Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Minggu, 19 April 2009

Untuk “K”, dan “K”

Kusadari bahwa waktu tak pernah membohongiku, tak berhenti menyambangiku dengan cerca tak terduga tentang hati, tentang rasa. Kadang kurasakan memang diriku begitu mencintaimu, bahkan hingga saat ini, hingga (mungkin) kau baca coretan ini, semoga. Aku tak pernah memungkiri bahwa rasa ini kubiarkan saja tumbuh tak pernah kucoba untuk menyianginya. Rasa ini bukan gulma, meski kadang aku tersiksa dibuatnya. Cinta, anak kecil kok ngomong cinta.

Satu waktu dalam hidupku, kuakui, yang paling kusesali adalah mengenalmu. Mengapa saat itu telah tiba dan telah tertelan dilibas masa? Ribuan kata mungkin menjejali otakku. Mungkin seandainya..., mungkin jika..., mungkin bila..., mungkin aku..., mungkin keadaannya..., dan mungkin-mungkin yang lain yang kuciptakan sendiri dalam dunia imajiku. Kau, mengapa Tuhan menggariskan hidupku untuk bertemu denganmu? Aku hanya sanggup mengatakan, bahwa Dia mempunyai rencana untukku. Untuk hidupku, ilmuku, pengabdianku, bahkan sampai nanti,matiku. Namamu tertulis dalam diary kehidupanku, kau ada di sebagian langkahku. Mengapa aku menyesal mengenalmu? Karena kau mampu membuat hati ini terpaku pada sisi yang tak seharusnya. Pada sisi yang tak wajar.

Sekuat mungkin berusaha kubenahi rasaku, berusaha ku singkirkan egoku. Bahkan kucoba buang muka di hadapmu. Tapi apa yang kudapat? Rasa sesak saat aku menyadari bahwa aku begitu pengecut menghadapimu, menghadapi kenyataan.

Aku sering berkhayal, seandainya tak ada orang sepertimu di dunia ini pasti hidupku tak seperti sekarang. Terbelenggu rasa, rasa yang barangkali kuciptakan sendiri. Tapi saat kusadari bahwa khayalanku terlalu normal, biasa, maka kuhapus khayalan itu dari otakku. Dan pada akhirnya, kupikir, hidup ini takkan berwarna tanpa orang-orang sepertimu. Karena kau indah di hidupku.

Sahabatku, Sampaikan Pada Teman Manismu

Sahabatku,

Sampaikan pada teman manismu

Kau memang tak sempurna

Tapi kau tak pernah berupaya membuatnya cacat

Sahabatku,

Sampaikan pada teman manismu

Rasa sekaratmu telah berakhir

Meski sempat kau rasa akhir yang bagimu tragis, saat itu

Tapi semuanya telah lunas dengan tangis

Sahabatku,

Sampaikan pada teman manismu

Kau anggap dia malaikat di matamu

Dan selamanya dia tetap malaikat, sekali lagi di matamu

Meski sesungguhnya kau pun sadari

Sebenarnya, teman manismu

Malaikat di khayalmu

Dalam khayal imajimu

Sahabatku,

Sampaikan pada teman manismu

Dia adalah dia

Manusia bertajuk malaikat dalam otakmu

Tapi dia tetap dia, manusia

Yang kadang senyumnya pun tersekat

Sahabatku,

Sampaikan pada teman manismu

Dia akan selalu terasa sempurna di hadapmu

Sampaikan pada teman manismu

Yakinkan dia

Bahwa kau memang tak bisa sempurna di matanya

Tapi kau tetap ada

Bukan untuk dia teman manismu saja

Sajak DUA

Aku ingin menangis

Hingga air mata ini habis

Aku ingin berteriak

Hingga suaraku serak

Aku ingin berontak

Meski tubuhku terasa luluh lantak

Sepi, sakit, penat

Kupikir, apakah aku sekarat?

Aku jenuh dengan kehidupan

Panas, pengap, jahat

Membuat napasku semakin mampat

Lelah aku dengan realita

Menusukku

Setajam belati

Panas

Tercelup bara api

Sajak SATU

Aku merasa sepi, sendiri

Lelah dengan realita

Rasionalitasku tak mampu memecah galau

Tak urung untukku merenungi masa

Di kalungan umurku yang kian berkurang

Kian mencekik dan mendekat ajal

Aku menelusuri lorong – lorong gelap

Hitam dan tajam

Hampir memotong urat leherku

Kamis, 16 April 2009

KLAKSON

Sore hari gerimis sehabis hujan lebat. Aku pulang dari kampus menuju kostan sendirian. Sebelumnya aku mampir ke sebuah warung makan di ujung Bara (Babakan Raya), sebuah tempat yang pasti tak asing bagi mahasiswa IPB. Karena jalan sendirian, kau putuskan untuk menghentikan angkot, nggak apa keluar duit seribu daripad ajalan sendirian, becek lagi. Aku naik ke angkot yang barusan aku hentikan. Hanya ada satu orang penumpang di dalamnya, ibu-ibu yang usianya kuperkirakan sekitar kepala empat. Dalam hatiku bersorak, lega. Kemudian angkot itu berjalan lambat-lambat. Pasti sambil mencari penumpang, pikirku. Kuamati sopirnya yang mungkinmasih seumuran denganku kok gelisah. Ada apa ya? Aku tak berpikir ada yang aneh. Tapi sopir itu benar-benar terlihat gelisah. Kan heran jadinya. Setelah berjalan cukup jauh, seperempat perjalanan menuju kostanku, baru kupikir kok angkot jalannya lelelt banget. Barangkali kalau aku jalan pasti sudah hampir sampai kostan.

Di depan sebuah mini market angkot yang aku tumpangi berhenti. Baru kusadari bahwa sejak pertama kali angkot itu jalan sampai berhenti sekarang klaksonnya tak berhenti bunyi. Bunyiiiiiiiiiiiiiiiiii teruuuuuussssss. Mungkin lemotnya aku sampai nggak sadar. Setelah kusadari, ternyata memang nggak enak banget, berisik. Dan bayangkan, angkot yang aku tumpangi membuat macet jalan. Deuh deuh… jadi tambah lama. Kesel juga sama sopirnya. Usut punya usut ternyata sopirnya masih pemula dan nggak tahu letak sumber suara klakson tersebut. Bingung mana yang mau dicabut. Terus saja dicoba-coba, tapi masih aja klaksonnya kentut sepanjang jalan. Distarter klaksonnya bunyi, terus begitu. sebenarnya nggak betah di dalam tapi sudah terlanjur naik.

Sampai akhirnya aku bisa kembali bernapas lega. Akhirnya ditemukan juga di mana sumber suaranya itu. Haaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhh…. Tapi kau merasa benar-benar bersyukur sore itu. Tuhan mengajariku satu analogi nyata tentang kehidupan. Ada satu pertanyaan yang muncul di otakku setelah klakson itu tak kentut lagi. Kapankah saat yang tepat klakson harus berbunyi? Kemudian muncullah asumsi menganai kapan seharusnya klakson tersebut berbunyi. Kujawab, di saat dan di waktu yang tepat dengan cara yangtepat pula. Di saat yangtepat berubungan dengan fungsi klakson sebagai sebuah bentuk simbol komunikasi. Saat yang tepat adalah di kesempatan-kesempatan tertentu yang memang membutuhkan klakson seperti ketika menyapa sesama pengendara atau menyapa pejalan kaki. Di waktu yang tepat berhubungan dengan situasi, kalau memang jalanan lengang dan tidak perlu penggunaan klakson maka tak perlu difungsikan. Dengan cara yang tepat artinya sewajarnya saja dan sesuai porsinya. Sesuai kebutuhan atau tidak berlebihan. Jika hanya butuh dengan nada do maka tak perlu menggunakan nada sol.

Itu serba-serbi klakson yang berbunyi bukan disaat yang tepat, lalu apa hubungannya dengan manusia? Jika hanya dipikirkan sebatas persoalan berisik dan mengganggu kelancaran lalu lintas sore itu, bagiku itu terlalu sempit. mengapa? Ada sebuah pelajaran berharga yangbisa disimpulkan dari pengalamanku itu. Bayangkanlah klakson yangterus berbunyi tanpa kenal waktu itu sebuah mulut, mulut manusia. Seandainya mulut manusia terus berbunyi tanpa tahu saat, waktu, dan cara yang tepat apa jadinya? Pasti rasa kesal dan jengkel yang berlebih bagi pendengarnya. Maka dari itu, ibarat harta, maka mulut memang benar-benar harus di jaga. Kapan harus bicara, kapan harus diam, semua ada waktunya. Bicara di saat yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan cara yang tepat. Karena semua memiliki proporsi ideal masing-masing. Pastinya tidak mau kan jika dianggap menyebalkan seperti klakson yang bunyi sepanjang jalan tanpa tau aturannya?

Senin, 13 April 2009

Semua Indah Pada Waktunya

Kumat melankolis pagi ini, nggak terelakkan lagu-lagu Samson gw putar di winamp. Romansa Cinta, Kenangan Terindah, Bukan Diriku terus diulang sampai waktu habis mau berangkat kuliah.

Di jalan, minggir-minggir ngehindarin angkot malah mau muntah liat tikus mati.

Di kelas, nggak ada kuliah akhirnya ngobrolin message appeal pesan partai sama seorang teman.

Tapi bukan itu intinya, hal yang lalu sebagai 'sejarah' telah lewat sebagai sebuah pelajaran, tinggal bagaimana kita mengambil ibrahnya. Ternyata tetap saja, untuk menguatkan hati dan menerima semuanya tak semudah membuat jus alpukat atau makan ice cream. Ada berbagai ganjalan yang menerpa, entah tangis atau pun tawa. Entah gila atau bijaksana. semua beradu satu dalam otakku ingin memenangkan posisinya masing-masing seperti Caleg yang rebutan kursi di parlemen. Mau dikata capek, wong ini proses hidup ya harus ada lika-likunya. Mau dibilang enjoy, ya gimana buntut-buntutnya kagak tahan tumpah juga.

Sebenarnya, ada satu keyakinan yang mendalam tentang sesuatu jika dijalani dengan ikhlas maka baik pahit, asin, asem, manis, sepet, hambar akan menjadi formulasi rasa yang enak. karena kita tak akan merasakan pahit selama kita belum tahu gimana itu manis. Dan terus begitu sebagai sebuah kausalitas. Buat apa ada tangis tawa? ada suka duka? ada sedih ceria? ada warna-warna? ada normal gila? ada benci cinta? kalo bukan sebagai sarana manusia untuk berpikir?

Jadi, mengapa kusampaikan lagu Samson yang melow, tikus mati yang bau, sampai persoalan materi kuliah? bagiku itu analogi yang cukup untuk menggambarkan bahwa di satu waktu saja manusia berpikir tentang banyak hal. Dan bukan hanya untuk satu manusia, tapi semua. Jadi, jika sejarah atau masa lalu dikatakan berat, maka katakan TIDAK untuk sebuah masa depan yang lebih baik. Pada hakekatnya memang manusia cenderung untuk selalu berpikir. Mengapa begini, mengapa begitu, ini itu, ini lagi, itu lagi. Heboh. Apa yang telah kita alami, atau sedang kita jalani, atau mimpi-mimpi masa depan yang sangat berarti, pada saatnya akan menjadi cetak biru yang indah bagi kehidupan kita. Tak perlu salahkan waktu, tak perlu salahkan keadaan (nebeng liriknya Drive 'Melepasmu') karena semua indah pada waktunya.

Jumat, 10 April 2009

Dilema Malam dan Siang

Malam,
Saat kupinjam gelapmu agar aku terus tertidur dalam pulas dekapmu
Kau mengiyakan dengan lantunan angin syahdu
Tapi ternyata kau membohongiku
Buktinya siang datang melambaikan tangan angkuh ke arahku
Katanya, aku akan kalah jika aku terus dalam buaimu

Malam, biarkan kusisakan luka ini
Jangan kau pinta aku tuk berhenti
Sebentar saja biarkan aku menghayati suatu janji yang sempat termuntahkan
Supaya aku tetap bisa mengingat dan menjemput harap dengan setitik luka sunyi itu
Malam, kau pun mengiyakanku lagi
Kau buatku sibuk dengan angan tuk tak berlari meraih
Hanya sekedar duduk berkata lirih

Aku kecewa lagi, kau kembali dengan dustamu
Buktinya siang meningkahiku dengan ribuan bisik tentang jalan panjang untuk melangkah
Katanya, aku tak harus terus lirih terkungkung dalam buai ketidakmungkinan
Aku punya hak untuk berteriak tingkah
Siang akan menopangku jika aku merasa lelah
Siang membujukku untuk berangsur tak pasrah
Siang memelukku dengan erat dan ucapkan kata-kata di telingaku
"Kejarlah apa yang ingin kau raih"

Malam, mana yang harus kuikuti?
Siang, mana yang harus kujalani?

Senin, 06 April 2009

Bukan Melupakan Tapi Mengikhlaskan

Persoalannya bukanlah apakah aku bisa melupakanmu atau tidak. Permasalahannya bukan pada waktu yang memberi andil kesempatan sebuah pertemuan. Bukan pula jejak langkah yang pernah kita lalui bersama. Serta tak juga tangis tawa yang selalu ada untukmu. Barangkali yang lebih tepat adalah apakah aku bisa mengikhlaskanmu? untuk satu atau beberapa alasan?
Egois jika aku memaksakan diri untuk memiliki. Meski asaku tak memungkiri keinginan itu, tapi aku selalu berusaha menepisnya. Aku ingin melihatmu bahagia, tertawa, merdeka dalam hidupmu. Aku selalu berharap terus mendengar apa pun tentangmu, agar kutahu bahwa kau tak bersedih.
Aku tak peduli seberapa tak acuh dirimu padaku, ataupun seberapa malas kau tahu tentangku. Yang aku pedulikan adalah dirimu, ketenanganmu tanpa aku.
Tak pernah habis kenangan tentangmu, tak pula pupus harapku untuk jejaki sisa hari. Tak pernah terhapus bayangmu, tak pula lengah pikiranku.

Aku, Aku, Aku... mengikhlaskanmu meski kau tak tahu untuk apa aku melakukannya. Meski kau tak peduli aku tetap terus berusaha mengikhlaskanmu.

Tak letih kusebut namamu dalam doaku,
Tak lelah pula kucari tahu kabarmu, karena aku ingin dengar kau selalu bahagia.
Bahagiamu, senyumku.

Jumat, 03 April 2009

Nada Untuk Dunia

Ruh kataku berbicara
Terus bersuara
Meski tak terdengar lugas telinga

Hatiku beradu bisik makna-makna
Dalam sekotak kado untuk dunia
Terbungkus kertas bercorak doa
Berhiaskan pita asa-asa

Aku persembahkan untuk dunia
Dengan tangis dan tawa
Dalam tarikan napas simponi biola

Kubisikkan doa untuk dunia
Dalam kotak kado berhiaskan pita

Kita menjadi satu dalam lembut getar dawai gitar
Kita tak perlu beradu
Karena not balok tak pernah sarankan permusuhan

Kita tak butuh senjata atau bom molotof
Apalagi tank-tank tentara
Kita hanya butuh satu tuts piano
Untuk alunkan melodi perdamaian pada dunia

Kita tak butuh genderang perang
Beri saja kesempatan
Untuk satu tabuhan drum
Maka kita sanggup jalankan
Misi perdamaian untuk dunia

Doaku untuk dunia,
Tak tinggi, tak muluk, tak angkuh
Hanya sebuah nada untuk dunia