Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Selasa, 04 Januari 2011

It Comes and It Goes














Aku sengaja menulis pesan ini untuk kalian berdua. Sebelumnya aku ucapkan terima kasih atas ketersediaannya membaca tulisan yang barangkali sedikit membosankan atau mungkin tak bermakna. Aku harap, semoga ada yang bermanfaat dan dapat membuka pemikiran kita.

Kalian tentu saja mengenalku dengan cara yang berbeda, dengan pandangan kalian masing-masing. Tapi pasti ada kesamaan dari kalian berdua terkait dengan persepsi tentang aku, kalian sama-sama memandang bahwa aku adalah orang yang keras kepala. Maafkan aku atas satu sifat yang melekat dalam pribadiku itu. Karena keras kepalaku, barangkali tanpa aku sadari aku menyakiti perasaan kalian. Aku tak pernah berencana untuk masuk dalam kehidupan kalian, aku anggap ini memang jalan cerita yang harus dilewati, dan melalui tulisan ini, aku ingin minta maaf sekaligus berterima kasih kepada kalian berdua atas pelajaran berharga yang telah dan sedang dilalui.

Barangkali tak cukup kata untuk mengungkapkan segala ingatan dan kenanganku tentang salah satu diantara kalian. Ini tentang kamu, laki-laki. Kamu adalah laki-laki pertama yang meruntuhkan kekesalanku terhadap laki-laki. Kamu datang disaat kehidupanku seperti jatuh, disaat aku begitu malu menghadapi kenyataan bahwa aku sendiri merasa dikhianati. Kamu banyak mengajariku bagaimana menghormati orang lain, bagaimana memegang prinsip dengan kuat dan lemah lembut dalam menyampaikan. Aku begitu mengagumimu. Bahkan meskipun kita dekat, aku belum mengenalmu sebelumnya, aku hanya tahu kamu sedikit saja. Dan untuk beberapa lama kita hanya berusaha untuk saling mengerti. Aku masih kekanakan dulu, dan mungkin begitu menyebalkan untukmu. Aku sangat tidak asyik dan aku tidak mudah mengungkap apa yang kurasakan, aku terlalu serius dan cengeng. Mungkin kau masih ingat betapa menyebalkannya aku. Maafkan aku atas sikapku dan terima kasih kau membantuku untuk menjadi lebih dewasa.

Kamu begitu simpel, cuek, namun penuh dengan perhatian. Aku tidak pernah memikirkan seberapa besar sayangmu padaku karena itu hakmu. Yang jelas, kamu banyak membawa kebaikan dalam hidupku. Aku menjadi orang yang begitu kompetitif, sejak aku mengenalmu aku mengagumimu. Kamu belajar bukan untuk peringkat tapi karena kamu mencintai ilmu itu sendiri. Dan hal itu mempengaruhiku sampai ketika aku menuliskan hal ini untukmu dan untuk kalian. Aku banyak termotivasi darimu, meskipun kadang aku juga kesal padamu. Kamu ingat saat kamu membantuku belajar Bahasa Inggris berhari-hari ketika aku mempersiapkan olimpiade tingkat provinsi waktu aku kelas 3 SMA? Hingga aku bisa sampai di tingkat nasional? Dan setelah itu aku jatuh dari motor kemudian kamu rela meluangkan waktumu untuk antar jemput aku ke sekolah? Sejujurnya dan seharusnya tidak ada alasan untuk menyakiti dan mengecewakanmu, kamu begitu baik.

Aku terbiasa bersamamu saat itu. Banyak impian yang kita ciptakan bersama, membaca buku-buku yang sama, mendengar lagu-lagu yang sama, menyukai warna yang sama, dan menikmati kesempatan. Begitu banyak tentangmu, hingga aku tak tahu bagaimana cara menghapusnya satu persatu. Mungkin, jika kau tanyakan padaku seberapa banyak aku mengingatmu, aku jawab terlalu banyak hingga aku tak sadar bahwa aku pun sampai membandingkan orang lain denganmu.

---------------------------------

Dan kamu, perempuan yang begitu baik, aku ucapkan terima kasih atas perkenalan kita. Atas waktu-waktu yang kamu sempatkan demi menanyakan bagaimana kabarku. Maafkan aku jika terlalu keras bersikap padamu. Aku hanya tidak ingin kamu semakin sakit dan menjadi orang yang mudah mengeluh. Aku menyayangimu sebagai saudaraku sesama perempuan. Tulisan ini bukan untuk pembenaran sikapku, tapi hanya sejauh ini yang bisa aku lakukan. Maafkan jika aku egois membuat keputusan ini, aku hanya tidak ingin energiku terkuras lebih banyak untuk memikirkan semua ini. Kamu sudah tahu, bagaimana aku memutuskan untuk berpisah, mungkin aku telah menyakitinya, sahabatmu itu. Dan di setiap doaku, aku memohon agar kita semua bisa mendapatkan proses yang terbaik. Aku pikir, kita tidak perlu repot dengan persoalan yang pernah kita hadapi.

Kamu pun banyak memberikan banyak kebaikan dalam perjalanan hidupku. Terima kasih telah membuatnya tersenyum. Terima kasih untuk apresiasi perasaanmu terhadapnya. Aku tidak berpikir untuk merebutnya darimu, bahkan aku bahagia mengetahui bahwa dia pun menyayangimu, seorang perempuan yang ayu dan lemah lembut. Selama ini aku tidak menyadari bahwa sikapku menyakiti dan mengecewakanmu. Maafkan aku. Kamu adalah perempuan yang tegar dan kuat, janganlah menjadi perempuan yang cengeng, tunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi terlemah kita tetap kuat. Mari sama-sama belajar untuk tidak menyalahkan siapa-siapa jika kenyataan tidak sesuai rencana. Ini bukan untukmu saja, tapi untuk kita. Aku pun harus belajar ikhlas dengan jalan ini.

Terima kasih telah bersedia mengunjungi tempat tinggalku , begitulah adanya aku yang kamu lihat. Aku tidak selembut kamu, aku keras kepala. Bahkan ketika berbicara aku pun begitu keras. Aku bukan orang baik, aku hanya berusaha untuk menjadi baik. Maafkan aku atas sikapku selama ini. Aku salut padamu untuk penerimaan yang lapang atas kehadiranku dalam hidupmu. Aku yakin Allah punya rencana yang lebih baik. Wallahu A’lam.

-------------------------------------

Untuk kalian berdua, entah apa yang kalian pikirkan saat ini. Barangkali ketika kalian membacanya, rasa kesal kalian bertambah. Tapi kupikir aku harus membuat keputusan ini, karena kita semua harus bahagia. Aku pernah bilang: Suatu saat jika kita sudah lulus kuliah, kita bicarakan semua ini. Saat itu aku lapang menerima bahwa ada seorang kekasih dan aku bukan siapa-siapa. Aku hanya menikmati perjalanan. Dengan salah satunya pun aku bilang: biarkan kita menjadi diri kita sendiri, jangan dikekang, karena cinta itu membebaskan bukan mengikat. Tapi nampaknya sekarang berbeda, kita masing-masing terlalu egois dengan tendensi kita. Kondisi ini menyebabkan kita menjadi manusia yang lemah, tidak tegas, bahkan kita masing-masing menjadi pengecut yang tidak mampu mengakui kesalahan. Padahal sepertinya yang kita perlukan hanyalah kejujuran tentang kenyataan. Kemudian seharusnya kita sampaikan, karena diam tidak menyelesaikan masalah, yang ada hanyalah menumpuk kebencian. Sayangnya, kita tidak pernah jujur.

Untuk kalian berdua, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Demikian pun aku, maaf atas ketidakjujuranku dan keegoisanku. Aku pikir dengan bersaing mendapatkannya kembali, aku akan menjadi pemenang. Tapi itu salah, aku hanya akan menjadi pecundang yang tersenyum diatas rasa sakit orang lain. Aku memang salah, tapi bagiku kesalahan itulah sarana untuk belajar.

Inilah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan setelah kepercayaan itu mungkin makin memudar. Kalian bilang: Kalian tidak tahu harus percaya pada siapa. Aku sedih, karena aku ternyata begitu lemah dan untuk memupuk sebuah kepercayaan saja aku gagal. Membuat tulisan ini untuk kalian berdua, bagiku adalah jalan untuk tidak terus tenggelam dalam persoalan ini.

Saat menuliskan hal ini, bahkan saat kamu menyambangi tempat tinggalku, aku sudah tidak peduli apakah kamu, salah satu atau diantara kalian berdua benar-benar tulus datang karena rasa sayang. Tapi bolehkah aku ungkapkan kekecewaanku?
Kamu, sekuat perasaan dan logika setelah aku berpisah denganmu, aku yakinkan diriku bahwa suatu saat aku akan bertemu dengan laki-laki yang menghormatiku dan bisa menerimaku. Meskipun harus berusaha keras untuk tidak membandingkannya denganmu. Namun ketika kamu datang lagi, semua yang aku bangun seakan runtuh. Dan aku kecewa atas ketidaktegasanmu menghadapi semua ini. Apa kamu bangga dengan sikapmu? Merasa menyayangi dan disayangi, tapi secara tidak sadar kamu sedang menghancurkan perasaan? Tegaslah! Meski itu akan mencurahkan banyak air mata tapi yakin setelah itu rasa sakit bisa semakin cepat terobati.


Dan kamu, saudaraku perempuan, aku pun telah meyakinkan diriku, aku yakin bahwa kamu ternyata lebih membutuhkannya daripada aku. Aku tahu itu dari sikapmu (meskipun aku keras, aku masih perempuan). Aku telah sampaikan, silahkan kamu lakukan yang terbaik, cinta itu akan datang jika kita meraihnya tanpa obsesi. Tapi ketika kita mengejar cinta dengan pamrih untuk memenuhi obsesi, percayalah meskipun dekat, cinta itu akan lari. Setiap kali kita berkomunikasi seakan kau pun telah kuat untuk menerima semuanya. Tapi lagi-lagi, kenapa kau libatkan aku dalam perasaanmu? Tidak cukupkah waktu 3 bulan aku menghilang dan tidak mau membicarakannya? Aku kecewa, karena setiap kali aku meyakinkanmu bahwa hidup ini harus terus berjalan, dengan atau pun tanpanya, justru aku yang menjadi tersangka dan seolah-olah paling bersalah di mata kalian berdua.

Maafkan aku, aku tidak sedang melakukan pembenaran, aku hanya yakin bahwa masing-masing dari kita harus bahagia. Banyak hal yang yang harus dicapai, lalu kenapa masih membelitkan diri pada persoalan ini? Saat tulisan ini (mungkin) kalian baca, aku telah memutuskan untuk pergi dari kehidupan kalian. Aku tidak peduli apakah kalian sedang menjalin hubungan atau tidak, yang jelas aku ingin bahagia. Aku tidak mau terlibat. Mungkin ini egois, tapi bagiku jauh lebih baik daripada tidak bersikap. Jika sewaktu-waktu aku bertemu dengan kalian, aku adalah diriku, bukan bentukan atau pun tuntutan sikap dari kalian.

Kamu, aku berdoa untuk kebaikanmu, semoga impianmu untuk bisa mengabdikan diri bagi masyarakat bisa tercapai. Barangkali suatu saat kita bisa bekerkjasama untuk sesuatu yang lebih bermaslahat. Siapa sangka? Karena manusia hanya bisa berencana.
Dan kamu, aku pun berdoa semoga kebaikan-kebaikan selalu menyertaimu. Semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu impikan dan mandiri sesuai tujuanmu.

Kita harus sukses, harus bisa memberi manfaat bagi sesama maupun semesta. Aku memutuskan semua ini karena aku yakin Allah yang mempunyai rencana terbaik. Kita ikuti saja skenario sang Khalik agar kita bisa ikhlas. Setelah ini, aku fokus pada tujuan hidupku untuk mengabdi. Aku tahu, akan ada masa dimana aku tidak bisa menolak bahwa rencana Allah lah yang akan terwujud. Tapi ini adalah pilihan yang harus aku tentukan. Inilah perjalanan, dan aku tidak pernah menyesal dengan perjalanan. Aku menyesal karena selama ini kita terlalu picik dan munafik dengan apa yang kita pikirkan dan kita rasakan.

TERIMA KASIH DAN MAAF, aku yang akan mengalah dan pergi dari kehidupan kalian.
Kota Hujan, 12 November 2010
20:58

2 komentar:

lutfi mengatakan...

blogmu penuh bangett sihh..
hahaaa..
Rjin nian update blog..

Anonim mengatakan...

rajin nyampah di internet. ehehe.. blog kamu juga keren:) ngingris banget pula:)