Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Sabtu, 28 Agustus 2010

Because the World is Flat

By social change we refer to whatever may happen in the course of time to the roles, the institutions, or the orders comprising a social structure, the emergence, growth and decline (Vago, 1989:7)

Saya suka membaca apa saja, menulis apa saja, dan berjalan-jalan ke mana saja. Saya suka bertemu dengan banyak orang, belajar dengan banyak orang, dan ingin bermanfaat bagi banyak orang. Bagi saya, hidup tidak sekedar menunggu mati, tapi hidup untuk berprestasi. Saya percaya bahwa satu-satunya hal yang tidak bisa disangkal dalam hidup ini adalah perubahan. Perubahan akan terus terjadi karena langkah kita tidak stagnan tapi dinamis. Biarkan proses perubahan itu natural namun terencana, agar hidup lebih hidup!

Kemudian saya merasa telah, sedang, dan akan terus mengalami perubahan meskipun hanya suatu hal yang sangat kecil. Saya hidup dikelilingi oleh banyak orang, banyak kejadian, banyak pemikiran, dan banyak pula perkembangan teknologi. Inilah fakta, se-idealis apapun saya, saya tidak bisa mengelak dari perkara-perkara yang terjadi di luar diri saya. Bertemu dengan banyak orang dan berinteraksi dengan mereka memunculkan sebuah pemahaman bahwa ”sebaiknya” atau ”etisnya” perilaku adalah seperti ini atau seperti itu. Saya dididik dengan keras oleh Ayah saya, segala sesuatu harus cepat dilaksanakan dan perlu cepat diselesaikan. Saya melaksanakannya sebagai sebuah wujud kepatuhan kepada ”titah” orang tua dan saya yakini bahwa cepat adalah disiplin. Tapi setelah bertemu dengan banyak tipe manusia, ternyata saya perlu beradaptasi, tidak selamanya cepat adalah disiplin. Terkadang cepat juga bisa bermakna ceroboh. Suatu masalah tidak harus diselesaikan secara cepat namun perlu dipecahkan dengan tepat. Bagi saya, idealisme juga perlu penyesuaian dan adaptasi agar kita bisa bertoleransi.

Saya lahir pada bulan Januari 1990, saat ini sedang beranjak menuju umur 21. Ada banyak hal yang telah berubah selain bagaimana saya memandang sebuah persoalan yang terjadi dalam hidup saya. Dulu, ketika masih kecil (sampai saya kelas 2 Sekolah Dasar), asalkan ada minyak tanah untuk mengisi pelita saya bisa tenang belajar membaca dan menulis. Tapi sekarang, sungguh saya sudah tergantung pada listrik. Saya bisa lebih konsentrasi belajar ketka penerangan dengan listrik cukup apalagi ditambah dengan kondisi mata yang sudah miopi. Dulu, saya tidak perlu gusar saat tidak mendapatkan informasi atau berita terbaru karena TV pun hidupnya masih senin - kamis kalau aki tersedia. Sekarang, TV seperti sebuah mainan yang wajib dimiliki. Komputer adalah soulmate saat bekerja. Internet adalah saudara kembar yang sebaiknya tidak terpisahkan. Dan, saya merasa kehilangan jiwa saya ketika terpisah dengan telpon genggam. Itulah, dunia sudah berubah dan saya pun ikut berubah.

Kembali lagi, saya suka membaca apa saja dan dimana saja, termasuk membaca sms. Percaya atau tidak, saya juga bisa berubah sebab apa yang saya baca. Sejak kecil saya suka membaca hanya saja orang tua tidak pernah membelikan buku bacaan. Ibu saya tidak pernah mengenyam pendidikan formal dan ayah lulusan SD, saya pahami kondisinya bahwa apa yang mereka pikirkan tentunya berbeda dengan apa yang saya harapkan. Tapi tidak masalah, toh mereka pasti ingin anaknya maju dan ”berubah” lebih baik daripada mereka. Saya masih bisa membaca buku-buku perpustakaan di SD, SMP, dan saat SMA saya sudah mulai membeli buku apa yang saya sukai. Sejak SMP saya dicekoki bacaan yang berhubungan dengan Islam. Bergerak dari apa yang saya baca, ada beberapa hal yang mulai berubah dari diri saya. Saya memutuskan untuk mulai mengenakan jilbab sejak kelas 1 SMP dan juga keinginan saya untuk menuntut ilmu dan menghapal Al-Qur’an semakin kuat. Pemikiran itu muncul dari apa yang saya baca. Jadi, benar juga kata orang, jika kita ingin tahu seperti apa orang itu maka lihatlah apa yang ia baca. Tapi tidak berhenti sampai di situ, dalam prosesnya pun penuh dengan dinamika karena saya tidak hidup sendiri di dunia ini.

Saya tinggal di lingkungan yang agamis, meskipun orang tua saya biasa saja dan tidak fanatik. Mereka demokratis dan membiarkan saya menjadi diri saya sendiri. Termasuk persoalan agama. Lingkungan tempat tinggal saya sangat mempengaruhi langkah saya melanjutkan sekolah, saya tidak ingin melanjutkan ke Pesanteren seperti apa yang disarankan oleh guru ngaji saya. Saya memutuskan untuk masuk ke Madrasah Aliyah yang bagi saya lebih moderat dari Pesanteren. Bagi saya, sekolah di Aliyah mempermudah saya untuk mempertahankan jilbab yang saya pakai karena disana semuanya sama, untuk perempuannya semua berjilbab. Dan saya suka, saya menikmatinya. Dulu saya seorang jilbaber mulai dari kelas 3 SMA hingga tingkat 1 di IPB. Lagi-lagi semuanya tidak berhenti sampai di situ, saya tidak nyaman dengan atribut yang saya gunakan. Saya tidak suka ke-eksklusif-an, saya memilih egois tapi saya bisa berbagi daripada saya eksklusif dan hanya bergerombol dengan komunitas yang ”itu” saja. Sekarang saya mengenakan jilbab tapi tidak perlu predikat akhwat dan saya pun tidak alergi terhadap mereka, saya kagum pada mereka yang istiqomah. Hanya saja saya memiliki pandangan yang berbeda. Bagi saya keimanan tidak diukur dari apa yang kita kenakan, tapi keimanan itu ada dalam hati dan itu privasi. Sekarang prinsip yang saya pegang adalah saya ingin menjadi orang baik dan bermanfaat bagi orang lain, karena saya percaya bahwa hubungan hamba dengan Tuhan tidak terbatas pada perkara surga dan neraka.

Saya pikir, perubahan saya sebenarnya sangat banyak, tidak bisa diceritakan dalam lembaran-lembaran yang terbatas jumlahnya. Saya berubah secara idealistik maupun materialistik. Saya berubah karena faktor internal maupun eksternal. Saya berubah karena memang saya perlu dan harus berubah. Karena hidup tidak asik jika monoton dan hambar jika tidak berwarna. Dan saya berubah untuk saya dan orang-orang di sekitar saya. Sekali lagi, saya hanya ingin menjadi orang baik dan saya ingin berbagi. Perubahan itu harus supaya hidup lebih hidup. Perubahan itu perlu karena dunia tidak lagi bulat dan tidak ada lagi perbedaan siang dan malam. Semua orang melakukan persaingan baik siang maupun malam. So, because the world is flat and everything like same each other except our attitude and our change, let be our own self and let’s the change happen.

P.S. Untuk Ibu, terima kasih selalu untuk didikanmu.

Tidak ada komentar: