Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Minggu, 13 Maret 2011

Ketika Lelaki Menangis


Ketika lelaki menangis, katanya seperti hujan yang tiba-tiba turun saat matahari sedang bersinar begitu cerah. Barangkali tak seironis itu, setiap jiwa punya batas rasa, kupikir. Laki-laki atau pun wanita punya cara untuk meluapkan emosi, dan jika menangis bisa membuat kita tergerak untuk lebih baik, maka jika laki-laki menangis, itu bukan hal yang tabu. Menangislah, sahabatku, karena menangis itu menandakan bahwa kamu punya hati yang lembut, hati yang peka dengan peristiwa di sekitarmu.

Jika suatu waktu kamu perlu bahuku untuk sandarkan tangismu, kamu tak perlu ragu untuk memintanya. Kau pun boleh menangis semaumu, asal setelah itu kamu tersenyum seperti biasa. Kamu tahu kan? Bahwa senyum adalah pesan terhangat yang begitu cepat sampai dan cepat mendapat feedback. Ketika air mata jatuh dari pelupuk matamu, tak perlu segan menunjukkan padaku. Kau sedang membasuh hatimu yang terasa gersang. Setelah ini kau akan mendapatkan kelegaan dan kerelaan akan sesuatu yang kau hadapi. Yah, kau boleh jadikan aku sebagai katalisator untuk menetralisir perasaan sedihmu.

Ini malam, saat aku bertemu denganmu, seperti sebuah ketiba-tibaan yang kita rencanakan. Kamu masih dengan senyum sperti biasa, senyum sahaja yang menenangkan. Kutepuk bahumu, berharap bahwa satu tepukan itu mampu membuatmu tahu bahwa aku ada, sebagai sahabatmu dan siap mendengar kesahmu.

“Santai” kataku.

“Aku sedang tidak bisa santai untuk saat ini” jawabanmu datar.

“Baiklah, aku tak memaksamu, ini saran” aku miris mendengar jawabanmu.

Hemm, kau tersenyum lagi, simpul temali yang masih kuat. Kau masih dengan jiwa dan kharismamu. Kau tahu? Betapa membahagiakannya ketika kita bertemu dengan orang yang tersenyum tulus pada kita? Dan aku begitu bahagia melihat senyummu.

Aku berbeda denganmu, karena kamu lelaki yang barangkali tak suka dengan cara perempuan menyelesaikan gundah. Hanya saja, justru aku yang ketakutan menjadi teman bicaramu, kurasa kita berbeda cara dalam menyikapi semua ini. Aku terlalu santai, kau tahu kan sikapku yang tak pernah mau ambil pusing? Maafkan aku, bukannya aku ingin membuatmu menjadi gusar, hanya saja aku berharap kau takkan mematikan kreativitasmu karena persoalan ini.

“Jika ujianmu berat, maka kamu memang pantas untuk mendapatkannya” aku mencoba beretorika di hadapanmu.

“Tapi kadang kita belum siap menerima ujian ini” kau masih lesu menanggapinya.

“Siapa yang tahu batas kesiapan?” tanyaku sembari mencari selidik di balik nada suaramu.

“Tidak tahu!” kau terdengar ketus, maafkan aku.

“Kamu!” suaraku tiba-tiba meninggi.

“Bukan, aku belum siap!” jawabanmu lunglai, barangkali cermin hatimu yang sedang gelisah.

Baiklah, maafkan aku, terlalu kasar perkataanku tadi. Sahabatku, kadang kesempatan seperti menjauh dan tidak berpihak pada kita. Tapi bukankah ketika satu pintu kesempatan tertutup, maka pintu kesempatan yang lain akan terbuka? Sekali lagi maafkan aku, bukan sedang mendiktemu, aku sedang mengajari diriku, jika kau mau mendengar aku sangat bersyukur.

“Kesempatanku tertutup” Itu katamu.

“Bukan, kenyataannya memang begitu” aku ketus.

Sudah sudah, aku muak mendengar ocehanmu yang seperti jiwa sakaratul maut. Kau tahu kan? Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Jangan memaksakan keadaan. Kau tahu, kau diberi kesempatan lebih awal untuk bisa menghadapi semua ini. Apa kau yakin kau akan siap ketika cobaan itu datang esok hari?

“Kau yakin kau siap jika hal ini terjadi pada dirimu esok hari?” aku sudah mulai menurunkan intonasiku.

Kau menggeleng, tertunduk, dan tak punya jawaban.

Hidup ini adalah bersiap-siap untuk menghadapi ketidakmungkinan yang pasti akan terjadi. Hanya ada satu hal yang pasti dalam hidup, yaitu mati. Selebihnya adalah pertimbangan-pertimbangan logis dan emosional untuk kepentingan kita. Tendensimu tentang masalah ini baik, untukmu dan menurutmu. Tapi apa kau sadari di sekitarmu banyak orang begitu khawatir dengan kondisimu?

Kau menetesekan air mata. Ini kali pertama aku melihatmu menangis.

“Boleh kupinjam bahumu? Aku ingin menangis” matamu berkaca-kaca.

“Menangislah, karena dengan menangis hatimu akan menjadi lembut.”


Bogor, kosan Fauziah 00:13
17 Februari 2011

3 komentar:

alfan helmi mengatakan...

jadi mau nangis...

Rhomi Ardiansyah mengatakan...

hore,,,cerinya dibalikin lagi...hahaha..

Ma Sang Ji mengatakan...

Ketika hati kehausan
Lepaskan haus dengan air mata
Maka menangislah bila perlu