Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Selasa, 22 Maret 2011

SENIMAN SAINS: A SIMPLE SHARE WITH ChiMotZ

Hari sudah menjelang dini, barangkali fajar sedang berdandan dan bersiap untuk menampakkan diri beberapa jam lagi. Seperti biasanya, saya masih terjaga menikmati detail insomnia yang tanpa disadari menjadi kebiasaan. Dan, rasa-rasanya membuka facebook adalah menjadi pilihan yang tepat, sekedar untuk melihat siapa yang masih bisa diajak ‘berbicara’, membaca komentar di notes, serta menclok sana-sini mengetahui apa yag ada di pikiran orang-orang yang masuk dalam jalinan teman.

Dan tanpa disengaja, saya bertemu dengan satu manusia ini di kotak chat facebook. ChiMotz Gilbert Rockn’tolz, agak ribet juga mengeja namanya, tapi familiarnya ChiMotz. Musisi yang pernah saya lihat penampilannya di acara RASSA (Ruang Apresiasi Seni dan Sastra) edisi I (entah, saya lupa tepatnya kapan).


Barangkali hanya tulisan sederhana yang bisa saya tuangkan disini, tapi beginilah....

Seni itu universal, bisa ditekuni, diapresiasi, dan dinikmati oleh siapa saja. Pelaku-pelaku seni layaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengabdikan diri untuk negara. Pelaku seni juga mengabdikan diri dan pemikirannya untuk seni. Saya sendiri hanyanyalah seorang penikmat yang bagi saya seni itu menghibur, menenangkan dan membuat saya merasakan. Seni itu soal rasa bagi saya. Suatu kali saya pernah berbincang dengan seorang sahabat yang pandai menarikan jari-jarinya di antara senar gitar. Saya mengagumi jari-jari lincah itu, dan.... lagi-lagi saya hanya bisa menikmatinya. Berkali-kali latihan tetap saja kaku. Salah satu direktori di komputer saya penuh dengan file musik dan setiap saat saya bekerja (menulis, membaca, bahkan saat duduk-duduk saja), musik menjadi teman setia yang kehadirannya saya wajibkan. Tapi lagi-lagi saya hanya bisa menikmatinya, sedikit saja saya mencoba mendendangkan atau menyanyikan lagu, pasti muncul komentar: “Asih, kamu harus membedakan mana bernyanyi dan mana berdebat. Suara kamu lebih cocok untuk menjadi orator atau pembicara.” Itu adalah salah satu komentar dari sahabat saya yang selalu saya ingat. Tapi bagaimana pun, saya menyukai musik, menikmati seni.

Dan obrolan ringan dengan ChiMotz, menuntun saya untuk menuliskan hal ini. Seniman, siapa pun dia, akan tergerak untuk menciptakan karya-karya yang biasanya berasal dari hasil kontemplasi atas fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Musisi, diberikan kepekaan terhadap nada oleh sebab itu penciptaannya pun ada nada-nada yang tersusun apik. ChiMotz, begitu panggilannya, menjadikan musik sebagai media untuk menyampaikan apa pun.


“Hemmm, love music love life, meskipun saya cuma bisa jadi penikmat” jari saya mengetikkan kata-kata itu di kotak chatt.


“Justru anda beruntung bisa menjadi penikmat, pelaku seni tidak bisa sepenuhnya menikmati seni” katanya.


“Kira-kira kenapa bisa seperti itu?” saya tergerak untuk menanyakan alasannya.

“karena otak pelaku selalu terganggu oleh keinginan menganalisa ketika ia mendengar, melihat, merasakan, seni-seni yang baru. Itu yang saya rasakan” ChiMotz menjawab.

Tiba-tiba saya jadi ingat ciri-ciri ilmuwan, seorang ilmuwan adalah dia yang selalu gelisah hatinya, terganggu pikirannya ketika menemukan realitas fenomena. Hummm, nampaknya ada persamaan antara seniman dan ilmuwan. Sepertinya bisa jadi resiprositas, seniman adalah ilmuwan, ilmuwan adalah seniman.

“Seniman sama seperti ilmuwan, keduanya sama-sama mudah terganggu dengan hal yang baru” saya menyatakan hal ini.

“Kira-kira begitu khususnya musik untuk saya.”

“Bagaimana dengan ilmuwan?”

“Seniman sains mungkin, karena ilmuwan adalah seniman juga, cuma kurang familiar saja jika ilmuwan disebut seniman saja. Baik seniman maupun ilmuwan, keduanya sama-sama mengkomposisikan hal-hal baru” kata ChiMotz.


Obrolan singkat dengan ChiMotz membuat saya jadi berpikir, se-fals apapun suara saya, sekaku apapun jemari saya yang kesulitan belajar gitar, saya bersyukur bisa menikmati seni. Cukuplah menekuni apa yang kita cintai, kerjakan dengan sungguh-sungguh, karena setiap kita adalah seniman. Setiap jiwa adalah seni sebab Tuhan pun menciptakan jiwa-jiwa manusia dengan komposisi keindahan yang bermakna seni.


Untuk ChiMotz, senang bisa share dengan calon komposer handal :)... jangan lupa request saya ya: aransemen musik yang menyampaikan suara hati petani di negeri ini.

Bogor, 22 Maret 2011

Minggu, 13 Maret 2011

Ketika Lelaki Menangis


Ketika lelaki menangis, katanya seperti hujan yang tiba-tiba turun saat matahari sedang bersinar begitu cerah. Barangkali tak seironis itu, setiap jiwa punya batas rasa, kupikir. Laki-laki atau pun wanita punya cara untuk meluapkan emosi, dan jika menangis bisa membuat kita tergerak untuk lebih baik, maka jika laki-laki menangis, itu bukan hal yang tabu. Menangislah, sahabatku, karena menangis itu menandakan bahwa kamu punya hati yang lembut, hati yang peka dengan peristiwa di sekitarmu.

Jika suatu waktu kamu perlu bahuku untuk sandarkan tangismu, kamu tak perlu ragu untuk memintanya. Kau pun boleh menangis semaumu, asal setelah itu kamu tersenyum seperti biasa. Kamu tahu kan? Bahwa senyum adalah pesan terhangat yang begitu cepat sampai dan cepat mendapat feedback. Ketika air mata jatuh dari pelupuk matamu, tak perlu segan menunjukkan padaku. Kau sedang membasuh hatimu yang terasa gersang. Setelah ini kau akan mendapatkan kelegaan dan kerelaan akan sesuatu yang kau hadapi. Yah, kau boleh jadikan aku sebagai katalisator untuk menetralisir perasaan sedihmu.

Ini malam, saat aku bertemu denganmu, seperti sebuah ketiba-tibaan yang kita rencanakan. Kamu masih dengan senyum sperti biasa, senyum sahaja yang menenangkan. Kutepuk bahumu, berharap bahwa satu tepukan itu mampu membuatmu tahu bahwa aku ada, sebagai sahabatmu dan siap mendengar kesahmu.

“Santai” kataku.

“Aku sedang tidak bisa santai untuk saat ini” jawabanmu datar.

“Baiklah, aku tak memaksamu, ini saran” aku miris mendengar jawabanmu.

Hemm, kau tersenyum lagi, simpul temali yang masih kuat. Kau masih dengan jiwa dan kharismamu. Kau tahu? Betapa membahagiakannya ketika kita bertemu dengan orang yang tersenyum tulus pada kita? Dan aku begitu bahagia melihat senyummu.

Aku berbeda denganmu, karena kamu lelaki yang barangkali tak suka dengan cara perempuan menyelesaikan gundah. Hanya saja, justru aku yang ketakutan menjadi teman bicaramu, kurasa kita berbeda cara dalam menyikapi semua ini. Aku terlalu santai, kau tahu kan sikapku yang tak pernah mau ambil pusing? Maafkan aku, bukannya aku ingin membuatmu menjadi gusar, hanya saja aku berharap kau takkan mematikan kreativitasmu karena persoalan ini.

“Jika ujianmu berat, maka kamu memang pantas untuk mendapatkannya” aku mencoba beretorika di hadapanmu.

“Tapi kadang kita belum siap menerima ujian ini” kau masih lesu menanggapinya.

“Siapa yang tahu batas kesiapan?” tanyaku sembari mencari selidik di balik nada suaramu.

“Tidak tahu!” kau terdengar ketus, maafkan aku.

“Kamu!” suaraku tiba-tiba meninggi.

“Bukan, aku belum siap!” jawabanmu lunglai, barangkali cermin hatimu yang sedang gelisah.

Baiklah, maafkan aku, terlalu kasar perkataanku tadi. Sahabatku, kadang kesempatan seperti menjauh dan tidak berpihak pada kita. Tapi bukankah ketika satu pintu kesempatan tertutup, maka pintu kesempatan yang lain akan terbuka? Sekali lagi maafkan aku, bukan sedang mendiktemu, aku sedang mengajari diriku, jika kau mau mendengar aku sangat bersyukur.

“Kesempatanku tertutup” Itu katamu.

“Bukan, kenyataannya memang begitu” aku ketus.

Sudah sudah, aku muak mendengar ocehanmu yang seperti jiwa sakaratul maut. Kau tahu kan? Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Jangan memaksakan keadaan. Kau tahu, kau diberi kesempatan lebih awal untuk bisa menghadapi semua ini. Apa kau yakin kau akan siap ketika cobaan itu datang esok hari?

“Kau yakin kau siap jika hal ini terjadi pada dirimu esok hari?” aku sudah mulai menurunkan intonasiku.

Kau menggeleng, tertunduk, dan tak punya jawaban.

Hidup ini adalah bersiap-siap untuk menghadapi ketidakmungkinan yang pasti akan terjadi. Hanya ada satu hal yang pasti dalam hidup, yaitu mati. Selebihnya adalah pertimbangan-pertimbangan logis dan emosional untuk kepentingan kita. Tendensimu tentang masalah ini baik, untukmu dan menurutmu. Tapi apa kau sadari di sekitarmu banyak orang begitu khawatir dengan kondisimu?

Kau menetesekan air mata. Ini kali pertama aku melihatmu menangis.

“Boleh kupinjam bahumu? Aku ingin menangis” matamu berkaca-kaca.

“Menangislah, karena dengan menangis hatimu akan menjadi lembut.”


Bogor, kosan Fauziah 00:13
17 Februari 2011

Sabtu, 12 Maret 2011

Tentang Kematian

Beruntunglah mereka yang mati muda (Soe Hok Gie)

Aku termenung sebelum tidur setelah selesai menonton film Gie, malam itu. Mengingat satu kalimat yang terngiang di telinga. Keberuntungan yang diperoleh bagi seseorang yang mati muda. Mati mati mati mati. Kadang memang ada baiknya jika kematian menyambangi kita lebih awal, pikirku. Dan pikiranku tersebut pernah kutuangkan dalam status facebook meski tak terlintas lagi tanggal berapa aku tulis. Mati dan kematian, boleh sedikit aku ulas? Dead is no longer alive, and death means a permanent end or destruction of something. Mati berarti mengakhiri segalanya. Tapi tidak hanya sampai disitu, mati adalah persoalan pilihan.

Suatu hari, aku berdiskusi dengan salah seorang sahabat, Meda:

“Jika suatu saat kamu ingin dikenang, kamu ingin dikenang sebagai apa?” tanyaku.

“Aku ingin dikenang sebagai orang baik, cukuplah bagiku kebaikan.” Jawab sahabatku.

“Bagimu apa itu kebaikan? Karena kadang kita perlu menjelaskan derivat dari setiap jawaban yang kita utarakan.

“Tidak ada turunan dari kebaikan selain kebaikan itu sendiri. Bagiku kebaikan adalah puncak pencapaian, bahkan manifestasi iman. Maaf jika kamu tidak setuju dengan pernyataanku, tapi inilah keiinginanku. Suatu saat jika aku tiada, aku ingin dikenang karena kebaikanku. Aku ingin generasiku pun mendulang kebaikan yang aku tinggalkan.”

“Baiklah, apa makna dari kebaikanmu? Karena yang bagi kita baik belum tentu bagi orang lain pun baik.” Aku masih bersikeras mencari tahu tentang keinginan sahabatku.

“Kebaikan yang aku maksud adalah kebaikan yang universal, kebaikan yang diakui oleh banyak orang. Taat pada orang tua, berkata lemah lembut dan tidak menyakiti orang lain, menyayangi yang muda dan hormat pada yang tua, tidak berbuat curang, menahan marah, dan makna-makna lain yang jika dijabarkan tak cukup waktu seumur hidup kita. Karena mengizinkan semut untuk hidup pun kebaikan.” Kurasa sahabatku menjawab begitu sederhana, jawaban yang terlalu umum. Aku belum puas dengan jawabannya.

“Apa hubungannya dengan iman?” tanyaku.

Sahabatku menarik nafas.

“Yang aku pahami, di agama mana pun, dalam kitab-kitabnya, manusia tidak dianjurkan untuk merusak, berbuat serakah, berlaku curang, merugikan, dan lainnya. Semua agama mengajarkan supaya manusia berlomba-lomba dalam kebaikan. Percayalah, tuntunan itu universal. Aku bukan ahli kitab, bukan penghapal isi kitab, aku sekedar menafsirkan dari pemahamanku.”

“Ehmmm, kamu percaya tidak kalau orang yang mati muda adalah orang yang beruntung? Orang yang tidak dibebani dengan banyak dosa?”

“Sangat tidak adil sebenarnya jika percaya begitu saja, harus ada kroscek. Jika pertanyaanmu adalah suatu hipotesis, maka perlu kita uji terlebih dahulu.”

“Aku juga masih bingung dengan pernyataan “beruntung” itu. Sangat tidak adil bagi orang yang mati tua jika keberuntungan lebih diperoleh mereka yang mati muda.” Kataku.

Sahabatku mengambil salah satu buku di rak yag terletak pada salah satu sudut kamarnya. Aku memang terbiasa berlama-lama diskusi dengannya karena kurasa khasanah pengetahuannya membuat pikiranku terbuka.

“Bacalah..!” perintahnya sembari memberikan buku itu padaku.

Keningku berkerut, barangkali garis dahi ini sudah mulai menujukkan kapan aku mati juga meskipun aku tak tahu tepatnya. Manusia memang harus terus berhipotesis tentang perkara rezeki, jodoh, dan mati. Kusambut buku bersampul hitam yang nampak kelimis. Aku membuka halaman yang ditunjukkan olehnya, halaman yang tak berangka tapi berbatas pita merah kecil seperti dalam kitab.

Tuhan, aku percaya bahwa kebaikan adalah milikMu. Mencoba untuk terus bertahan dengan keyakinan atasMu, bukan karena agamaku, bukan pula karena banyaknya manusia yang meyakinimu. Aku ingin mendekatiMu karena keinginanku, bukan karena keinginan siapa pun. Tuhan, aku coba untuk memahami bahwa Engkau menjanjikan surga dan neraka untuk setiap akhlak yang kami lakukan. Surga itu kebaikan, dan neraka itu kejahatan. Aku tahu itu dari pengetahuan tentangMu, sejak aku mengaji dulu. Tapi rasa-rasanya aku tak puas dengan pengetahuan semata. Aku ingin membutikan bahwa surga dan neraka itu ada.

Bagaimana aku membuktikannya Tuhan? Sedang pengetahuanku tentang cara membuktikanya pun belum ada. Ajari aku, Tuhan.



“Mengapa kau menyuruhku membaca tulisanmu tentang Tuhan ini?” aku mencoba konfirmasi apa yang aku baca.

“Lanjutkan saja di halaman berikutnya.”

Suatu hari aku menjaga nenekku yang sedang sakit keras. Sakit tak bisa bergerak sejak setahun yang lalu. Dia hanya bisa bernapas, berkedip, dan teriak-teriak. Makannya masih lahap, dan kadang-kadang aku menungguinya disuapi. Tapi aku tak berani menyuapi, aku tak tega melihat rahangnya yang semakin menonjol, aku juga tak tahan mendengar teriakannya yang seperti bercanda.Berhari-hari selama satu tahun itu, ibuku menjaga nenekku seperti menjaga bayi.

Hari itu, malam jumat, sejak pagi aku diminta menjaga nenekku karena ibu sibuk memasak. Entah kenapa ada rasa berbeda yang aku rasakan, kamar nenek seperti lebih dingin dari biasanya. Nenekku tidak teriak-teriak lagi, matanya nanar memandang ke atas. Tangannya tiba-tiba bisa bergerak dan menggapai ke arah mukaku. Aku merinding, kucoba untuk berbicara dengannya. Kutawari apakah nenek mau mendengarku mengaji, dia mengangguk. Kulantunkan Yasin, Al Waqi’ah, Ar Rahman. Tak lupa kutuntun lafaz Allah, Allah, Allah, disela nafas nenekku yang tersengal-sengal. Sampai setengah hari aku lakukan itu. Kemudian kutemui ibu dan aku minta menggantikan tugasnya menjaga rumah, aku takut menjaga nenek. Nenek seperti sedang bernegosiasi dengan malaikat maut. Polahnya sangat berbeda dengan kemarin. Malamnya, nenekku meninggal.

Saat kutuliskan ini, aku usai salat asar, di akhir doaku kuungkap harapan yang ingin kutanam. Aku tidak ingin mati muda, aku ingin mati wajar di waktu yang tepat. Aku tidak ingin melihat ibuku merawat kematianku, aku ingin menjaga dan berbakti dulu pada orangtuaku. Kutahu, betapa susahnya menjaga orang yang mau mati, betapa sedihnya ditinggal mati. Aku tidak ingin ibuku sedih, aku tidak mau bapakku meneteskan air mata. Aku tidak mau adikku kehilangan sosok kakak.

-Tuhan, jika surga dan neraka adalah janjimu, biarkan aku belajar untuk tahu, dengan caraMu. Kematian adalah hal yang pasti karena itu janjiMu, tapi Tuhan, pilihkan waktu yang tepat untukku-



“Meda, jadi menurutmu?” tanyaku pada sahabatku setelah kubaca dua halaman buku hariannya.

“Ya” hanya kata itu yang keluar dari mulut sahabatku, Meda, sambil tersenyum dan mengambil kembali buku hitam kelimis yang aku pegang. Mungkin baginya aku akan cukup paham dengan penjelasan tersiratnya dari kata “ya”.

Orang yang beruntung adalah yang mati tepat pada waktunya. Setiap manusia dilahirkan dengan membawa misi menjadi perantara Tuhan di dunia ini. Mati saat balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua bukanlah persoalan untung dan rugi. Mati adalah hal yang telah dipilih dan menjadi kesepakatan sebelum manusia lahir.
Setahun setelah diskusiku dengan Meda, dia dipanggil keharibaanNya. Aku menangis, sangat dalam. Ibunya menangis hingga pingsan, ayahnya pun meneteskan air mata. Sahabat-sahabatnya menangis dan sesungguhnya belum percaya perihal kepergian Meda. Tapi kurasa, Meda akan dikenang dengan kebaikannya. Tahun-tahun setelah kematiannya, dia banyak dikenang karena kebijaksanaannya. Aku tidak pernah merasa Meda mati, dalam usia yang masih pagi. Dia mati di usianya yang tepat. Tujuh belas tahun, sehari sebelum ulang tahunnya ke-18 dengan kebaikan-kebaikan yang dia wujudkan dalam hidupnya.

Setiap manusia dilahirkan dengan membawa misi menjadi perantara Tuhan, dan lagi-lagi aku berhipotesis bahwa salah satu misi hidup yang dibawa Meda adalah memberitahu padaku tentang persoalan kematian, kebaikan, dan hidup.
------------------------------------------------------------------------------------

Rasa kantuk menyerang setelah kuingat masa dimana aku masih bisa bergandeng tangan dengan Meda. Tanpa kusadari aku menangisi kembali kematian sahabatku. Dan, kurasa, aku belum siap untuk mati.


Bogor, 27 Februari 2011
22.20 WIB

Senin, 07 Maret 2011

Review Buku (Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2008)

Tanah memiliki makna yang berbeda ketika dilihat dari berbagai sudut pandang. Secara ekonomi tanah adalah faktor produksi sedangkan dari sudut pandang demografi perbandingan manusia dengan luas tanah pertanian menjadi penting. Berbeda lagi dengan pandangan hukum yang melihat tanah dari kerangka formal maupun informal yang mengatur segala aktivitas yang ada hubungannya dengan tanah. Sudut pandang politik memandang tanah dari aspek kekuasaan untuk mengorganisasikan peraturan supaya ditaati. Keempat sudut pandang tersebut digunakan untuk memetakan lapisan-lapisan dalam masyarakat sehingga memunculkan pandangan sosiologis.

Di pedesaan, perubahan pranata sosial juga berhubungan dengan pola penguasaan tanah. Terkait dengan kondisi ini, penulis menguraikan mengenai aspek penting dari masalah penguasaan tanah. Lokasi penelitian adalah desa Wargabinangun, desa Mariuk, desa Jati, dan desa Sukaambit di Jawa Barat. Di Jawa tengah diambil tiga desa yaitu desa Rowosari, desa Wanarata, dan desa Kebanggan. Demikian pula di Jawa Timur diambil tiga desa penelitian yaitu desa Janti, desa Geneng, dan desa Sukosari. Salah satu ciri penting struktur pertanahan di Jawa adalah terdapatnya berbagai macam bentuk pemilikan tanah terutama yang didasarkan pada konsep-konsep tradisional seperti tanah yasan, yasa, atau yoso dimana dalam UUPA 1960 memperoleh status legal sebagai tanah milik. Terdapat juga tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, dan sejenisnya dimana dalam UUPA 1960 hak atas tanah ini diubah statusnya menjadi tanah milik bagi penggarapnya yang terakhir. Selain itu terdapat tanah titisara, bondo desa, kas desa yang merupakan tanah milik desa dan disewakan, disakapkan, atau dilelangkan kepada siapa yang mau menggarapnya, hasilnya dipergunakan untuk keperluan desa. Tanah desa lainnya adalah tanah bengkok yang diperuntukkan sebagai gaji pejabat desa selama mereka menduduki jabatan. Baik tanah bengkok maupun tanah titisara keberadaannya diakui oleh UUPA.

Salah satu ciri penting masyarakat pedesaan di Jawa adalah bahwa penduduknya seolah-olah terbagi menjadi kelas-kelas yang didasarkan atas jangkauannya terhadap hak-hak atas tanah, terutama sebelum adanya UUPA 1960. Pejabat desa merupakan kelas sosial yang lebih tinggi, sedangkan masyarakat umum diluarnya dibagi menjadi dua yaitu mereka yang mempunyai kesempatan untuk menjadi pemegang hak menggarap tanah komunal dan mereka yang tidak memiliki hak untuk itu tapi juga tidak memiliki kewajiban apa-apa yang berkaitan dengan hak tersebut. Di sepuluh desa penelitian menggambarkan bahwa pemilikan sawah terpusat kepada beberapa orang saja. Berdasarkan hasil penelitian yang disampaikan dalam buku ini, secara umum, desa-desa dataran rendah relatif lebih komunal dibanding desa-desa dataran tinggi. Kalau dibandingkan antarprovinsi ternyata Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih komunal dibanding Jawa Barat.

Konsentrasi pemilikan tanah di pedesaan Jawa tidak diikuti oleh adanya satuan-satuan usaha tani yang luas, melainkan lebih diikuti oleh tingkat penyakapan yang tinggi, yaitu terdapatnya sejumlah besar satuan usaha tani sempit yang digarap atas dasar bagi hasil atau berasal dari sewa. Meskipun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam 60% dari desa-desa yang diteliti ternyata lebih dari 50% persen total pendapatan berasal dari sektor non-pertanian. Namun, jika dilihat dari distribusi pendapatan menurut golongan kepemilikan tanah ternyata masih tampak jelas bahwa pada golongan pemilikan tanah yang lebih luas, rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun juga lebih besar.

Pokok-pokok yang disampaikan dalam penelitian ini adalah (1) Dewasa ini, distribusi pemilikan tanah di Jawa ternyata sangat timpang dan tingkat ketunakismaan sangat tinggi; (2) Tingkat penyakapan cenderung sejajar dengan tingkat ketunakismaan; (3) Meskipun kesempatan kerja di luar bidang pertanian mungkin meningkat namun ternyata bahwa struktur pemilikan tanah tetap berpengaruh terhadap distribusi pendapatan, yang berarti merupakan salah satu faktor penentu kesejahteraan masyarakat pedesaan; (4) Dengan adanya berbagai program pembangunan sekarang ini, ternyata masih banyak rakyat pedesaan yang hidup dalam kemiskinan.

Review Buku (Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Tania Murray Li, 2002)

Buku ini mengkaji tentang transformasi yang terjadi di daerah pedalaman (sebagai sebutan untuk daerah dataran tinggi) Indonesia. Penulis melihat daerah dan masyarakat “dataran tinggi” secara lebih kompleks dengan memperhatikan aspek ekologi yang dikaitkan dengan aspek ekonomi, politik dan kebudayaan. Pandangan yang berkembang tentang masyarakat di dataran tinggi berbeda-beda, perbedaan pandangan ini didasari pertentangan kepentingan baik secara potensial maupun aktual di daerah pedalaman Indonesia. Daerah pedalaman Indonesia telah terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran yang rendah yang telah lama dan terus berlangsung. Asumsi bahwa masyarakat pedalaman adalah bodoh dan terisolasi dipegang oleh agen pembangunan yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan pembangunan yang diterapkan di daerah pedalaman. Dinamisme, produktivitas, pengetahuan serta kreativitas masyarakat pedalaman sering diabaikan dalam program pembangunan pemerintah. Daerah pedalaman menjadi obyek proyek pembangunan atas nama “modernisasi”.

Salah satu studi kasus dalam buku ini menjelaskan tentang introduksi tanaman kelapa hibrida di dataran tinggi Jawa Barat melalui program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) menggeser pola pertanian campuran menjadi pertanian monokultur. Proyek PIR-BUN yang diterapkan dimulai pada tahun 1982 dan pohon kelapa hibrida pertama ditanam pada tahun 1983. Proyek ini diterapkan melalui sistem pertanian kontrak sebagai salah satu cara untuk merangkul para pengolah tanah di dataran tinggi di Jawa Barat (dan Indonesia). Pemilihan komoditas kelapa hibrida dan bentuk organisasi PIR di wilayah tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa tengah terjadi krisis minyak kelapa di Indonesia pada akhir 1970-an. Tujuannya adalah untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan mengembalikan kelapa sawit pada peranan aslinya sebagai penghasil devisa. Tidak hanya karena alasan tersebut, tetapi pemilihan wilayah seperti Cisokan dikaitkan dengan unsur kontrol politik karena wilayah tersebut merupakan basis pergerakan kaum separatis Darul Islam.

Proyek pertanian kontrak yang diterapkan tidak berjalan tepat seperti yang dimaksudkan. Terdapat kesenjangan yang sangat jauh antara asumsi yang mendasari proyek PIR dan kondisi sebenarnya yang timbul. Proyek alih teknologi serta pembakuan produk telah menimbulkan banyak problem teknis. Proyek tersebut didorong oleh kehendak untuk mengendalikan, membentuk, memodernisasikan, menghilangkan keterbelakangan dan “sikap subsisten” penduduk pedesaan melalui penerapan budidaya tanaman tunggal yang dikontrakkan. Dampaknya bagi petani Cisokan yang sebelumnya memiliki kuasa yang disahkan secara lokal terhadap lahan untuk kebun campuran, proyek tersebut membuat mereka berhutang uang dalam jumlah besar beserta bunganya untuk mendapatkan tanah yang kurang produktif.

Kasus tersebut memperlihatkan bahwa pandangan mengenai masyarakat pedalaman yang terbelakang, bodoh, subsisten memunculkan inisiatif untuk mengimplementasikan proyek perkebunan yang komersil. Tujuannya adalah untuk menjadikan penduduk pedesaan di pedalaman yang relatif homogen menjadi modern. Namun, hasil dari program ini mencerminkan keadaan pembagian kekuasaan dan sumberdaya yang sejak awal tidak merata, akhirnya memunculkan bentuk perlindungan, penolakan dan penyesuaian baru muncul dalam konteks implementasinya. Keuntungan dan peningkatan kekayaan lebih banyak dinikmati oleh pejabat pemerintah yang diberi lahan perkebunan yang mudah dijangkau dan subur. Petani kaya merugi karena banyak pohon-pohon berharga dimusnahkan dan diganti dengan kelapa hibrida. Petani miskin yang tidak memiliki koneksi diberi lahan yang tidak memadai dan petani yang lebih miskin cenderung memilih untuk bekerja di tempat lain supaya mendapatkan upah.

Review Buku (Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, Robert William Hefner, 1999)

Menjadi orang-orang dataran tinggi identik dengan menjadi wong tani. Pada masa pra-kolonial, pertanian di dataran tinggi Tengger dikelola terutama komoditas jagung sebagai makanan pokok wilayah tersebut dan pengolahan sekunder pada bermacam-macam tanaman komersial yang dijual ke luar wilayah. Pada awal periode kolonial, populasi kecil penduduk dataran tinggi terkonsentrasi di daerah lereng atas. Para petani mempraktekkan sistem perladangan berpindah dengan pengosongan semak-semak dan rumput secara luas. Ketika satu petak tanah telah digunakan selama satu atau dua tahun, kemudian dikosongkan selama lima belas hingga tiga puluh tahun dan penduduk membuka areal hutan yang lain untuk diolah.

Pada akhir era kolonial, terjadi perpindahan kaum Muslim dari dataran rendah ke dataran tinggi akibat dari program pemerintah dalam mewajibkan pengusahaan kopi. Secara ekologis, pengusahaan kopi ini sangat mengakibatkan erosi yang sangat luas dan kerusakan humus, secara ekonomi petani juga hanya mendapatkan sedikit insentif dari apa yang mereka kerjakan. Di daerah pegunungan tidak terdapat manfaat ekologis yang sebanding dengan investasi yang dibuat oleh pemerintah pada sistem irigasi sawah. Pemerintah memberlakukan tanah pegunungan sebagai sumberdaya yang dapat dihabiskan, tanah berharga ketika tenaga manusia dihubungkan dengan pembangunan mereka.

Saat kedatangan Jepang, kebijakan pertanian Jepang tidak begitu disukai oleh penduduk lokal. Petani diminta untuk membatasi pengusahaan tanaman perdagangan mereka.kebijakan politik pertanian diterapkan untuk mencapai tujuan jepang. Wilayah dataran tinggi dibagi menjadi tiga zona ekonomi yang masing dijalankan oleh penasehat Jepang yang didampingi oleh staf lokal. Semua hasil perdagangan harus melalui kumiyai (koperasi yang memperdagangkan hasil bumi). Jepang mengatur pajak penghasilan dan lebih mengendalikan barang-barang konsumsi yang langka serta membuat aturan koperasi yang berusaha mengeliminasi orang-orang Cina dalam perdagangan desa. Kumiyai menempatkan sistem perdagangan privat dengan pengusahaan yang dikontrol oleh instruksi-instruksi pemerintah. Sistem ini merusak dan secara efektif menghancurkan perdagangan dalam komunitas yang memang sudah lemah. Pada awal kemerdekaan, perdagangan berlahan-lahan mulai bangkit kembali. Hubungan-hubungan dengan pedagang Cina di Semarang, Solo, dan Bandung diperbaharui. Kentang dan sayuran mulai diekspor lagi ke luar daerah.

Sejarah pertanian daerah atas dikendalikan oleh hubungan-hubungan politik, perdagangan dan tekanan demografis. Ekspansi telah mempengaruhi pemilihan tanaman, dan pada beberapa wilayah juga mempengaruhi dalam hal praktek pemanenan. Inti dari ekspansi ini adalah perdagangan, penajaman hubungan transaksi dan bukan hubungan produksi. Meskipun sempat terjadi krisis ekonomi dan ekologi pada akhir pendudukan Belanda dan awal pendudukan Jepang, namun tidak membuat hilangnya perbedaan status kelas. Kelas-kelas pedagang tetap eksis dan petani miskin tetap dalam kondisinya.
Memasuki masa orde baru, revolusi hijau diperkenalkan. Kebijakan negara sangat berpengaruh pada pertanian pegunungan. Seiring dengan tujuan pemerintah untuk memperluas produksi, dataran tinggi pun menjadi objek yang disuplai kebutuhan pupuk untuk lahan tegalan yang ada, masyarakat pegunungan menghadapi pengaruh sosial yang berbeda dari biasanya. Namun akses terhadap pupuk tersebut hanya bisa dinikmati oleh petani kaya, tidak oleh petani miskin. Metode-metode baru dalam produksi sangat tergantung pada sumber daya sosial.

Terkait dengan kepemilikan tanah di dataran tinggi, di Tengger, sistem pertanian pegunungan kepemilikan tanah di atas rata-rata (rata-rata kepemilikan tanah adalah 0,66 Ha). Konsentrasi kepemilikan lahan di daerah lereng tengah lebih tinggi dari kepemilikan lahan di daerah lereng atas. namun, kemiskinan tanah masih tetap berlangsung dalam skala luas karena sebagian tanah terkonsentrasi di tangan pemilik tanah yang besar. Distribusi tanah di daerah pegunungan ditandai oleh ketidakadilan yang cukup moderat di daerah lereng tengah dan hanya sedikit terkonsentrasi di lereng atas. ketidakadilan di lereng tengah ini terjait dengan sejarah awal tentang pembangunan jalan, perpindahan penduduk, dan investasi yang komersial. Akses penduduk Tengger terhadap tanah diperoleh melalui warisan dan pembelian tanah. Pola yang terstratifikasi pada akhirnya adalah menempatkan siapa yang bisa membeli tanah dalam ukuran cukup luas meskipun tidak mendapatkan warisan.