Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Minggu, 28 Desember 2008

Abad Prahara Ramalan kehancuran Ekonomi Dunia Abad Ke-21 (Resensi Buku Untuk TechnoMagz Edisi II, Bagian 2)

Judul : Abad Prahara
Ramalan kehancuran Ekonomi Dunia Abad Ke-21
Penulis : Alan Greenspan
Penerjemah : Tome Beka
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2008
Halaman : 555 + xxviii
Harga : Rp 100.000,-

Pada bulan Oktober 2008, dunia digegerkan dengan isu krisis keuangan global. Ternyata hal tersebut bukanlah sekedar isu isapan jempol. Perusahaan
Keuangan Amerika bangkrut karena investasi mereka tidak mampu
menghasilkan hasil yang kompetitif seperti yang dijanjikan. Sebagai negara adikuasa, keadaan negara yang seperti itu berpengaruh pada kondisi ekonomi dunia. Resesi ekonomi sebesar itu belum pernah terjadi dalam sejarah Amerika. Seperti yang terungkap dalam buku ini, sebuah otobiografi Alan Greenspan. Di dalamnya dibahas tentang sepak terjang penulis selama masih menduduki jabatannya sebagai ketua Dewan Gubernur Bank Sentral Amerika periode 1987-2006. Ia telah memandu ekonomi melewati era kekacauan menuju tingkat pertumbuhan yang luar biasa. Di bawah pengawasannya, ekonomi Amerika Serikat hanya mengalami dua resesi singkat. Greenspan layak dinobatkan sebagai pejabat publik yang sukses.
Buku ini cocok sebagai sebuah referensi bagi siapa saja yang ingin mengetahui bagaimana sosok Alan Greenspan dalam menuntun arah ekonomi Amerika Serikat. Serta sebagai sebuah bacaan yang cocok bagi kalangan ekonom, akademisi, dan siapa pun yang ingin mengetahui tentang ekonomi Amerika Serikat dan mengapa sangat mempengaruhi perekonomian dunia. Selamat membaca!

CHAMP!ON 101 Tip Motivasi & Inspirasi SUKSES Menjadi Juara Sejati (Resensi Buku untuk TechnoMagz Edisi II, Bagian I)

Judul : CHAMP!ON

101 Tip Motivasi & Inspirasi SUKSES Menjadi Juara Sejati

Penulis : Darmadi Darmawangsa

Penerbit : PT Elex Media Komputindo

Terbit : Agustus 2008 (Cetakan ke-6)

Halaman : 336 + xxiii

Harga : Rp 99.800,-

Hidup laksana sebuah arena pertandingan. Siapa mampu bersaing maka dialah yang akan menjadi juaranya. Setiap manusia pastinya ingin memperoleh kesuksesan dalam hidupnya. Namun rasa lelah, mudah mengeluh, putus asa, dan menyerah begitu saja kadangkala menjadi penghambat seseorang untuk menjadi sukses dan muncul sebagai pemenang. Manusia membutuhkan motivasi untuk dapat memompa semangatnya menuju kesuksesan itu. Sebenarnya motivasi itu tidak perlu jauh-jauh dicari karena banyak peristiwa di sekitar kita sebenarnya mampu dijadikan sebuah pelajaran untuk terus berusaha.

Buku yang ditulis oleh Darmadi Darmawangsa, seorang motivational speaker ini, di dalamnya bisa ditemukan kisah-kisah yang sarat dengan pelajaran dan motivasi. Penulis berusaha menuntun pembaca untuk memperoleh semangat dan selalu berpikir untuk menjadi pemenang. Champ!on menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Isinya yang berupa inspired story, refleksi diri, teguran, serta cara berpikir mengenai tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai kesuksesan memberikan cara perenungan tersendiri bagi pembaca. Ada 101 pelajaran untuk menjadi seorang juara yang dapat diperoleh dari buku tersebut. Selain itu pembaca juga dapat menuliskan apa yang ada dipikirannya dalam beberapa bab yang menyuguhkan latihan. Buku ini dilengkapi dengan CD yang menjelaskan tentang isi buku juga motivasi langsung dari penulisnya.

Buku ini tepat bagi siapa saja yang merindukan pencapaian kesuksesan yang besar. Cocok bagi siapa pun yang ingin menjadi juara dan ingin mendapat motivasi untuk mendukung pencapaiannya itu. Kesuksesan sudah selayaknya kita dapatkan, karena setiap orang dilahirkan untuk menjadi juara. Maka beranilah bermimpi, karena mimpi menuntun pada pikiran dan pikiran menuntun pada perbuatan. Selamat menjadi pemenang!

Kamis, 11 Desember 2008

Makna Kehadiran

Dirimu adalah salah satu bagian dari kenangan terindah dalam hidupku. Mengenalmu, menyukaimu, menyayangimu, mencintaimu, membencimu, bahkan berusaha melupakanmu adalah takdir Tuhan dan kesempatan yang aku (dan kamu) ciptakan. Maksudku pernah kita ciptakan. Aku pernah begitu ingin mengenalmu, mendekatimu dengan bahasa hati, membuatku merasakan rindu yang bergelegak seperti air seratus derajat celcius. Aku pernah merasa ingin memilikimu, dengan segenap keyakinan akan kebenaran rasa. Demikian, hingga aku mengerti bahwa semua itu tercipta sebagai sebuah proses. Dan sekarang, ketika kau telah berbeda haluan denganku. Setelah tak ada lagi kesempatan untuk mencipta kesempatan meski dengan begitu halus, aku berdoa semoga simpul dalam hati kita masing-masing telah kuat dengan apa yang kita pilih. Sehingga meski aku hanya bisa memilikimu dalam rasa, namun tetap ada yang terikat dalam hati kita. Makna kehadiran yang telah lalu dan telah berlalu. Tapi akan selalu ada dan berada pada tempatnya. Di ruang yang tepat, dengan bahasa yang telah diniat, hingga rasa tak membuat kita sesat.

KONTEMPLASI TAK SENGAJA

Suatu hari di Mushola GMSK

Rasanya sudah begitu lama aku tak terpekur di dalam mushola untuk menunggu tibanya waktu sholat. Hari ini aku berada di sebuah mushola, untuk menunggu praktikum dimulai pukul 15.30 WIB nanti. Aku duduk di mushola sambil membaca dan sesekali menyahuti pertanyaan temanku. Ada beberapa orang yang sudah berada di sini, berkutat dengan pikirannya masing-masing. Aku sendiri merasa begitu tenang walaupun mushola ini tak mewah. Mungkin karena intensitas kedatanganku ke mushola dengan sengaja untuk menunggu waktu sholat sudah bisa dihitung dengan jari. Jadi bagiku, sore ini merupakan waktu yang begitu luar biasa. Ya kerana memang beda dari biasanya. Di balik hijab sana aku dengar beberapa orang membaca Al-Qur’an. Begitu hidmat kudengar alunannya yang senada. Menentramkan hati, membuat kesejukan di telinga ini. Ya Allah, rasanya begitu lama aku telah jauh. Begitu lama kau merasa nyaman dengan apa yang kujalani. Namun sesungguhnya, ketenangan adalah ketika aku mengingat-Mu.

Ke Mana Pergimu Siang Itu?

Aku tak melihatmu siang itu

Siang di tengah guyuran hujan

Yang masih bersahabat dengan sang mentari

Aku tak melihatmu siang itu

Padahal biasanya kau telah ada

Sebelum aku datang ke tempat itu

Tempat di mana kau biasa berdiri bersamaku

Tempat yang tak pernah membedakan

Apa dan bagaimana keadaan kita

Kita bisa tetawa bersama

Sampai perut kaku

Kita juga bisa menangis

Sampai akhirnya tersenyum kembali

Tapi aku tak melihatmu siang itu

Ke mana pergimu?

Apa kau lupa bahwa hadirmu kunanti siang itu?

Kau selalu berjanji untuk datang

Namun kurasa kau telah lupa akan janjimu

Biasanya kau berdiri di tempat ini

Tempat kau jejakkan kaki

Saat ada rasa sesak begelayut di hatimu

Saat ada kebimbangan

Menghantui ruang jiwamu yang tak bisa kusebut kosong

Saat ada keraguan menari-nari dipelupuk matamu

Tapi kau tak ada siang itu

Apa berarti kau sedang bahagia?

Padahal bukan itu saja

Saat kau bahagia pun kau bagi denganku

Di saat siang yang berhari sama seperti siang itu

Tapi kau tak membagi kebahagianmu untukku

Apa kau lupa akan janjimu untuk menemuiku?

Lalu ke mana pergimu siang itu?

Jika Kau Memberi, Gunakan Hatimu


Suatu hari saat pulang kuliah, aku berjalan menyusuri jalanan yang tak bisa kusebut sebagai jalan raya. Ya sekitar setengah ukuran dari jalan raya yang sebenarnya. Beberapa angkot saling menyalib secara berlahan,membuatku harus benar-benar berjalan di pinggir dekat got-got yang tak terputus. Mengapa angkot-angkot itu tak mau mengalah sedikit saja? Apa karena kehidupan jalan penuh persaingan? Aku singgah sebentar menyambangi gerobak yang selalu mangkal di pinggir jalan setiap habis ashar. Gerobak nasi kuning yang kata temanku rasanya terenak di dunia. Aku mendekati setuju kana pernyataannya, walaupun cenderung terlalu hiperbolis. Tapi nasi kuningnya emang enak, murah, pokoknya kocek mahasiswa banget dah!!

Saat sedang menunggu ibu penjual membungkuskan pesananku berupa nasi kuning dan konco-konconya (lauknya geto), ada seorang ibu yang berumur sekitar 45 tahunan mendekatiku. Pakaiannya tak cukup pantas untuk kubilang lusuh, dia menenteng kresek hitam. Lalu saat itu, dia menadahkan tangan padaku. Aku diam, kemudian ibu tersebut bilang “Neng, minta sumbangan Neng” tapi kau tetap saja tak bergeming dari posisiku. Aku tak tergerak untuk mengulurkan tanganku. Sampai akhirnya ibu itu pergi, tanpa pemberian dariku atau pun orang-orang yang sedang ada bersamaku di dekat gerobak itu.

Setelah pesananku siap, aku membayarnya dengan tiga lembar uang ribuan yang aku taruh di anakan tasku. Lalu aku lanjutkan berjalan, tetap mepet dengan got-got bau itu. Sekitar 10 meter kakiku melangkah, aku kembali bertemu dengn ibu yang meminta-minta tadi. Hal yang sama sedang dia lakukan di depan sebuah tempat bimbel. Kuamati sebentar, tetap saja, orang-orang yang berada di sana juga sama sekali tak tergerak untuk mengulurkan tangan walau sekedarnya. Sama seperti apa yang kulakukan. Aku hanya mengamati sampai di situ dan aku kembali berjalan menuju rumah kontarakanku. Di perjalanan setelah itu, aku jadi berpikir tentang apa yang tadi aku lakukan terhadap ibu itu. Sesungguhny akau tak melakukan apa-apa. Bahkan aku empatiku mati rasa oleh pikiran bahwa pakaian ibu itu tak lusuh. Tak pantas untuk meminta-minta. Padahal keadaan orang lain siapa tahu? Harusnya kau ingat bahwa tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tapi samasekali nuraniku tak tergerak. Pikiranku tertutupi oleh stereotype bahwa mereka yang meminta-minta tak selamanya benra-benar membutuhkan. Harusnya aku menggunakan hatiku agar aku mampu erempati. Seandainya kau yang berada di posisi ibu itu. Mungkin sebenarnya dia malu untuk meminta-minta, tapi keadaan mendesaknya. Harusnya aku bisa memberikan sebagian rejeki yang aku miliki, seandainya tadi aku menggunakan hatiku, bukan pikiranku semata.