sesuatu yang agak mustahil merasuki otakku. Jangan – jangan ada sesuatu yang bakal menimpaku di tengah – tengah jalanan ini, atau juga jangan – jangan Dito nggak bisa bertahan. Walaupun aku mencoba menguatkan hatiku, tapi teramat berat.
***
Hampir dua jam aku berpikir keras dan mondar – mandir siapa tahu ada signal. Di sebelah barat, nggak ada. Sebelah timur, juga nggak ada. Sebelah utara nihil. Sebelah selatan, pupus sudah harapanku. Tapi, tiba – tiba ada deru suara motor dari arah utara. Aku takut dan buru – buru bersembunyi di balik pohon. Benar saja motor tersebut berhenti tepat di depan pohon dimana aku bersembunyi. Nafasku sudah tak karuan, apalagi pikiranku saat ini. Ah…penat rasanya ingin mati saja daripada mengalami sesuatu yang menakutkan.
“Alya…! Kamu dimana Al?” panggil seseorang.
Otakku mulai bekerja, berpikir suara siapa tadi yang memanggil. Setelah bolak – balik mikir disela – sela kepanikan, “Angga! Ya itu suara Angga” gumamku lirih setelah mengetahui kalau suara yang kudengar adalah suara Angga, ketua OSIS yang merupakan ketua rombongan dari acara kegiatan sosial yang aku ikuti.
“Alya…ini aku Angga, kamu dimana?” suara itu berulang.
Aku keluar dari persembunyianku. Mencoba menajamkan mataku melawan hitamnya malam supaya aku dapat memastikan bahwa suara tadi adalah suara Angga. “Syukurlah” ucapku lega ketika orang yang memanggilku benar – benar Angga.
“Angga” panggilku ketika aku berada di hadapannya.
“Alya, kenapa kamu nggak pamit? Lalu kenapa juga kamu berhenti di tengah – tengah jalan kayak gini? Bahaya Al…” Angga khawatir.
“Bensinku habis, aku nyoba hubungi Isna tadi tapi nggak ada signal di sini. Tadi aku sembunyi takut kamu tukang begal dan bakal membunuh aku” jawabku jujur.
“Harusnya kamu beritahu aku atau yang lain kalau mau pegi. Kita di sana itu panik banget mikirin kamu” ucap Angga sambil memegang pundakku.
“Maaf Ngga, tapi ini darurat. Aku pikir percuma saja aku pamit, pasti nggak akan diizinkan. Sekarang antar aku ke rumah sakit Ngga, aku nggak mau terlambat” pintaku pada Angga.
Akhirnya Angga mengantarku.
***
Azan subuh sudah berkumandang ketika aku tiba di rumah sakit. Aku langsung bertanya pada resepsionis. Di depan kamar tempat Dito dirawat terlihat sepi. Aku berjalan takut – takut. Kuintip dari pintu, di dalam begitu banyak orang. Orang tua Dito dan teman teman Dito se genk. Aku masuk dan semua mata tertuju padaku. Kulihat mama Dito menangis di pelukan papa Dito. Teman – temannya pun diam. Aku takut, was – was, bahkan aku tidak menghiraukan Angga yang mengantarku. Aku larut dalam perasaanku sendiri.
Ketika aku melihat Dito terbaring di bangsal dalam keadaan yang sangat memperihatinkan, aku tak kuasa menahan air mataku. Aku menghampiri Dito dari dekat, di sebelahnya. Dito tak sadarkan diri, tapi sesekali kudengar dia mengigaukan namaku. Air mataku mengalir semakin deras. Kupegang tangan Dito, aku berdoa agar dia segera sadar dan membuka matanya melihatku ada di sampingnya. Rasanya begitu lama aku menunggu Dito sadar, tapi kurasakan di telapak tanganku seperti suatu sentuhan. Jari Dito bergerak, dia sadar.
“Dito” ucapku lirih hampir tak terdengar bahkan oleh diriku sendiri.
“Al…ya” panggil Dito lemah. Belum sempat kujawab orang tua Dito sudah menghampiri. Aku biarkan Dito memegang tanganku, belum pernah kurasakan dia begitu kuat memegang tanganku seperti saat ini.
“Papa, Mama, Alya” ucap Dito
Aku mengangguk pelan sambil terus menangis. Mama dan papanya memeluk.
***
Walaupun keadaan Dito masih begitu kritis, tapi semua yang ada di situ termasuk aku merasa lega karena dia sudah sadar. Tapi tiba – tiba saja detak jantungnya lemah dan dia menggenggam tanganku semakin kuat.
“Al, maaf atas semua” ucapnya padaku sambil memandangku. Aku mengangguk miris melihat betapa sulitnya dia berbicara.
“Aku sayang sama kamu” itulah kata terakhir yang aku dengar keluar dari mulut Dito setelah dia sadar. Karena setelah itu dia kembali tak sadarkan diri.
Tim dokter langsung menanganinya, aku bahkan nunggu sampai siang. Hampir jam sepuluh siang ketika tim dokter keluar dari kamar rawat Dito. Benar – benar seperti petir yang menyambarku di siang bolong ketika kudengar bahwa Dito telah kembali ke pangkuanNya. Kakiku seperti lemas tak bertulang. Aku langsung terduduk dilantai tak menghiraukan teman – teman Dito yang menenangkanku. Aku merasa begitu bersalah, merasa bahwa yang menyebabkan semua ini adalah aku. Ternyata memang kata – kata yang terakhir Dito ucapkan benar – benar kata yang terakhir kudengar darinya. “Dito, maafkan aku” batinku. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi karena aku pingsan. Bahkan aku tidak ikut ke pemakaman Dito. Yang aku tahu setelah aku sadar, banyak sekali orang di sekelilingku, mereka teman – temanku dan juga teman – teman Dito. Aku tak bisa berkata apapun karena aku masih teringat terus dengan Dito yang belum lama pergi.
***