Be an Ordinary Person with Extraordinary Personality

Senin, 29 Maret 2010

The Spectrum Of Feelings PART II

The Spectrum Of Feelings II

3 hari berlalu, seperti masa-masa yang tergilas oleh derasnya hujan kota ini. Aku menanti, menanti jawaban yang selama ini kau gantung. Tetap pada satu pendirian yang membawaku sampai di persimpangan ini. Pendirian itu adalah sebuah kepercayaan yang kubangun dengan susah payah bersama gelisah. 3 hari itu seperti sayembara dengan teka-teki yan tak terjawab meski waktunya sudah lewat 10 jam hitungan.

"Masih adakah yang bisa kita sisakan untuk bisa saling menyapa dalam sayang?"

Aku termangu dengan tatapan kosong memandang layar kosong tanpa pesan. Kau berdiam diri di sana tanpa acuh. Ya, kau banggakan dirimu sebagai laki-laki bernyawa dengan sejuta pesona. Pesona yang membuatku jatuh pada omong kosong khayalan.

"Kita jalani saja" hanya mata nanar ini yang mampu mengacakan segalanya. Penerimaan yang kupaksakan dengan dalih aku tak sanggup untuk kecewa. Aku hanya mampu diam membatu dalam sunyi tak terdefinisi diantara cakaran-cakaran jalang yang membuatku luruh dalam tangis tertahan. Rasionalitasku menuntunku untuk tak menjatuh mata air mataku, tapi hal itu justru membuat dada ini seperti ingin meledak. Aku berada di antara dimensi ketegaran dan ketidakrelaan.

"Harus ada jawabannya". Aku hanya butuh satu kata. Bukan diantara ya atau tidak. Tapi satu kata ya, atau satu kata tidak. Sungguh kuakui, cinta tak pandang siapa, cinta tak perlu alasan apa, cinta tak punya mata. Aku terpuruk dan terjerembab dalam lorong gelap dengan peristilahan cinta. Kucintai kau tanpa kutahu makna kecewa. Aku berharap dengan segunung asa untuk terus bertahan, akulah yang akan jadi pemenangnya. Tapi semuanya buyar, saat ini aku hanya butuh satu kata. satu kata ya atau satu kata tidak, bukan diantaranya atau kalimat jalani saja.

Hey, kau yang punya hati. Kau nikmati aku dalam malam-malammu (kau nikmati kegalauanku, kau nikmati gundahku yang melahirkan tawa hambar dan tangis yang sesumbar). Sampai sekarang rasionalitasku pun tak bisa membawa diri ini untuk pergi tanpa menengok ke belakang. Setiap kali kujejakkan kaki dalam lapang jalan yang sebenarnya, selalu saja penopangku tak cukup kuat untuk meneruskannya. kupikir, tongkatku masih tertinggal di kamar hatimu. Kutengok lagi ke belakang dan berusaha mencari pintu rumahmu untuk bisa singgah dan mengambil milikku yang ada padamu.

Rumahmu lapang, masih selapang dulu ketika aku biasa menyapamu dan membantumu menjaganya. Tapi ada bagian yang tak boleh kubuka, padahal disitulah kusimpan tongkatku. Kau, kau sembunyikan sesuatu di ruangan yang paling bisa membuatku nyaman dalam rumahmu.

"kenapa harus aku?" Perlukah kujelaskan pada setiap benda yang bisu menatapku? kukira semuanya bisa kujaga sampai ribuan jam. Tapi sekejap saja kau tinggalkan jejak dan tanpa peduli mulut mana yang selalu menyebutkan nama kamu diantara sederet nama lain dalam doanya. Jalan pikiranku dibuat buntu tanpa kepastian.

3 hari yang sudah berlalu. kuminta waktu untuk menciptakan spasi antara kita yang kusangka akan membuat kata-kata kita lebih memiliki ruang. kuminta waktu untuk mencuci benci yang meradang dalam beberapa prasangka. Namun 3 hari itu hanyalah 3 hari tanpa ya, 3 hari tanpa tidak. kau hanya menjawab "jalani saja".

Tidak ada komentar: